Menggagas Ulama Perempuan Demi Moderasi Islam dan Kesetaraan Gender

Oleh: Puji Ariyanti (Pegiat Literasi untuk Peradaban)

Sekularisme selalu memunculkan keresahan demi keresahan di tengah masyarakat muslim. Barat gagal dalam beberapa proyek besarnya di dunia Islam, salah satunya dalam menancapkan nilai gender. Mereka tidak lantas berputus asa. Mereka gencar menancapkan ide-ide perselisihan di antara kaum muslim dalam isu kontraterorisme dan deradikalisasi dalam bahasan gender.

Kali ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI). Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin  Umar bersepakat menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) di kantor Kementerian PPPA (Kompas.com, 19/2/2021).

Menteri PPPA menjelaskan isu perempuan dan anak merupakan isu yang kompleks, multisektoral, dan sangat berkaitan dengan cara berpikir masyarakat. Sehingga, ia mengapresiasi program dari Imam Besar Masjid Istiqlal untuk mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat agar ramah dan responsif terhadap perempuan dan anak.

Menurut Ulama terkemuka nasional KH Nasaruddin Umar mengatakan Masjid Istiqlal sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara akan mengarusutamakan bertumbuhnya ulama perempuan yang mengkaji Al Quran dan Hadits.

"Kita buka pengkaderan ulama perempuan. Mungkin ini pertama di dunia. Ulama perempuan akan mengkaji Al Quran dan Hadits dalam perspektif kesetaraan gender," kata Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar dalam sambutannya secara daring yang dipantau dari Jakarta, senin 22/2/21.

Masjid berada di tengah masyarakat. Bisa dibayangkan kalau pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak disuarakan melalui masjid, dampaknya akan dahsyat, demikian kata KH Nasaruddin. KH Nasaruddin juga mengatakan pemberdayaan masyarakat berawal dari penguatan keluarga. Untuk membentuk masyarakat dan negara yang ideal, berawal dari keluarga yang ideal.

Munculnya bias gender karena perempuan dinilai tidak memiliki peran dalam nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, seakan membatasi gerak langkah perempuan. Perempuan dianggap kurang penting dibandingkan laki-laki. Sehingga tak layak perempuan menerima posisi strategis dalam kepemimpinan.

Namun demikian, program pendidikan ulama perempuan untuk penghapusan bias gender bisa menghantar lahirnya ‘rujukan publik’ yang memperkuat moderasi dan penguatan sekularisme. Menancapakan Islam moderat yang dilambangkan lebih ramah dan toleran. Padahal, Islam moderat adalah paham yang justru akan menjauhkan Islam nan hakiki sebagai ajaran yang kafah serta pemersatu sejati antarseluruh golongan dan umat. 

Sejatinya Islam menempatkan ulama sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dengan negara. Sudah seharusnyalah ulama merujuk buah kesuksesan keberhasilan Nabi SAW dalam membentuk umat dengan cara menggabungkan dua fondasi utama yang kuat yakni pemerintahan dan agama. Fondasi agama yang dimaksud adalah keikutsertaan ulama sebagai penguat pembangunan peradaban kaum muslimin. 

Peran ulama yang demikian strategis harusnya mampu berkontribusi pada perbaikan kualitas keluarga. Dengan turut serta membendung paham sekularisme yang saat ini gencar dihembuskan barat, sehingga membanjiri pemikiran keluarga-keluarga muslim. Agar keluarga muslim semakin jauh dari syariat-Nya. Tugas ulama memberikan edukasi dengan menjadikan masjid sebagai taklim-taklim agar Ibu dan ayah memiliki peran masing-masing namun berperan bersama dalam mencetak generasi tangguh yang senantiasa survive dalam setiap kondisi. 

Islam agama yang sangat memperhatikan tumbuh kembang generasi. Dengan demikian negara dan ulama merupakan penanggung jawab untuk lahirnya keluarga ideal dan peran ulama semakin maksimal bila kebijakan negara berbasis aturan syariat. Itulah keluarga ideal sejati. [] Wallahu'alam Bishshawab

Posting Komentar

0 Komentar