Oleh : Nida Fitri Yatul Azizah
Pemerintah mengeluarkan aturan terkait pemerintah daerah dan sekolah negeri soal seragam beratribut agama. Aturan yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri itu menyatakan, Pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut agama.
SKB tersebut ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Menag menyebutkan, lahirnya SKB 3 Menteri ini merupakan upaya untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Ia mengatakan, SKB 3 Menteri bukan memaksakan agar sama, tetapi masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif, bukan hanya simbolik. "Memaksakan atribut agama tertentu kepada yang berbeda agama, saya kira itu bagian dari pemahaman (agama) yang hanya simbolik. Kami ingin mendorong semua pihak memahami agama secara substantif," ujar Yaqut, dikutip dari laman Kemendikbud.
Berawal dari persoalan pemakaian jilbab pada siswi non-muslim di SMKN 2 Padang. Pemberitaan pun semakin meluas dan akhirnya Menteri Nadiem Makarim angkat bicara mengenai persoalan itu. Akhirnya keluarlah SKB 3 menteri.
Isi dari SKB 3 menteri tersebut diantaranya :
1. Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda)
2. Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih antara:
•Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama
•Seragam dan atribut dengan kekhususan agama
“Hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid dan tentunya orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut,” ujar Mendikbud Nadiem.
3. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama
4. Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
5. Peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
Dengan terbitnya SKB 3 menteri tersebut justru bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk mencipta insan bertakwa. Alih-alih menaati agama, SKB ini malah mendorong kebebasan siswi dalam berperilaku. Bukankah menutup aurat itu wajib perintah dari Allah SWT tidak bisa ditawar atau diberi kebebasan dalam memilih mau memakai atau tidak seperti putusan dalam SKB 3 menteri. Lagipula, berpakaian tertutup bagi siswi non-muslim juga bentuk penjagaan bagi dirinya, seperti di masa khilafah, wanita non-muslim mengenakan jilbab seperti halnya wanita muslim.
Di tengah kacaunya sistem pendidikan di masa pandemi yang sedang berlangsung ini, rasanya tak adil jika menteri malah membahas hal-hal yang tidak penting seperti ini. Banyak permasalahan dan kasus-kasus yang seharusnya lebih diperhatikan dan dicari solusi untuk pemecahan masalah siswa, semisal meningkatnya kasus kriminal akibat kesulitan mencari dana untuk kuota belajar daring atau pendidikan yang kurang tersampaikan pada murid diakibatkan belajar Online yang tidak efektif. Banyak sekali media menyiarkan tentang meningkatnya kasus yang bermula dari kekurangan di masa pandemi, ini yang mesti lebih diperhatikan, bukan malah selalu membesar-besarkan hal yang menyudutkan umat Islam dalam melaksanakan perintah Allah, seperti permasalahan berpakaian ini.
Padahal sebenarnya, permasalahan siswi non-muslim SMK N 2 Padang sudah terselesaikan dengan damai. Dan, ternyata tidak ada paksaan sama sekali untuk siswa non muslim mengenakan jilbab, hanya berupa anjuran saja. Tapi, persoalan ini terus di angkat sampai menjadi topik Nasional. Akhirnya dikaitkan dengan masalah persatuan, perbedaan dan toleransi. Seolah-olah muslim memaksakan kehendak kepada siswi non-muslim untuk memakai pakaian atau atribut sesuai aturan Islam, padahal kenyataannya tidak, persoalan itu hanya dibesar-besarkan.
Hal ini menjadi polemik, dikala negara atau daerah yang mayoritas penduduknya menolak syariat Islam. Menutup aurat secara sempurna sesuai dengan hukum syara merupakan keharusan bagi setiap muslimah. Seharusnya, sekolah menjadi tempat untuk bagian faktor yang mendorong untuk belajar menerapkan aturan Islam. Anak-anak harus diarahkan dan ditempa untuk patuh terhadap aturan agar nantinya membentuk kesadaran pada pribadi masing-masing untuk taat Syariat-Nya. Bukan malah diberi kebebasan untuk memilih, hal ini akan membuat mereka semakin jauh dari aturan Islam.
Seharusnya aturan berpakaian yang dibuat itu ditujukan bagi siswa, pendidik atau tenaga kependidikan yang berada di daerah minoritas. Yaitu tidak wajib memakai seragam dan atribut kekhususan agama mayoritas di lingkungan sekolahnya. Contohnya adalah SMAN 2 Bali, hampir sebagian sekolah di Bali yang melarang muslim untuk berpakaian tertutup ketika belajar-mengajar berlangsung. Bahkan disertai ancaman akan dikeluarkan jika tidak menuruti aturan tersebut. Berharap dari SKB 3 menteri untuk memberikan solusi pada kebebasan hak muslim minoritas untuk berjilbab.
Sebenarnya, dengan diwajibkan berjilbab untuk siswi baik muslim maupun non-muslim itu akan menjaga dari pergaulan bebas, seks bebas dan menjaga diri seorang wanita dari lingkungan luar sana. Angka kehamilan pelajar pun semakin banyak, hal ini disebabkan dari pemisahan antara agama dari kehidupan, beralasan paham kebebasan tetapi berujung pada kehancuran dan kesengsaraan.
Negeri ini sedang terjangkit virus Syariah-Phobia. Ketakutan akan diterapkan syariat Islam sangatlah besar. Segala macam cara dilakukan untuk membuat benturan antara syariat Islam dan moderasi beragama, kesatuan juga toleransi. Ini merupakan ciri-ciri paham sekuler, yang hanya memikirkan kebebasan, berpikir agama itu hanya urusan individu dengan Tuhannya. Padahal jelas, dalam Islam semuanya telah diatur dengan terperinci.
Syariat Islam mengatur dalam berbangsa. Dalam penerapannya di negara Islam yaitu Khilafah. Syariat Islam mampu menjamin umat muslim dan Ahlul Dzimni dalam kesejahteraan. Dzimni merupakan sebutan untuk warga non-muslim yang bersedia patuh terhadap aturan Khilafah. Mereka mempunyai hak yang sama dengan warga muslim. Mereka memiliki hak untuk mendapat perlindungan, dihormati keyakinan dan dijaga hartanya.
Rasulullah bersabda: "Barang siapa membunuh seorang Mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun" (HR Ahmad).
Jadi, jelas bahwa Islam adalah agama rahamatan lil'alamin. Islam merupakan rahmat seluruh alam. Semuanya terjamin dalam Islam, baik itu muslim maupun non-muslim, binatang, tumbuhan dan sebagainya. Dengan ditegakannya syariat Islam di bawah naungan Khilafah di muka bumi maka pluralitas bangsa tidak lagi menjadi masalah. Semuanya akan tertata dan diatur sesuai dengan aturan Islam, aturan dari Allah SWT.
Wallahu a'lam bishshowab.
0 Komentar