Kriminalisasi Dinar Dirham

Oleh : Asih

Beberapa hari yang lalu Bareskrim Mabes Polri resmi menahan Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok, Jawa Barat. Zaim menjadi tersangka setelah pemberitaan terkait koin dinar dan dirham yang menjadi alat transaksi pembayaran di pasar tersebut viral. (cnnindonesia.com, 07/02/2021)

Zaim disangkakan Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal tersebut berbunyi:

(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


Fakta Lapangan

Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, Zaim Saidi menjalankan Pasar Muamalah untuk komunitas masyarakat yang ingin berdagang dengan aturan yang mengikuti tradisi pasar di zaman Nabi. (kumparan.com, 04/02/2021).

Pasar ini memiliki beberapa cabang, namun yang pertama kali viral adalah di depan sebuah ruko milik Zaim di jalan tanah baru, Kota Depok. Pasar ini sudah ada sejak tahun 2016. Mirip dengan pasar kaget, pasar muamalah tidak buka setiap hari, tetapi hanya dua pekan sekali. Mereka menjual barang kebutuhan sehari-hari. Info dari sang pemilik ruko, Zaim, alat tukar yang digunakan di pasar tersebut adalah koin emas, koin perak, dan koin tembaga. Adapun istilah dinar dan dirham dipakai sebagai kata keterangan yang bermakna satuan berat. Jadi itu bukan legal tender. Sedangkan Dinar Iraq atau Dirham Kuwait, itu adalah legal tender sehingga bisa dikaitkan dengan UU Mata Uang karena Dinar Iraq atau Dirham Kuwait adalah mata uang asing. Justru di pasar muamalah uang-uang kertas semacam itu diharamkan.

Jadi, uang koin yang digunakan di pasar muamalah bisa diberikan nama apapun, misalnya tompel atau huik-huik, bahkan dikasih nama cebong. (Sumber: kumparan.com, 05/02/2021)

Informasi lain yang perlu kita ketahui juga adalah dinar dirham pun sudah dicetak oleh PERURI dan PT Antam. Kita bisa melihatnya di beberapa website di internet seperti https://belalaiemas.com/1-dinar-peruri-cover-hijau

Penggunaan koin di pasar ini mirip dengan transaksi di sebuah lokasi permainan anak-anak seperti TimeZone yaitu sistem tukar koin dengan sejumlah uang rupiah. Untuk kasus pasar muamalah ini, contoh transaksinya adalah seperti ini:

Penjual A menjual brownies seharga 1 dirham.

Bila pembeli ingin membeli brownies tersebut maka ia harus membayar seharga 1 dirham. Dari mana bisa mendapatkan koin 1 dirham ?

Pembeli harus menukarkan koin 1 dirham dengan sejumlah nilai uang rupiah.

Di mana lokasi penukaran rupiah dengan koin emas tersebut ? Zaim sebagai pengelola membuat tempat penukaran yang diberi nama wakalla. Koin emas dan perak tersebut ia beli dengan rupiah dari PT Antam.


Kriminalisasi Istilah

Dari fakta di atas, dapat dilihat bagaimana sesungguhnya transaksi di pasar muamalah hanyalah transaksi biasa yang tidak melibatkan mata uang asing. Bahkan, transaksi yang serupa juga terjadi di wilayah lain yang masih berjalan hingga saat ini.

Misalnya transaksi di komunitas bisnis Pasar Gemblung yang berlokasi di kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yaitu sebuah lokasi pasar wisata dengan aneka menu jajanan unik yang ditawarkan seperti buntil, cenil, gethuk, aneka wedang hingga nasi bakar. Pasar ini hanya dibuka di hari Ahad, pukul 06.00 – 11.00 WIB dan mewajibkan setiap pengunjung bertransaksi dengan mata uang Geblo.

Satu keping uang ‘Geblo’ yang artinya ngge blonjo, atau gebla-geblo dwi linggo ndak papa ngge blanja dan ngge blonjo. Untuk mendapatkan Keping Geblo ini pengunjung harus membeli atau menukarkan rupiah yang dimiliki dengan keping Geblo dengan harga tertentu.

Contoh lainnya adalah transaksi yang terjadi di sebuah lokasi makanan mewah yang bernama Eat and Eat yang berada di pusat perbelanjaan jaringan Grand Mall Metropolitan. Sistem pembayaran di lokasi ini adalah berbasisi kartu. Pengunjung dapat membeli makanan dengan mempergunakan kartu yang telah mereka isi dengan sejumlah uang di counter yang tersedia. (sumber: wikipedia) 

Oleh karena itu,tidak berlebihan jika kita menganggap bahwa kasus pasar muamalah adalah sebuah kasus yang diduga memiliki tujuan untuk mengkriminalisasi istilah-istilah dinar-dirham. Mengingat contoh--contoh transaksi lainnya yang sejenis tidak pernah disinggung oleh pihak berwenang.

Apalagi, sebenarnya transaksi yang terjadi di pasar muamalah pun tidak merugikan pihak siapapun, baik pembeli, pedagang, masyarakat sekitar dan juga bahkan negara. Lagipula, tidak ada paksaan untuk semua pihak yang bertransaksi, apakah mau menggunakan dinar emas, dirham perak, rupiah, bahkan barter barang antara penjual dan pembeli pun bisa dilakukan. Yang penting ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. (Sumber: kumparan.com,  5/02/2021)

Selain itu ada juga kesan narasi yang hendak dibangun adalah anggapan komunitas Pasar Muamalah terafiliasi dengan gerakan yang memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Hal ini sempat diungkap oleh kuasa hukum Zaidi.

Bila kita amati, sebenarnya kemunculan istilah dinar-dirham di tengah masyarakat menunjukkan adanya geliat positif di masyarakat terhadap penerapan Islam kaffah, walaupun saat ini masih berada di level individu. Umat juga menyadari bahwa dinar-dirham adalah istilah khas di dunia Islam. Kita bisa melihat bagaimana istilah dinar-dirham sering disebutkan di dalam hadits-hadits Rasul. Misalnya pada khazanah zakat, Islam telah mewajibkan pembayaran zakat dengan perhitungan dinar emas dan dirham perak. Sebagaimana hadits : “Pada setiap 20 dinar (zakatnya) setengah dinar… Dan, pada setiap 200 dirham (zakatnya adalah) 5 dirham. (Sumber: Sistem Keuangan Negara Khilafah karya Abdul Qadim Zallum)

Bahkan bila kita melihat sejarah, penggunaan dinar-dirham telah digunakan di dalam sistem kekhilafahan sebagai mata uang resmi negara selama kurang lebih 14 abad. Saat itu kekhilafahan adalah sebuah negara adidaya yang kekuasaannya meliputi 3 benua yaitu eropa bagian selatan dan timur, Afrika bagian Utara dan sebagian wilayah Asia. Bila sejarah ini terus terdengar di telinga umat, maka sebagian umat Islam yang awalnya mungkin tidak tahu tentang sejarah ini, maka akan menjadi tahu dan sadar.

Dengan demikian, kedekatan masyarakat dengan istilah syariat Islam (seperti Dinar-Dirham)  sangat tidak diinginkan oleh rezim sekuler. Mengapa ? Karena bila masyarakat sudah terbiasa dengan istilah khas Islam maka akan muncul hasrat umat untuk kembali menegakkan Islam secara kaffah di dalam sistem khilafah. Oleh karena itu, salah satu cara yang efektif untuk menjauhkan umat dengan Islam adalah dengan mengkriminalisasi istilah-istilah yang dapat membangkitkan kesadaran umat.


Tekanan Pihak Asing

Selain karena faktor rezim yang nampaknya sudah sangat phobia dengan Islam, secara lebih mendasar, penolakan terhadap standard mata uang emas berasal dari IMF. Pemerintah Indonesia telah telah terikat perjanjian dengan lembaga ekonomi dunia ini tentang penggunaan emas. Perjanjian ini telah dibuat pada 15 Januari 1998 yang memuat 50 butir kesepakatan. Salah satu butir perjanjian tersebut adalah

“Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk di dalam larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar. (Sumber: Dinar The Real Money, hal 149, Muhaimin Iqbal)

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya intervensi asing terhadap mata uang dalam negeri begitu kuat. Impian umat Islam untuk menggunakan sistem mata uang emas secara legal akan sulit terwujud selama negara ini masih di dalam tekanan asing seperti ini. Umat membutuhkan institusi adidaya yang mampu berdiri sendiri tanpa adanya intervensi asing, yaitu institusi khilafah di mana sistem mata uang emas adalah bagian dari sistem mata uang yang akan diadopsi oleh khalifah sesuai dengan ketentuan hukum syara’. Wallahu’alam

Posting Komentar

0 Komentar