Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd (Praktisi Pendidikan)
Kalangan Islamfobia seakan kembali mendapat jalan untuk menjelekkan Islam dengan tuduhan intoleran setelah viral video adu argumen orang tua salah satu siswi nonmuslim yang keberatan putrinya “dipaksa” memakai jilbab di sekolahnya. Belakangan terungkap, siswi tersebut bernama Jeni Cahyani Hia. Ia merupakan salah satu siswi nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang. Ia memang menolak mengenakan jilbab (Detik.com, 23/1/2021).
Kepala SMK Negeri 2 Padang Rusmadi mengungkap ada 46 siswi nonmuslim yang berada di sekolah tersebut. Rusmadi menyebut seluruh siswi nonmuslim di SMK tersebut mengenakan hijab dalam aktivitas sehari-hari kecuali Jeni Cahyani Hia (news.detik.com, 23/1/2021).
Semua siswa berjilbab sesuai keinginan sendiri. Pernyataan Rusmadi ini tidak mengada-ada. Salah seorang siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, EAZ (17) merasa tidak keberatan menggunakan jilbab ke sekolah. “Tidak ada unsur paksaan. Saya juga sudah dari SMP memakai jilbab,” kata EAZ kepada wartawan, Senin (25/1/2021) (Kompas.com, 25/1/2021).
Hal senada diungkapkan oleh siswi nonmuslim lainnya bernama Eka Maria Putri Waruhu. “Pakaian seperti ini (pakai jilbab) hanya atribut saja kok. Identitas saya sebagai pelajar SMK 2. Tidak kaitan dengan masalah iman,” kata Eka, Senin (25/1). Eka sudah terbiasa ke sekolah dengan seragam berjilbab. Ia sudah menjalani hal itu sejak duduk di bangku kelas IV SD (Republika.com, 25/1/2021).
Polemik jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatra Barat terus menggelinding bahkan menjadi isu nasional menutupi kasus-kasus besar yang belakangan menjadi sorotan publik. Komentar Mendikbud Nadiem Makarim yang menyebut peristiwa tersebut adalah bentuk tindakan intoleran, direspon Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi yang siap menerima sanksi jika memang terbukti bersalah. Bahkan Rusmadi siap dipecat, asalkan pemerintah lebih dulu datang ke lokasi untuk melakukan penelusuran.
Mantan Wali Kota Padang (2004-2014) Fauzi Bahar berpendapat aturan memakai pakaian muslimah atau berkerudung di sekolah di Kota Padang tidak perlu dicabut. Menurut Fauzi, aturan itu sudah bagus. Karena tujuannya untuk melindungi generasi muda Sumatera Barat. Fauzi menyebut aturan siswi harus memakai baju kurung dan pakai kerudung di sekolah sudah dibuat sejak dirinya menjabat Wako Padang yakni di tahun 2005 lalu. "Itu sudah lama sekali, kok baru sekarang diributkan? Kebijakan 15 tahun yang lalu itu," kata Fauzi Bahar. (Republika.co.id, 24/1/2021)
Adanya kasus “Jilbab Padang” jelas sangat dibesar-besarkan. Berbeda sekali saat ada kasus yang menimpa Anita Wardhana, siswi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Denpasar, Bali yang dilarang menggunakan kerudung saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anita menolak larangan tersebut dan pihak sekolah pun memberi pilihan kepada siswi kelas XI itu: lepas jilbab atau pindah sekolah. (gelora.co, 08/01/2014). Tak ada reaksi dari Mendikbud ataupun pihak berwenang lain. Ternyata, setelah ditelusuri, tak hanya di SMAN 2 Denpasar, hampir di seluruh sekolah di Bali, jilbab dilarang (Republika.com, 21/2/2014).
Faktanya, kalangan pembenci Islam yang mengaku paling toleran pun adem-ayem saja. Ketika para siswi nonmuslim tersebut sukarela mengenakan kerudung di sekolahnya, kenapa pihak lain serasa gerah dan mempermasalahkan hal ini? Sebaliknya, saat siswa muslimah di banyak sekolah secara resmi dilarang berpakaian muslimah, mengapa tidak banyak yang membela?
Jilbab Wajib Dalam Islam
Hijab (menutup aurat) adalah kewajiban dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An Nur: 31 (kewajiban mengenakan kerudung) dan Al Ahzab: 59 (kewajiban mengenakan jilbab). Banyak pula hadis Nabi Saw. yang menjelaskan kewajiban berhijab.
Wanita muslimah wajib menutup aurat dengan mengenakan kerudung dan jilbab saat keluar rumah. Kewajiban memakai kerudung tertuang dalam firman Allah SWT, "Katakanlah kepada para wanita mukmin, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat) mereka, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-dada mereka…’” (QS an-Nur [24]: 31)
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khimar. Khimar adalah apa saja yang dapat menutupi kepala (ma yughaththa bihi ar-ra`su) (Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, XIX/159). Dengan kata lain, khimar adalah kerudung.
Adapun jilbab bermakna milhafah (baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis), kain (kisa’) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan: Jilbab itu laksana sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung. Sedangkan dalam kamus ash-Shahhah, al-Jawhari menyatakan: Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung).
Syariat Islam memuliakan perempuan dengan memberikan perlindungan secara menyeluruh. Islam menutup peluang terjadinya kejahatan terhadap perempuan serta menghalangi apa saja yang bisa mendorong dan memicu hal itu, salah satunya dengan syariat menutup aurat dengan menggunakan jilbab dengan sempurna.
Perempuan dalam Islam dimuliakan dan dihargai sebagaimana laki-laki. Pandangan rusak terhadap perempuan lebih disebabkan karena rusaknya sistem. Kapitalisme memandang perempuan dengan harga murah dengan melihat fisik semata. Berbeda sekali perlindungan negara dalam sistem Kapitalisme dengan negara Islam terhadap kewajiban jilbab bagi muslimah.
Diceritakan dalam ar-Rahiq al-Makhtum karya Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury, bahwa di masa Rasulullah Saw. ada seorang wanita Arab yang datang ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa. Dia duduk di dekat perajin perhiasan. Diam-diam perajin perhiasan ini mengikat ujung jilbabnya. Ketika ia bangkit, auratnya seketika itu juga tersingkap. Muslimah ini spontan berteriak dan seorang laki-laki muslim yang berada di dekatnya menolongnya dan membunuh Yahudi tersebut. Orang-orang Yahudi kemudian membalas dengan mengikat laki-laki muslim tersebut lalu membunuhnya. Kabar tentang kejadian ini sampai kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. bersama pasukan kaum muslim berangkat menuju tempat Bani Qainuqa dan mengepung mereka dengan ketat.
Bani Qainuqa akhirnya bertekuk lutut dan menyerah setelah dikepung selama 15 hari. Allah SWT memasukkan rasa gentar dan takut ke dalam hati orang Yahudi ini. Hampir saja semua kaum laki-laki Bani Qainuqa ini dihukum mati oleh Rasulullah saw. Namun keputusan itu berubah ketika Abdullah bin Ubay memohon pada Rasulullah Saw. untuk memaafkan mereka. Akhirnya Rasulullah Saw. bermurah hati dan memerintahkan Bani Qainuqa untuk pergi sejauh-jauhnya dan tak boleh lagi tinggal di Madinah.
Sikap Rasulullah saw. ini dicontoh oleh para khalifah kaum muslimin sepeninggal Rasulullah Saw. seperti kisah pelecehan jilbab di masa Khalifah al Mu’tashim Billah (Khilafah Abbasiyyah) dan kisah Sultan al Hajib al Mansur di Andalusia.
Aturan Berpakaian Wanita Nonmuslim
Dalam Islam, nonmuslim yang hidup sebagai warga negara Khilafah (ahludz dzimmah) dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Begitu juga dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka, dalam batas yang diperbolehkan oleh syariat.
Namun demikian, mereka terikat dengan dua batasan. Pertama: Batasan menurut agama mereka. Pakaian sesuai agama mereka adalah pakaian agamawan mereka dan agamawati mereka, yaitu pakaian rahib dan pendeta serta pakaian rahib perempuan. Laki-laki dan perempuan nonmuslim ini boleh mengenakan pakaian ini. Kedua: Batasan yang ditetapkan oleh syariat, yaitu hukum-hukum kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, untuk laki-laki dan perempuan.
Jadi pada dasarnya pakaian mereka dalam kehidupan umum adalah sama dengan perempuan muslim. Pakaian sesuai agama mereka hanyalah pengecualian. Ketentuan pakaian dalam kehidupan umum ini berlaku atas seluruh individu rakyat. Selain itu, mereka wajib menutup aurat, tidak bertabarruj dan wajib mengenakan jilbab dan kerudung.
Fakta sejarah menyatakan bahwa sepanjang masa khilafah, para wanita, baik muslimah maupun nonmuslimah mengenakan jilbab. Sebagian kampung yang di situ ada muslimah dan nonmuslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan. Inilah hal yang bisa menunjukkan bahwa pakaian perempuan muslim maupun nonmuslim dalam kehidupan umum diatur sesuai syariat.
Dalam sistem demokrasi sekuler yang diterapkan dunia saat ini, kebebasan yang diserukan hanya jargon belaka. Hanya khilafah sistem yang mampu memuliakan muslimah dengan menjaganya agar mengenakan pakaian takwa ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
0 Komentar