Oleh : Imas Royani
Lagi-lagi musuh Islam membidikkan senapannya hendak melumpuhkan Islam setelah berbagai cara keji dilakukan namun tak jua meraih keinginan, hingga akhirnya peluru pernikahan dini dan poligami dilepaskan. Bermula adanya laman misterius "Aisha Weddings" yang dibuat tanggal 9 Februari 2021 dimana laman tersebut mempromosikan tentang nikah muda dan poligami dengan kalimat-kalimat promosinya yang dinilai provokatif dan meresahkan, kemudian dijadikan bahan untuk membahas kembali ajaran Islam yang dinilai mendiskreditkan posisi perempuan dalam pernikahan. Laman ini disebut misterius karena melihat tanggal pembuatannya yang belum lama juga belum diketahui motif di balik semua ini. Kendati demikian, hal ini mengundang banyak respon baik yang pro maupun yang kontra. Respon kontra dilontarkan oleh berbagai pihak mulai dari pihak pemerintah melalui para menterinya, para aktivis perempuan, Komnas Perempuan dan LSM yang bergerak dalam bidang isu perlindungan anak.
Di sisi lain, media menjadikannya berita besar hingga makin banyak yang terprovokasi bahkan banyak pihak yang membawanya ke ranah hukum dengan gugatan melanggar hak anak dan perendahan terhadap martabat wanita. Dikutip dari Merdeka.com (11/02/202), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mencegah pernikahan dini. Beliau pun telah berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini dan meminta Kemenkominfo untuk memblokir website tersebut. Bahkan Kasus Aisha Weddings saat ini telah masuk ke jalur hukum. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyebut akan menyelidiki kasus tersebut berdasar laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (cnnindonesia.com, 11/02/2021).
Sebelumnya, dengan alasan untuk memastikan akses universal terhadap informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi (kespro), terutama untuk perempuan dan anak, Pemerintah Indonesia bersama United Nations Population Fund (UNFPA) telah menandatangani Rencana Aksi Program Kerja Sama atau Country Programme Action Plan (CPAP) 2021-2025 senilai USD 27,5 juta. (bappenas.go.id, 29/01/2021).
Tentu saja hal ini semakin menimbulkan pertanyaan besar, ada apa di balik semua ini. Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi mengungkapkan, viralnya Aisha Weddings bertujuan hanya untuk membangun keresahan. Karena informasi ini tidak jelas asalnya dan tidak diketahui siapa pembuatnya. Aisha Weddings sebagai Wedding Organizer (WO) tidak jelas keberadaannya, baik online maupun offline. Hal senada diungkapkan oleh anggota DPD Abdul Rahman Thaha. Beliau menambahkan bahwa, kalimat-kalimat vulgar yang terdapat dalam situs tersebut justru memantik kecurigaan. Apakah benar-benar nama sebuah wedding organizer atau hanya sebatas propaganda untuk mendiskreditkan kalangan agama tertentu. Beliau pun meminta Polri untuk menginvestigasi siapa di balik Aisha Weddings. (kompas.com, 11/2/2021).
Ummu Naira Asfa dari Forum Muslimah Indonesia mengungkapkan, terdapat beberapa kejanggalan dalam situs Aisha Weddings. Kejanggalan pertama, tidak ditemui alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi para calon pengguna jasanya. Kejanggalan kedua ialah situs Aisha Weddings menggunakan skema pengaturan memblok IP Address pengunjungnya yang telah mengunjungi halaman tertentu di situs tersebut. Kejanggalan ketiga ialah pihak Aisha Weddings ditemukan membayar jasa percetakan banner di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan menggunakan PayPal, bukan rekening bank biasa. Selain itu, akun PayPal yang digunakan untuk membayar jasa percetakan banner menggunakan nama samaran.
Tidak heran jika situs tersebut dicurigai sebagai upaya membangun persepsi dan opini publik untuk menstigma ajaran Islam. Setelah isu ini ramai diperbincangkan, desakan untuk mengesahkan RUU-PKS pun mengemuka. Desakan itu datang dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Mereka mengecam promosi yang dilakukan Aisha Weddings. Mereka menyebut promosi nikah muda, poligami dan nikah siri adalah bentuk pelecehan terhadap agama karena memanfaatkan agama untuk tujuan bisnis dan eksploitasi seksual anak perempuan. Oleh sebab itu pengesahan RUU-PKS yang diharapkan menjadi payung hukum untuk melindungi korban dan calon korban, sekaligus menindak pelaku merupakan sesuatu yang mendesak. (suara.com, 12/2/2021).
Dengan demikian larangan dan penutupan situs tersebut di kalangan masyarakat sekuler dianggap sebagai tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan reproduksi. Sayangnya pelarangan tersebut tidak berlaku bagi pihak-pihak yang aktif mempromosikan arus liberalisasi pergaulan, padahal dari arus inilah telah nampak fenomena penyimpangan dan kerusakan dalam pergaulan seperti pacaran, pergaulan bebas, hamil di luar nikah, aborsi, pemerkosaan serta pencabulan. Jika demikian besar perhatian terhadap anak-anak dan perempuan, bagaimana dengan promosi pergaulan bebas yang mewujud dalam film-film yang mengarah pada seks bebas? Mengapa website yang seperti itu tidak sekalian diblokir? Mengapa mereka yang aktif bersuara untuk anak-anak dan perempuan tak turut vokal mengomentari derasnya liberalisasi pergaulan di kalangan remaja? Dari sini dapat terlihat pintu begitu terbuka lebar untuk melancarkan serangan terhadap syariat. Di masyarakat sekuler banyak muslim yang terprovokasi karena ketidak fahamannya terhadap syariat Islam secara utuh sehingga dalam hitungan detik berita mengenai hal ini langsung viral dan menjadi sarana kalangan sekuler untuk menyerang syariat pernikahan dan mengkampanyekan larangan pernikahan dini dan hak anak. Bagi para pegiat kesetaraan gender dan HAM, permasalahan yang kerap melanda kaum perempuan dan anak-anak selalu dikaitkan dengan diskriminasi syariat Islam terhadap perempuan seperti nikah muda, poligami, aturan berpakaian dan lain-lain. Inilah yang harus diwaspadai umat Islam.
Jika kita lihat, ada penyebab utama di balik maraknya pernikahan dini, kekerasan seksual, tingginya perceraian, KDRT dan berbagai masalah yang menimpa perempuan. Semua itu muncul karena sistem kehidupan serba sekuler kapitalistik. Agama dijauhkan dari kehidupan sehingga tidak lagi menjadi pedoman hidup bagi manusia. Pernikahan dini dalam masyarakat sekuler memang akan menyebabkan polemik, seperti kekerasan seksual, tingginya perceraian, KDRT dan lain-lain. Karena pernikahan dini semacam ini dibangun dari cara pandang sekuler kapitalistik dimana hubungan yang terbentuk diantara pria dan wanita hanya sebatas seksual semata atau perolehan materi tanpa ada aturan agama yang melandasi dan mengarahkan di dalamnya. Dikaitkannya segala faktor rumah tangga dengan usia sejatinya makin membuktikan kegagalan sistem sekuler kapitalisme dalam membentuk dan menjaga problem generasi untuk siap menghadapi kehidupan.
Hal ini sungguh berbeda dengan Islam. Dalam Islam pernikahan bukan soal usia melainkan tentang kesiapan memikul tanggungjawab dan beban pernikahan. Allah SWT. menggambarkan besar dan agungnya pernikahan dalam Al-Quran dengan lafadz ميثا قا غليظا)"perjanjian yang agung dan berat"). Allah SWT. berfirman,
وَ كَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَا قًا غَلِيْظًا
"Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 21)
Disebut perjanjian yang agung dan berat karena besar dan beratnya tanggungan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan setelah menikah, maka bagi siapa saja yang siap dan mampu berapapun usianya, Islam mendorong untuk melakukan pernikahan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu, hendaknya menikah, sebab menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR Bukhari dan Muslim) (HSA Al Hamdani, 1989, Risalah Nikah : 18).
Hadits tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy syabab), bukan orang dewasa (ar rijal) atau orang tua (asy syuyukh). Hanya saja, seruan itu tidak disertai indikasi (qarinah) ke arah hukum wajib, maka seruan itu adalah seruan yang tidak bersifat harus (thalab ghairu jazim), alias mandub (sunah). Pengertian pemuda (syab, jamaknya syabab) menurut Ibrahim Anis et. al (1972) dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith halaman 470 adalah orang yang telah mencapai usia baligh tapi belum mencapai usia dewasa (sinn al rujuulah). Sedang yang dimaksud kedewasaan (ar rujulah) adalah “kamal ash shifat al mumayyizah li ar rajul” yaitu sempurnanya sifat-sifat yang khusus/ spesifik bagi seorang laki-laki (Ibid : 332). Kata mampu dalam hadits tersebut maksudnya ialah mampu bertanggung jawab atas segala beban pernikahan. Bagi laki-laki, ia mampu menafkahi istrinya dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Bagi perempuan, kata mampu merujuk pada pengetahuan dan keterampilan mendidik anak karena perempuan akan menjadi ibu dan pengatur rumah bagi suaminya. Islam mendefinisikan taklif hukum tidak diukur dari rentang usia anak sebagaimana pandangan sistem sekuler. Tolok ukur taklif hukum itu dilihat dari usia baligh. Jika anak sudah memasuki usia baligh, ia bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya.
Hadits ini mengungkapkan hikmah besar di balik pernikahan, yaitu terjaganya pandangan dan kemaluan (hasrat seksual). Pernikahan adalah salah satu pintu pencegah terjadinya perzinaan yang diharamkan Allah SWT karena terbukti membuat kehancuran. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Isra' 17: Ayat 32 yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
Seorang muslim wajib mengetahui hukum-hukum syariat terkait perbuatan yang dilakukannya. Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami istri, talak, rujuk dan sebagainya. Mempelajari hukum-hukum nikah adalah fardu bagi setiap muslim. Fardu kifayah bagi mereka yang akan melaksanakannya di kemudian hari dan fardu ain bagi yang akan bersegera melaksanakannya dalam waktu dekat. Menikah hukum asalnya adalah sunah (mandub) sesuai firman Allah SWT. yang artinya, “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS An Nisaa’: 3)
Perintah untuk menikah dalam ayat di atas merupakan tuntutan menikah (thalab al fi’il). Namun, tuntutan tersebut tidak bersifat pasti/ keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara menikah dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka, tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunah, tidak wajib. Akan tetapi, hukum asal sunah ini dapat berubah menjadi hukum lain, misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian (‘iffah) dan akhlaknya kecuali dengan menikah, hukum menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga ‘iffah dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim. Apabila hal ini tidak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya, sesuai kaidah syara’ “Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” yang artinya “Jika suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah Juz III, : 36-37).
Dapat juga pernikahan menjadi haram, jika menjadi perantaraan kepada yang haram, seperti pernikahan untuk menyakiti istri atau pernikahan yang akan membahayakan agama istri/ suami. Kaidah syara’ menyatakan, “Al wasilah ila al haram muharramah” yang artinya “Segala perantaraan kepada yang haram hukumnya haram.” (Taqiyuddin An Nabhani, 1953, Muqaddimah Ad Dustur, : 86)
Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunah (mandub). (Taqiyuddin an Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan mereka yang masih muda. Maka dari itu, hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada semua pernikahan. Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjauan fikih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, yaitu kesiapan ilmu, kesiapan materi/ harta dan kesiapan fisik/ kesehatan. Ini adalah kesiapan menikah yang berlaku umum, baik untuk yang menikah dini maupun yang tidak dini.
Dalam sistem Islam, negara akan memberikan edukasi untuk generasi yang siap menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri, ayah-ibu ketika setelah menikah, membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah yang menjadi tujuan pernikahan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT,
وَمِنْ اٰيٰتِهٖۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَا جًا لِّتَسْكُنُوْۤا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum 30: Ayat 21)
Dan kesemua itu tdak akan diberikan melalui edukasi singkat semisal latihan beberapa hari saja, namun diberikan sepanjang masa sejak masa pra baligh bahkan setelah berumah tangga. Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk syakhshiyah Islam (kepribadian Islam). Sekolah akan mencetak pribadi yang siap menerima taqlif (beban hukum) yaitu siap menjalankan syariah Islam termasuk syariah pernikahan. Negara akan melakukan edukasi sepanjang hayat bagi pasangan suami-istri melalui media, baik online maupun offline sehingga proses kematangan individu dalam bersyakhshiyah Islam akan terwujud begitu juga samawa dalam rumah tangga akan meningkat.
Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga rakyat akan sejahtera dan para lelaki mampu menafkahi keluarganya dengan ma'ruf sehingga ketahanan keluarga bisa terwujud. Negara juga akan menerapkan sistem sosial Islam berupa serangkaian pergaulan laki-laki dan perempuan mulai dari memaknai usia baligh juga menutup aurat, ketentuan berpakaian, larangan berdua-duaan dengan yang bukan muhrim, campur-baur antara laki-laki dan perempuan serta pemisahan antara laki-laki dan perempuan kecuali ada keperluan yang dibenarkan oleh hukum syara. Semua aturan sosial ini akan menjaga pergaulan dan kehormatan perempuan, meredam timbulnya gejolak seksual yang tidak pada tempatnya serta menutup pintu perzinaan. Negara akan menerapkan sistem sanksi Islam yang berisi sanksi tegas bagi pelaku zina dan penuduh zina tanpa bukti.
Adapun mengenai poligami, hal itu dibolehkan dalam Islam. Dalam Islam, poligami merupakan cara agar lelaki tidak terjerumus ke dalam perbuatan menyimpang seperti berzina, juga cara untuk menjaga kehormatan perempuan dan lelaki. Poligami juga dapat menjadi cara untuk memperbanyak keturunan atau solusi bagi pasangan suami dan istri yang sebelumnya sulit memiliki anak. Apabila dipraktikkan sesuai dengan tuntunan syariat Islam, poligami bisa menjadi solusi dalam persoalan rumah tangga. Sebab, hukum poligami sendiri mubah. Boleh dilakukan dan boleh juga tidak.
Penerapan seluruh sistem tersebut oleh negara Islam yaitu Khilafah akan membuahkan realita bahwa orang yang menikah adalah orang yang memang siap menikah, berapapun usianya. Sedangkan bagi yang belum siap menikah, dia juga tidak akan sulit untuk menjaga diri dan kesuciannya. Negara Khilafah telah terbukti mampu mewujudkan kebaikan pada pernikahan dan rumah tangga kaum muslim selama berabad-abad lamanya. Dengan penerapan syariat Islam, generasi akan terdidik dengan iman dan ketaatan yang tinggi, masyarakat akan terbina dengan ketakwaan dan negara memainkan perannya menjaga generasi dari tontonan dan pemahaman yang menyesatkan. Oleh karenanya, jika kita menginginkan kehidupan yang mampu melindungi anak-anak, perempuan dan keluarga, kembalikan pengaturan kehidupan ini pada syariat Islam.
Wallahu'alam bishshawwab.
0 Komentar