Pemimpin dalam Islam Tidak Anti Kritik

Oleh: Devita Deandra (Aktivis Muslimah)

Belakangan rame banyak pihak yang meminta Presiden Jokowi untuk menghapus pasal-pasal karet pada UU ITE, kemudian meminta DPR untuk merevisinya. Namun revisi UU ITE sendiri bukanlah yang pertama kali. Sebut saja tahun 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Namun, keberadaan pasal-pasalnya tetap dianggap pasal karet. Misal pasal 27 ayat (1) soal kesusilaan, pasal 27 Ayat (3) soal Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik, dan pasal 28 Ayat (2) soal Ujaran Kebencian. Masing-masing ternyata akan terkena hukuman paling lama 6 tahun penjara dan/atau Rp 1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp 750 juta (kompas.com, 17/02/2021).

Ditambah lagi, adanya revisi UU ITE diduga untuk melindungi buzzer. Betapa tidak, apa yang dilakukan buzzer sudah meresahkan masyarakat. Misalnya, beberapa penceramah dikatakan terindikasi terorisme. Padahal, yang disampaikan seputar hukum Islam. Atau ada pula ungkapan tidak diperkenankan mengkritik kebijakan penguasa yang sudah diputuskan, dan sebagainya.

Menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas bahwa ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dengan era Orde Baru. Situasi ini sudah bergerak ke arah neotoritarianisme.

Mengapa demikian? Pertama, masifnya buzzer atau pendengung di media sosial. Orang-orang yang kritis mengkritik penguasa, biasanya diserang buzzer dengan berbagai macam cara. Kedua, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi. Ketiga, adanya UU ITE yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer (nasional.kompas.com, 20/02/2021).

Dari sini dapat kita liat, bahwa sesungguhnya kritik dalam demokrasi tidaklah di fasilitasi. Padahal presiden sendiri yang minta di kritik. Namun lagi-lagi kritik pun di atur. Hal ini tentu saja membuat rakyat takut pasalnya bisa jadi akan terjerat hukum. Sebab aturan di sistem buatan manusia ini tidaklah konsisten.

Kebebasan berpendapat yang diagungkan, bertolak belakang dengan aturan yang dibuat. Secara tidak langsung penguasa sesungguhnya telah membungkam kebebasan berpendapat bagi rakyatnya. Aturan pun dinilai tidak adil bagi rakyat, pasalnya hukum selalu tajam ke bawah, namun tumpul ke atas, terlebih kepada orang-orang yang dekat dengan penguasa.

Inilah buah dari sistem buatan manusia. Negeri yang masih menerapkan aturan buatan manusia ini, dalam membuat  peraturan bahkan UU akan selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan ketika pergantian penguasa, akan selalu berkemungkinan adanya perubahan dalam peraturan, sebab semua atas dasar kepentingan. Begitulah dinamikanya. Aturan tambal sulam, tak akan menghasilkan ketetapan hukum. 

Sungguh berbeda dengan aturan Islam. Karena penguasa dalam pemerintahan Islam selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah. Maka kritik justru di butuhkan, sebab khalifah atau pemimpin juga manusia yang membutuhkan koreksi dan nasehat dari manusia lainnya bahkan dari rakyat. Terlebih dalam mengambil kebijakan.

Dituturkan dari Anas bin Malik, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berpidato selepas pelantikan sebagai khalifah.

Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik, maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk, maka luruskan aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku sampai aku mengembalikan haknya, insya’a Allah… Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku. Berdirilah kalian untuk salat. Semoga Allah merahmati kalian.” (Imam ath-Thabari, Târîkh ath-Thabarî).

Dari hadits ini tergambar bagaimana seharusnya menjadi penguasa. Penguasa memiliki kesadaran bahwa akan selalu ada potensi dalam melakukan kesalahan. Maka, ia tidak akan menganggap dirinya selalu benar. Artinya, penguasa akan membuka diri terhadap nasehat, kritik, dan koreksi dari rakyatnya. Pasalnya, dia akan menyadari hal itu untuk kebaikan di dunia dan akhirat kelak.

Hakikatnya, Rasulullah Saw. telah memberitakan bahwa akan ada para pemimpin yang di antara mereka dapat melakukan kemakrufan dan yang melakukan kemungkaran. Mereka berpotensi melakukan kemakrufan maupun kemungkaran. Maka, ketika kemungkaran tampak dari penguasa, rakyat wajib mengingkari penguasa tersebut sekaligus menasehati dan mengoreksi dirinya.

Namun, tetaplah hal itu dilakukan bukan berdasarkan suka dan tidak suka. Akan tetapi berdasarkan standar bahwa itu merupakan kemungkaran, yakni menyalahi hukum-hukum syariah. Sebab, nasehat atau kritik kepada penguasa itu juga bukan untuk kepentingan dunia, melainkan kepentingan akhirat, yakni melaksanakan kewajiban dari Allah SWT.

Wallahu’alam

Posting Komentar

0 Komentar