Puskesmas Jadi Alternatif Atasi Covid-19

Oleh : Wida Eliana (Manager Rumah Tangga)

Di awal tahun 2021 Indonesia diguncang dengan musibah silih berganti dimulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182, longsor Cimanggung Sumedang, gempa bumi Kabupaten Majene SulBar, banjir bandang di KalSel. Musibah tersebut terjadi di tengah-tengah pandemi. Dalam kurun 11 bulan kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menembus angka sejuta. Per 29 Januari 2021, total kasus terkomfirmasi sebanyak 1,051,795 (Dikutip Muslimahnews.id).

Dengan angka yang terinfeksi semakin melonjak setiap harinya pemerintah kembali mencari cara untuk mengatasi pandemi, termasuk pemerintah Jawa Barat.

Belum lama ini Pemprov Jabar membuka ratusan lowongan pekerjaan bagi tenaga kesehatan (nakes) untuk memerangi Covid-19. Nakes diikutkan dalam program puskesmas terpadu dan juara (PUSPA). Program ini bertujuan untuk memperkuat upaya deteksi, lacak kasus, edukasi publik terkait 3M, menyiapkan vaksinasi Covid-19 hingga memastikan pemenuhan layanan kesehatan esensial di 100 puskesmas di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat. (JabarProv,go,id/puspa) dilansir Detikcom, Kamis (28/1/2021)

Dilansir Jawapos.com, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil beserta jajarannya di Pemprov akan memperkuat sekitar 100 puskesmas di kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat.  

Menurutnya juga pemberdayaan puskesmas dapat berperan sebagai fasilitas kesehatan ditingkat pertama dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, maka puskesmas terdekat bisa mengatasi pasien Orang Tanpa Gejala (OTG). Dengan demikian puskesmas harus ikut ambil bagian menangani virus corona karena rumah sakit semakin kewalahan menangani Covid-19. 

Inilah pentingnya penanganan wabah yang harusnya menjadi perhatian pemerintah sejak awal. Terlalu lama bertindak, membuat program kurang efektif semisal PSBB dan new normal life menambah daftar panjang jatuhnya korban. 

Semestinya negara beserta kepala daerah bahu membahu memutus mata rantai virus dengan lockdown, diimbangi pemenuhan kebutuhan publik secara maksimal bagi yang terinfeksi virus. Namun sayang, praktik yang pernah dicontohkam Rasul saw. dan Khalifah Umar ini tak menarik bagi negara penganut Demokrasi-Sekuler saat ini. Paham ini lebih fokus menggenjot ekonomi dengan membiarkan wisatawan asing masuk ke Indonesia dan membuka area untuk kaum pemodal di beberapa usahanya. 

Dalam pandangan serta aturan Islam, satu kematian manusia lebih berharga dibanding hancurnya dunia oleh karena itu negara akan berusaha seoptimal mungkin memutus wabah dan membantu korban terdampak secara maksimal. Sebagaimana masa kepemimpinan Umar bin Khattab menangani wabah mematikan bernama Tha'un. Umar berupaya memisahkan yang sakit dengan yang sehat. Bagi wilayah yang terdampak berat diberlakukan karantina lalu  menjamin seluruh kebutuhan bagi rakyat yang dikarantina melalui pos harta yang dimiliki dan pengerahan sumber kekayaan negara yang ada di wilayah lain.

Kebijakan dengan sudut pandang Islam akan mendukung segala daya dan fasilitas untuk menunjang kesehatan rakyat dalam menghadapi pandemi. Negara Islam juga akan memperhatikan kebutuhan para tenaga kesehatan dan keluarga yang mereka tinggalkan semua fasilitas itu dibiayai oleh negara dari pendapatan Baitul mal berupa hasil pengelolaan kekayaan alam.

Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab atas semua urusan rakyat, karena di pundak-nyalah kewajiban untuk menjaga agama, akal, nasab, harta dan kehormatan rakyatnya  harus terealisasi. 

Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan kepada mereka. Dan tidak beragama orang yang tidak menepati janjinya. " (HR. Ahmad)

Wallahu a'lam bishawab

Posting Komentar

0 Komentar