Permasalahan Seragam Hijab Tidak Perlu Dibesar-besarkan

Oleh: Muthi Nidaul Fitriyah

Menjadi viral video siaran langsung pada akun media sosial Elianu Hua yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang. Elianu dipanggil pihak sekolah sebab Jeni Cahyani Hia, anaknya, menolak mengenakan jilbab karena nonmuslim. Jeni yang duduk di kelas IX jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran tersebut merasa tidak memiliki kewajiban mengenakan jilbab karena menganut agama yang berbeda. Eliana mengatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab. 

Hingga menjadi topik utama media pemberitaan dan mengundang respon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya dibawah bimbingan orang tua. Hal itu berpedoma pada pasal 55 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (antara.com, 25/01/2021)

Permasalahan ini sebenarnya bisa menjadi simpel tatkala misalnya SMKN 2 Padang tersebut melakukan pelanggaran, pihak berwenang seharusnya menghubungi pihak terkait memberikan teguran atau sanksi secara tegas dan langsung. Akan tetapi pihak berwenang nampaknya menjadikan peristwa ini sebagai momen yang tepat untuk memukul perda-perda syariah atau syariat Islam yang bagi masyarakat Sumatera dan Sumatera Barat khususnya telah menjadi akar adat bahkan peraturan yang mengatur kehidupannya.

Persekutuan Gereja Gereja Indonesia (PGI) dan Persekutuan Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI) Sumatra Barat (Sumbar) menilai persoalan jilbab bagi siswa non-Muslim di SMKN 2 Padang adalah sebuah kesalahpahaman, dan sudah diselesaikan. Menurut Titus, persoalan itu sebenarnya bisa diselesaikan secara musyawarah. Cara persuasif seperti itu, selama ini, sudah berjalan dengan baik di Sumbar. Hanya saja sepertinya ada pihak yang berusaha 'menggoreng-goreng' masalah itu sehingga seolah menjadi persoalan besar. (republika.co.id, 28/01/2021)

Dalam wawancara lain terhadap pelajar non muslim SMK tersebut, mereka menganggap jilbab seragam sebagai seragam semata, tidak pernah menganggap sebagai simbol agama. Bahakan diantara mereka memang sudah sejak SD mengenakannya, sehingga sudah terbiasa dan memang tidak merasa ditekan atau dipaksakan. Begitupun mungkin kita rasakan dari simbol-simbol seragam tersebut, sepanjang duduk di bangku sekolah tidak pernah merasakan penghayatan apapun terhadap seragam yang kita kenakan selain memang begitulah seragam sekolah sebagai aturan yang ditetapkan lembaga.

Kepala SMKN 2 Padang, Rusmiadi, mengatakan tidak ada kewajiban bagi siswi nonmuslim untuk menggunakan kerudung. Apalagi memaksa siswa nonmuslim mengenakan jilbab. Bahkan dirinya menyatakan siap untuk dipecat jika ditemukan adanya pelanggaran terkait peraturan penggunaan jilbab bagi siswa di sekolah. Pihaknya tidak menyangka terjadi kesalahan intepretasi oleh wakil kepala sekolah dan kemudian menjadi viral di media sosial. (antara.com, 25/01/2021)

Respon dan reaksi berlebihan justeru terjadi diantara mereka yang tidak berada ditempat, hidup dan mengalami langsung bagaiman adat, budaya dan peraturan yang telah berlangsung. Akhirnya kasus jilbab SMKN 2 Padang yang lahir dari keputusan Walikota setempat ditarik menjadi desakan untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersandar pada aturan agama (Perda Syariat) diklaim akan menuai banyak problem lahir dari pemberlakuan Perda Syariat.

Kemendikbud sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah (Pemda) terkait dan mengambil tindakan tegas. Dia mengapresiasi gerak cepat Pemda terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran, dalam hal ini SMKN 2 Padang. Selanjutnya, dia meminta semua Pemda agar memberi sanksi yang tegas terhadap semua pihak bila terbukti terlibat melakukan pelanggaran disiplin. Berdasarkan kejadian SMKN 2 Padang, Kemendikbud telah membuat surat edaran dan hotline khusus pengaduan. (kompas.com, 26/01/2021)

Bermula dari perjuangan hak bagi siswa non muslim akan berdampak merembet pada pelarangan memaksa mengenakan hijab bagi siswa muslim, hijab tetap harus menjadi pilihan bagi seluruh siswi. Padahal jika kita memandang dengan kacamata Islam, menutup aurat dengan jilbab adalah bagian dari syariat Islam, adalah kewajiban bagi setiap muslimah bukan pilihan. Maka seharusnya aturan yang ada mendukung terlaksanaanya syariat Islam untuk para pemeluknya bukan sebaliknya ajaran Islam terus diliberalisasi, syariat-syariat Islam dijauhkan dari pemeluknya, kecuali zakat, wakaf dan dana haji terus di genjot dan di motivasi agar senantiasa ditunaikan oleh umat Islam sebagai muslim terbesar di dunia ini. 

Peristiwa kecil yang di besar-besarkan ini cukup membuktikan kepada kita bahwa Islamophobia atau kebencian terhadap syariat Islam terus digulirkan sekaligus membuktikan bahwa sistem Demokrasi tidak pernah membarikan ruang untuk penerapan syariat Islam walau sekedar diterapkan dalam ranah individu apalagi publik, ajaran Islam dari hari ke hari terus dikerdilkan. Lalu dimanakah HAM bagi umat Islam yang sangat ingin melaksanakan seluruh ajaran Islam yang dianutnya?

Posting Komentar

0 Komentar