Oleh : Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)
Kelompok kriminal bersenjata (KKB) kembali berulah, beberapa waktu lalu tepatnya di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, mereka menyandera pesawat perintis milik Susi Air jenis Pilatus PC-6 S1-9364 PK BVY di Lapangan Terbang Wangbe, Distrik Wangbe, Kabupaten Puncak, Papua. TNI mengatakan aksi KKB itu dipicu rasa kecewa lantaran tak diberi dana desa oleh kepala kampung setempat (indoglobalnews.co.id, 13/3/2021).
Dari keterangan yang didapat dari pilot, saat melakukan penyanderaan itu KKB mengancam agar pesawat tidak membawa penumpang dari aparat TNI-Polri. Terkait dengan insiden tersebut, pihaknya sudah berkoordinasi dengan kepolisian. Sebab, teror yang dilakukan KKB semakin beringas dan sudah mengancam terhadap penerbangan sipil (regional.kompas.com, 13/3/2021).
Hingga saat ini, upaya separatisme Papua tak pernah sepi disuarakan. Keinginan Papua untuk merdeka semakin menguat. Hal ini berawal dari persoalan yang selama ini melingkupi masyarakat Papua. Dilansir dari kompas.com (31/8/2019) bahwa menurut Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri, ada empat akar masalah di Papua yang belum terselesaikan oleh pemerintah.
Pertama, diskriminatif dan rasisme salah satu permasalahan yang baru-baru ini terbukti terjadi di Jawa Timur. Kedua, pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai. Padahal, Presiden Joko Widodo ketika awal pemerintahannya di tahun 2014 menyatakan kasus pelanggaran HAM di Papua harus diselesaikan. Tapi sampai saat ini pelanggaran HAM yang terjadi di Wasior, Wamena, Paniai ini belum terselesaikan. Dan itu terjadi di era reformasi. Ketiga, pemerintah dinilai gagal melakukan pembangunan di Papua. Ia mengatakan, pihaknya menemukan kondisi kemiskinan di Papua semakin tinggi terutama di wilayah kabupaten dan kota. Selain itu, adanya diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang dilakukan terhadap kekayaan alam Papua menjadikan pemerintah dinilai telah gagal melakukan pembangunan di Bumi Cendrawasih tersebut.
Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak dilakukan di era sebelum otsus daripada setelah pelaksanaan otsus. Kondisi ini diperparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli dan pendatang terhadap penguasaan sektor perekonomian. Keempat, menurut Aisah, pemerintah selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua. Ia pun mengatakan, permasalahan itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua untuk meluruskan sejarah yang tidak pernah selesai.
Berdasarkan hal tersebut, gerakan separatis OPM yang sekarang disebut KKB sebenarnya sudah lama terjadi. Hingga saat ini mereka bersembunyi di wilayah pedalaman yang sulit dijangkau aparat keamanan. Kondisi geografis Papua sangat menguntungkan bagi kelompok ini. Pertanyaannya, mengapa gerakan ini begitu sulit diberantas? Jawabannya karena mereka mendapat simpati dan dukungan internasional, terutama bangsa Melanesia. Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini memiliki kedekatan kultural dengan bangsa Melanesia. Negara pendukung Papua merdeka juga berasal dari bangsa yang sama.
Pada Maret 2017, atas nama tujuh negara pasifik (Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Nauru, dan Kepulauan Slomon), Menteri Kehakiman Vanuatu saat itu, Ronald Warsal menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM serius terhadap orang asli Papua di sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Berlanjut di bulan Mei 2017, 11 anggota parlemen Selandia Baru menyatakan dukungan untuk kemerdekaan Papua Barat dengan menandatangani Deklarasi Westminster. Di kawasan Asia Pasifik, terbentuk organisasi berbasis ras Melanesia berkulit hitam, yaitu Melanesian Spearhead Group (MSG) yang didukung lembaga dunia seperti Australia dan AS. Salah satu negara pasifik, Vanuatu, selalu mendukung Papua masuk dalam organisasi MSG.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan beberapa negara, sangat berpotensi terjadi gerakan separatis. Terlebih di wilayah yang memiliki kerawanan terjadinya konflik vertikal maupun horizontal. Apalagi kekayaan alam yang dimiliki negeri ini selalu menjadi incaran bangsa lain untuk menguasai.
Lepasnya Timor Timur di masa lalu semestinya menjadi pelajaran berharga. Saat itu, desakan melepas Timor Timur datang dari Australia yang memiliki kedekatan kultural dengan Timor Timur yang berasal dari ras Melanesia. Diketahui, dukungan kuat Australia terhadap Timor Timur disinyalir karena adanya ketertarikan Australia pada kandungan minyak yang ada di Timor Leste.
Jika Papua lepas dari Indonesia, tentu sangat merugikan Indonesia. Sebab, Papua memiliki kekayaan alam luar biasa, baik itu hasil pertanian, pertambangan, hasil hutan, maupun pariwisata. Bila Papua lepas, jelas akan menguntungkan negara pendukung separatis.
Perlu diketahui, negara pendukung papua merdeka adalah negara-negara anggota persemakmuran bangsa-bangsa yang berafiliasi dengan Britania Raya (Inggris). Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo pernah mengatakan posisi geopolitik Indonesia berada di tengah negara-negara Five Power Defence Arrangement (FFDA) yang beranggotakan Britania Raya, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura. Beliau menjelaskan, FFDA yang merupakan perjanjian negara-negara persemakmuran Inggris menyimpan kerawanan yang patut menjadi perhatian serius Indonesia.
Papua telah menjadi bahan rebutan kepentingan negara kapitalis karena kondisi potensi sumber daya alamnya yang luar biasa. Keinginan Papua untuk merdeka belum tentu menjadikan Papua sejahtera. Namun, bersama Indonesia pun, Papua berada di persimpangan jalan. Inilah akibat sistem pemerintahan yang hanya mengutamakan kepentingan kapitalis. Sesungguhnya Papua hanya butuh perhatian dan periayahan. Papua membutuhkan sentuhan sistem bervisi jangka panjang, baik pembangunan masyarakatnya maupun ekonominya.
Jika Papua diurus dengan cara dan kepemimpinan Islam (baca: Khilafah), maka yang akan dilakukan adalah: Pertama, membangun infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar secara layak. Skema itu dilakukan dengan memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki tanah Papua. Masyarakat dilibatkan dalam pengelolaannya. Negara sebagai pelaku utama eksplorasi dan eksploitasi SDA. Bukan diserahkan pada asing atau swasta. Dengan begitu, kesejahteraan hidup masyarakat Papua akan terwujud. Kedua, menegakkan hukum secara tegas dan adil baik kepada kelompok separatis, rasis, dan tindak kriminal lainnya. Dalam Islam, menjaga persatuan dan kesatuan adalah kewajiban. Memisahkan diri dari negara merupakan keharaman. Setiap pelaku bughat atau makar diberi sanksi dengan diperangi. Arti diperangi di sini maksudnya adalah men-ta’dib mereka (memberi pelajaran) tanpa membunuh nyawa. Agar mereka kembali bersatu dalam negara. Ketiga, Islam mencegah segala bentuk intervensi asing. Terhadap kafir harbi fi’lan tidak boleh ada hubungan kerja sama dalam bentuk apa pun. Keempat, perlakuan Islam terhadap dzimmi (nonmuslim yang berada dalam perlindungan negara Khilafah) sangat adil. Hak dan kebutuhan mereka terpenuhi dan terjamin seperti halnya warga muslim. Sikap rasis dan diskriminatif hampir nihil terjadil.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (nonmuslim yang tidak memerangi umat muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR Imam Thabrani)
Semua hal itu hanya bisa diterapkan manakala negara menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara yang dimaksud berbentuk negara Khilafah Islamiyah. Bukan negara demokrasi kapitalis yang aturannya memicu munculnya separatis.
Wallahu’alam bishshawab.
0 Komentar