PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

Oleh : Wina Apriani

Belakangan ini masalah pemberdayaan perempuan kembali mencuat setelah berbagai problematika perempuan yang terjadi saat ini, terlebih di masa pandemi sekarang. Semakin menjadi topik yang banyak diperbincangkan, diantaranya yang paling dominan adalah masalah kemiskinan perempuan yang dianggap sebagai penyebab sulitnya perempuan untuk meraih kesejahteraan. Upaya untuk menuntaskan kemiskinan perempuan dilakukan dengan jalan pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh sistem kapitalisme saat ini kepada perempuan melalui berbagai organisasi atau elemen masyarakat dengan mewujudkan kemandirian perempuan. Hal ini dilakukan tidak lain adalah agar perempuan tidak tergantung kepada suami bahkan bisa berkontribusi dalam mendukung kesuksesan keluarga. Oleh karenanya kaum perempuan di berikan tawaran menggiurkan serta dorongan agar perempuan memperoleh penghasilan kian diminati. 

Selain itu pula  pemberdayaan perempuan turut di gencarkan  melalui berbagai organisasi termasuk salah satunya Fatayat NU. Seperti yang di beritakan melalui RADAR SUMEDANG ID  "Elemen Fatayat Nu yang bergerak di dalam keagamaan turut ikut beropini sebagai wadah pemberdayaan perempuan yang bergerak juga dibidang ekonomi dan sosial, selain itu juga memberikan pemahaman soal kemajuan teknologi di Fatayat NU kini ada Forum Daiyah yang salah satu kegiatannya Nyantri Keren dengan tujuannya yakni beropini untuk menghimpun para Daiyah di Fatayat NU supaya benar-benar aktif berperan  dalam membentengi masyarakat dari faham radikalisme, khususnya di dunia Maya". Ungkap Ai Faridah.

Berangkat dari permasalahan di atas, kita harus mengetahui apa yang dialami perempuan bukan justru dengan adanya pemberdayaan  yang dilakukan berbagai organisasi atau elemen, termasuk yang dilakukan Fatayat NU apalagi dengan memberikan dampak yang secara konsep tidak tepat. Harus kita pahami dengan betul bahwa adanya Pemberbedayaan yang di berikan kepada masyarakat, bukan hanya menyelesaikan tanpa memperhitungkan dampak positif dan negatif. Selain itu pula apakah hanya akan memberikan manfaat semata melalui adanya wadah pemberdayaan kepada perempuan. Faktanya sudah terbukti bahwa pemerintah dan berbagai aparat terkait  tidak  memperhitungkan bahayanya bagi kaum perempuan.

Sebagai masyarakat yang taat atas aturan Islam, kita jangan hanya semata untuk memikirkan perekonomian hidup semata, tanpa memperhitungkan dampak besar yang paling mendasar. Mengenai aspek pemberdayaan perempuan dalam kegiatan ekonomi di sistem kapitalisme saat ini justru akan menjadi pintu masuk menuju kemandirian guna meningkatkan posisi daya tawar perempuan dalam pengambilan keputusan. Selain itu kemandirian perempuan dalam aspek ekonomi dan sosial perlu dipacu karena tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih cukup rendah dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan laki-laki. Dalam lima tahun terakhir, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sekitar 50-55 persen, sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki berkisar 75-80 persen. Bahkan mayoritas perempuan bekerja di sektor informal, khususnya perdagangan dan jasa. Jika partisipasi perempuan dalam angkatan kerja bisa ditingkatkan, hal itu akan memberikan kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

Bisa kita saksikan dengan nyata bahwa upaya memandirikan perempuan saat ini didominasi oleh paradigma kapitalisme yang menyandarkan segala sesuatunya melalui pencapaian materi. Peluang dan produktivitas yang dimiliki perempuan apabila tidak diberdayakan adalah ‘mubazir’. Pemerintah pun memberikan perhatian yang sangat besar dalam mendukung program pemberdayaan ekonomi dan kemandirian perempuan. Hal ini sangat wajar mengingat keberhasilan yang dicita-citakan dari program ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan tingkat perekonomian negara. Sehingga, pada akhirnya perempuan yang tidak produktif secara materi dipandang rendah dan membuat mereka mendobrak ‘tradisi’ ini.

Masalah yang terjadi di masyarakat mengenai Kemiskinan Perempuan harus kita ketahui akar masalahnya, benarkah kemiskinan hanya dialami kaum perempuan? Faktanya, tidak. Banyak pria yang juga mengalami kemiskinan dan pemiskinan, terlebih saat pandemi ini. Kondisi ini mampu melumpuhkan ekonomi keluarga dan berujung kepada lemahnya ketahanan keluarga. Menyimpulkan kemiskinan perempuan itu disebabkan tidak diberdayakannya perempuan adalah sebuah kekeliruan fatal. Bahkan akan memicu munculnya permasalahan lain yang lebih kompleks.

Kemiskinan yang menimpa negeri ini diakibatkan adanya kebijakan ekonomi pasar bebas yang lahir dari rahim ekonomi kapitalisme. Kebijakan ini memaksa negara berkembang bersaing (secara tidak fair) dengan negara maju, salah satunya melalui program kemandirian perempuan. Program ini didukung secara massif oleh para pejuang kesetaraan gender mulai ranah grassroot hingga puncak kekuasaan legislasi. Realisasi program dan kebijakan tersebut akan memaksa kaum perempuan untuk beraktivitas ganda, selain sebagai seorang ibu dan istri, pun harus berfikir bagaimana menghasilkan pundi-pundi uang. Tak sedikit perempuan sekarang yang mengalami tingkat stress yang tinggi dan kelelahan yang berat demi mengejar materi.

Benarkah Solusi Perempuan inikah yang dikehendaki? Kesuksesan yang fana, melahirkan generasi rapuh akibat hilangnya masa penanaman fondasi hidup dari sang ibu. Inilah profiling perempuan masa kini, menurut versi mereka. Maka Jaminan Pemenuhan hak Perempuan dalam Islam jelas sekali, dengan syariat Islam menempatkan perempuan dan pria sebagai satu bagian yang utuh di dalam masyarakat. Keberadaan mereka akan melengkapi satu dengan lainnya dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan fitrah masing-masing. Keduanya memiliki hak hidup dan jaminan kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup merupakan hal yang erat kaitannya dengan iman dan ketundukkan kepada syariat Islam. Kesejahteraan tidak selalu diidentikkan dengan materi (fisik) namun juga nonfisik. Syariat Islam menetapkan suami sebagai penanggung jawab istri dan anak-anak mereka, sementara perempuan ditetapkan sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah suaminya). Pembagian tugas di antara mereka bukan untuk merendahkan satu dengan yang lainnya, namun semata-mata karena ketundukkan mereka terhadap aturan al-Khaliq al-Mudabbir. Ketika keduanya melaksanakan secara sungguh-sungguh, maka kebahagiaan di antara mereka, terpenuhinya hak anak-anak mereka secara maksimal akan terwujud.

Upaya mewujudkan kesejahteraan baik bagi perempuan maupun pria ini pun tidak terlepas dari tanggung jawab negara. Negara yang menerapkan syariat Islam pastilah akan memahami batasan-batasan apa saja yang sesuai dengan taklif syariat bagi perempuan dan pria dalam mengatur relasi diantara mereka. Terutama dalam masalah lapangan pekerjaan dan pelaksanaan hukum syara. Dan pastinya seluruh aturan negara akan mendukung dan menguatkan peran asal (utama) mereka di dalam keluarga.

Negara yang menerapkan syariat Islam secara kaaffah tidak akan membiarkan didikte oleh kebijakan asing sebagaimana terjadi saat ini. Negara Islam adalah negara yang hanya akan tunduk kepada aturan Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ demi meraih keberkahan yang dijanjikan-Nya. Allah ﷻ berfirman di dalam QS. al-A’raaf [7] : 96,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Dengan demikian yang harus kita pahami bahwa jaminan Islam dalam memenuhi hak perempuan dan kesejahteraan mereka yang tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan secara umum. Saatnya kita membuang solusi sistem batil yang lahir dari ideologi kapitalisme yang mengatanamakan kemandirian perempuan.

Wallah a'lam bishawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar