Oleh: Ummu Laila (Pemerhati Sosial Kec.Lainea, Sulawesi Tenggara)
Baru – baru ini kita di hebohkan oleh peraturan presiden (Perpres) soal bidang usaha penanaman modal, atau izin investasi untuk industri minuman keras (miras) . Namun karena mendapat banyak masukan dari ulama dan ormas-ormas Islam presiden Jokowi akhirnya mencabut lampiran III pada Perpres 10/2021 yang berisi ketentuan investasi miras pada selasa 2/3/2021.
Untuk sejenak publik merasa lega akan hal ini, sekaligus berharap semoga dengan dicabutnya klausal mengenai investasi miras, bahaya dan peredaran miras akan hilang. Kemudian dilain sisi pencabutan lampiran III tersebut dinilai sebagai wujud sikap demokratis presiden. Yang bermakna memperhatikan aspirasi publik.
Namun sayang jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya munculnya perpres ini merupakan bentuk pengejawantahan UU Omnibus law cipta kerja. Mengutip di laman (katadata.co.id 7/10/2020), pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha sebagai investasi melalui UU Cipta Kerja. Diantaranya yang dibuka adalah minuman keras yang mengandung alkohol.
Omnibus law tersebut mengubah UU 25/2007 tentang penanaman modal. Salah satu poin yang diubah adalah pasal 12 tentang bidang usaha yang terbuka dan tertutup untuk investasi. Maka sebenarnya yang menjadi dasar diterbitkannya perpres mengenai klausul investasi miras ada pada UU 11/2020 tentang cipta kerja.
Ibarat memangkas cabang aturan, tetapi tidak mencabut induk aturannya, ibarat memotong rumput tetapi tidak mencabut akarnya. Sama halnya dengan perpres tersebut, harus diingat yang dicabut lampirannya, bukan perpresnya yang mana dalam perpres tersebut banyak aturan mengenai investasi bidang usaha lainnya.
Karenanya tidak cukup , untuk mencabut lampiran III Perpres dengan hanya pidato presiden. Harus ada Perpres perubahannya, selain itu masih ada perpres 74/2013 tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol yang mewadahi industri miras yang sudah ada izin sebelumnya.
Munculnya UU Cipta Kerja dan ketentuan investasi miras dalam perpres 10/2021 makin menunjukan bahwa hukum hari ini mudah diutak-atik sesuai kepentingan , dapat berubah-ubah tergantung pemegang kebijakan. Inipun membuktikan bahwa dalam demokrasi hukum mudah dikompromikan, undang-undang dapat mengakomodasi kepentingan tertentu, hari ini diputuskan, lain waktu bisa direvisi sesuai pesanan.
Pada dasarnya sistem demokrasi sekuler, pemikiran manusialah yang bebas menentukan aturan ,sistem ini tidak ingin agama mencampuri kehidupan, halal- haram tidak akan diperhitungkan dalam menentukan kebijakan. Sehingga sangat wajar jika banyak UU yang kontroversi dengan aturan Islam.
Contoh kerusakan akibat miras sendiri telah tampak dari pemberitaan media baru-baru ini , yaitu tertangkapnya oknum polisi mabuk miras yang melakukan penenmbakan hingga timbul korban jiwa (kumparan.com.25/2/2021). Miras dilarang dalam Islam karena merusak akal dan bisa membuat kecanduan. Namun sayangnya dalam sistem Demokrasi- sekuler ini tidak berlaku sehingga apapun yang dianggap mendatangkan nilai manfaat dan keuntungan, meski haram sekalipun mereka halalkan dengan segala cara.
Maka sejatinya jika menginginkan peredaran miras terhenti, tidak cukup dengan pencabutan lampirannya atau membatalkan UU Cipta kerjanya. Sebab Dalam sistem Demokrasi sekuler, selalu ada peluang terciptanya UU – UU lain yang bertentangan dengan syariat Islam. Nah, inilah yang menjadi akar persoalan. Dan selama sistem ini tegak, sudah mesti segala bentuk kemaksitan dan kemungkaran tidak akan berkurang apalagi hilang.
Demikianlah jika aturan yang dipakai aturan buatan manusia, karena sifat dasar manusia relatif berubah-ubah sehingga tidak ada jaminan memberi solusi bagi umat manusia. Berbeda jika aturan yang dipakai atauran dari sang pencipta , sudah pasti dijamin akan memberi solusi tanpa masalah. Karenanya hanya dengan menerapkan hukum Allah Swt (syariat Islam) secara sempurnah segala bentuk kemungkaran akan dibasmi sampai akarnya.
Dan yang pasti aturan dari sang pencipta akan membawah berkah untuk seluruh mahluk tak terkecuali. Karena sesungguhnya Allah swt lah sebaik-baik pembuat hukum. “....Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah Swt. Dia menerangkan kebenaran dan Dia memberi keputusan yang tebaik”.(TQs: Al-An’am : 57).
Wallahu’alam Bishowab
0 Komentar