Oleh : Sri Handayani
Pernikahan dan keluarga yang bahagia adalah dambaan setiap pasangan. Walau dalam perjalanannya memang tidak selalu diisi dengan suka dan menyenangkan saja, tapi kadang ada duka yang menyertai. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan hati dan fisik ketika duka itu muncul, agar bahtera kapal yang diarungi tidak karam di pertengahan jalan. Ibarat dua pasangan kata yang selalu berdampingan, tinggal kita memenuhi diri dengan bekal yang sebaik mungkin untuk mengahadapinya, suka duka, bertemu berpisah, sayang menjengkelkan dan yang lainnya. Bekal itu adalah ketaqwaan kepada Allah.
Menikah adalah menyatukan dua karakter dan kebiasaan yang berbeda. Memang dibutuh waktu dan energi untuk belajar memahami. Tidak 1 bulan atau 1 tahun, tapi bisa sampai akhir hayat. Terkadang muncul cinta, benci, jengkel, kadang gemesin campur jadi satu rasa. Yang lolos ujian adalah yang menanamkan diri sejak awal selain ketaqwaan adalah ilmu, iman dan kesabaran. Jika tidak ada pengetahuan dan pemahan tersebut bisa berakhir duka terus, bisa salah paham dan terjadi kekerasan didalam rumah tangga, bahkan perceraian.
Tujuan menikahpun sesungguhnya dalam Islam sederhana, meneruskan kehidupan generasi robbani. Bagaimana menjadi keluarga yang mencintai Allah dan RosulNya. Jadi semua aktivitas dilakukan untuk meraih ridhoNya. Maka pasti sakinah mawadah dan warohma teraih. Karena menikah adalah janji suci kita langsung kepada Allah, yaitu Mitsaqon gholidza. Bukan semata nafsu dan beranak saja tanpa ada tanggung jawab, tapi lebih jauh dari itu.
Kejadian miris yang sering kita dengar akhir-akhir ini, membuat kitapun sedih luar biasa. Karena pernikahan menjadi bencana bagi pelakunya. Bagaimana berita istri mencoba meracuni suami atau suami mukul istri, atau suami bunuh istri bahkan suami istri selingkuh dan ada yang saling membunuh..astaghfirullah. Bahkan angka perceraianpun meningkat tajam, hanya karena terjadi kesalahpahaman dan ketidaksabaran. Agama mulai dilupakan, dijadikan kambing hitam, terkadang kerudung dipermasalahkan, istri begitu mudah membuka aurat, melepas kerudung karena sesuatu hal yang tidak disukai atau membangkang, anak ditelantarkan bahkan dibunuh karena ekonomi, belum lagi bapak tega menghamili anak tiri bahkan anak kandung, Na'udzubillah mindzalik. Semua serba amburadul, akhirnya pernikahan disalahkan, usia anak yang dipersoalkan dan menjadikan semua teracuni dengan kebobrokan kapitalis liberalisme yang merusak pernikahan Islam yang suci. Muncul kawin kontrak, kawin berbayar, seks bebas, hilangnya rasa takut kepada Allah beralih kepada uang dan nafsu.
Selain ketaqwaan memang dibutuhkan aturan yang mengatur dan melindungi secara menyeluruh, yang mendukung dan menjadi perisai dari aturan kapitalis yang justru merusak seluruh tatanan Islam yang ada. Yaitu dengan menerapan aturan syariah Islam secara kaffah tanpa pilih-pilih. Yang pernah diterapkan dimasa-masa kekhilafah lalu, yang menjaga kehormatan dan keutuhan pernikahan dan keluarga. Seperti masa kholifah Umar bin khottob yang membantu pemuda yang ingin menikah, diberi subsidi bagi yang menyusui dan balita, kontrol dari kholifah kepada keluarga pasukkan yang ikut berperang, masyaAllah terjamin ekonomi dan keimanan mereka.
0 Komentar