Oleh: Astriani Lidya, SS
Setelah tempe dan tahu yang sempat hilang, beberapa hari lalu giliran daging sapi yang hilang dari pasaran. Hal ini disebabkan demo yang dilakukan para pedagang daging sapi akibat harga daging sapi merangkak naik, karena ada kenaikan harga sapi impor. Harga eceran tertinggi (HET) daging sapi yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini RP. 120 ribu per kg. Sementara harga jual daging sapi yang belum dipisah antara sapi dan kulitnya saat ini Rp. 94 sampai Rp. 95 ribu per kg. Situasi ini membuat pedagang mengaku kesulitan untuk menjual daging sapi kepada konsumen di pasar. Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Ardhianto mendatangi langsung loss pedagang daging sapi di kawasan Pasar Baru Bekasi. Hasil dialog Tri bersama dengan pedagang daging menghasilkan kesimpulan bahwa ada kenaikan harga yang signifikan dirasakan oleh para pedagang, lebih berat ini terjadi pada saat pandemi. “Kami akan membuat risalah dan melaporkan situasi yang terjadi saat ini kepada pemerintah pusat.” Ujarnya. (RADARBEKASI.ID, 22/01/2021)
Pedagang bakso sebagai sektor industri turunan dari daging sapi mengaku kesulitan untuk mendapatkan bahan baku daging sebagai pembuatan bakso yang selama ini menjadi barang dagang mereka. Kerugian yang dialami oleh ratusan pedagang bakso di Kota Bekasi ini ditaksir mencapai belasan juta rupiah. Belum pulihnya pasokan daging karena pedagang memilih mogok membuat para pedagang bakso harus rela kehilangan omset. “Diatas 60 persen (omset yang hilang), iya sekitar belasan, diatas Rp. 11 sampai Rp. 12 juta itu hilang (selama tiga hari),” kata Ketua Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso (Papmiso) Kota Bekasi, Maryanto.. (RADARBEKASI.ID, 22/01/2021)
Sementara melalui siaran pers yang diterima oleh Radar Bekasi (22/01/2021), Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag), Suhanto menjamin stok daging cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tingginya harga sapi bakalan (hidup) yang diimpor dari Australia satu semester terakhir disebabkan oleh repopulasi, pemenuhan permintaan konsumsi dalam negeri, dan peningkatan permintaan dari negara lain terutama pada tiga bulan terakhir. Sementara itu, Indonesia disebutkan sebagai pengimpor sapi hidup terbesar dari Australia selama kurang lebih 35 tahun, dibandingkan dengan beberapa negara lain.
Jika melihat hal ini, maka swasembada daging sapi pada 2026 sepertinya hanya akan menjadi mimpi. Jika pemerintah serius dengan target swasembada, seharusnya ketika terjadi kekurangan pasokan daging, pemerintah memaksimalkan produksi sapi lokal. Akan tetapi nampaknya pemerintah lebih senang untuk impor dari luar. Padahal ketergantungan pada impor membuat negara yang lemah akan terus didikte negara yang kuat. Hal ini terlihat dari pernyataan Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan RI Fadjar Sumping, “Untuk memenuhi kekurangan daging tersebut, pemerintah akan melakukan impor sapi bakalan sebanyak 502.00 ekor setara daging 112.503 ton, impor daging bsapi sebesar 85.500 ton, serta impor daging sapi Brasil dan daging kerbau India dalam keadaan tertentu sebesar 100.000 ton. Stok di akhir tahun 2021 diperkirakan sebesar 58.725 ton diharapkan juga mampu memenuhi kebutuhan bulan Januari 2022”. (CNBC Indonesia, 21/01/2021).
Sistem Islam Menjadikan Swasembada Bukan Hanya Mimpi
Ketahanan pangan merupakan persoalan yang sangat penting dalam sebuah negara. Sistem pertahanan sebuah negara tak hanya diukur dari pertahanan militernya. Namun, yang lebih utama adalah bagaimana negara memiliki ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Sebaik-baik pasukan dan strategi perang militer, akan luluh lantak juga bila ketahanan pangan bermasalah.
Nabi shalallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.”(HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141)
Dalam hal menjamin pasokan pangan, Islam menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik ribawi, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Dalam mewujudkan swasembada, Khilafah akan melakukan optimalisasi produksi. Dalam bidang peternakan, negara akan mendorong peningkatan produksi sapi lokal. Salah satunya dengan mengembangkan keilmuan dan penelitian dalam bidang pertanian dan peternakan. Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian. Sehingga kebutuhan akan daging sapi bisa terpenuhi tanpa harus impor.
Dalam hal ekspor impor, Islam akan melihat dan memperhatikan sejauh mana kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan bila pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri Daulah Khilafah dan dilakukan jika benar-benar dibutuhkan. Dengan begitu ketahanan pangan akan terlaksana dengan baik.
Demikianlah Islam memberikan seperangkat sistem yang komprehensif dalam mengatasi pangan. Tidak seperti kapitalisme yang hanya berpijak pada profit oriented. Maka dengan Khilafah, kemandirian pangan bukanlah hal yang utopi untuk diwujudkan. Melainkan sebuah keniscayaan yang mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mendapatkan keridhoan Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab
0 Komentar