Pendidikan Ulama Perempuan Mengatasi Bias Gender, Solusikah?

Oleh : Marni, S.P. (Pemerhati Masalah Sosial konawe Selatan) 

Masjid Istiqlal Jakarta mulai menjalankan program kaderisasi ulama perempuan . Mereka akan difokuskan melakukan kajian kesetaraan gender dalam perspektif ajaran Islam. Imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, bahwa program ini merupakan bagian dari the new Istiqlal. Dengan program ini ,Mesjid Istiqlal berambisi mencetak ulama-ulama baru yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. 

Sebagaimana yang dilansir ihram.co.id,Jakarta — Imam Besar/Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai salah satu tindak lanjut nota kesepahaman dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Menurutnya “Banyak ulama, tetapi yang perempuan sangat langka. Di seluruh dunia, tidak pernah kita dengar ada majelis ulama yang ketuanya perempuan, padahal tidak diharamkan,” kata Nasaruddin pada acara penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak yang diliput secara daring dari Jakarta, Jumat (19/2).

Nasaruddin mengatakan ada hadist yang menyatakan perempuan juga bisa mengkaji Al Quran. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mempelajari dan mengkaji Al Quran dan hadist.

Melalui pendidikan kader ulama perempuan, Nasaruddin berharap bisa lebih banyak ulama-ulama perempuan di berbagai daerah sehingga pembacaan Al Quran dan penafsirannya tidak bias gender.

Nasaruddin mengatakan kualitas dan kuantitas ulama perempuan sangat diperlukan untuk membaca dan menafsirkan Al Quran dan hadist karena banyak persoalan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan masalah rumah tangga.Menurut Nasaruddin, keluarga merupakan awal dari kekuatan masyarakat, bangsa dan negara. Masyarakat yang ideal, apalagi negara yang ideal, tidak akan tercapai bila tidak diawali dari keluarga yang ideal. 

Senada dengan itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa untuk mewujudkan program-program bangsa, diperlukan bahasa agama di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas religius. Diharapkan adanya andil Masjid Istiqlal dapat menciptakan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak. (kemenpppa.go.id, 19/2/2021).

Peran ini diperkuat melalui Nota Kesepahaman Kementerian PPPA dengan Badan Pengurus Masjid Istiqlal (BPMI) yang dihadiri oleh Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Ketua Harian BPMI, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar di Gedung Kementerian PPPA.

Menteri PPPA menjelaskan isu perempuan dan anak merupakan isu yang kompleks, multisektoral, dan sangat berkaitan dengan cara berpikir masyarakat. Sehingga, ia mengapresiasi program dari Imam Besar Masjid Istiqlal untuk mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat agar ramah dan responsif terhadap perempuan dan anak. 

Menurutnya “Semoga program ini dapat dilaksanakan dalam kerja nyata, menjadi inspirasi, tidak hanya di kalangan umat Islam saja, namun juga dari umat-umat agama lain sesuai dengan agama dan budayanya.” 

Maka dari itu, BPMI akan sangat serius memperhatikan permasalahan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta menjadikan masjid sebagai pusat pemberdayaan perempuan dan anak sehingga mampu menginspirasi rumah-rumah ibadah lain untuk melakukan hal yang sama.

Sesungguhnya kejadian ini bisa menyudutkan islam sebagai agama yang tidak memihak pada perempuan karena itu tampak aroma kriminalisai ajaran islam yang kian menguat dan memang saat   ini dunia barat sedang menjalankan imperialisme nya di hampir semua dunia islam. Sebagaimana diketahui PBB telah meluncurkan General Recommendation 30 Cedaw yang menekankan negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender akibat berbagai macam konflik termasuk dalam konteks terorisme. 

Barat yang telah gagal dalam beberapa proyek besarnya di dunia Islam—salah satunya dalam menghunjamkan nilai gender—tidak lantas berputus asa. Mereka mendomplengkan bahasan gender dalam isu kontraterorisme dan deradikalisasi, termasuk yang terjadi di Indonesia.

Barat, jelasnya, melalui RAND Corporation memang telah membuat rekomendasi strategis yang harus ditempuh AS untuk menghadapi tantangan di dunia Islam. Mereka meyakini bahwa kaum ekstremis tidak bisa diperangi dengan cara militer saja.

Sehingga mereka perlu bertempur secara kultural dan sosial, seperti promosi jaringan moderat, mengganggu jaringan radikal, melakukan edukasi tentang “medan pertempuran” ide-ide kritis, melibatkan umat Islam dalam politik “normal” (baca: demokrasi), serta reformasi madrasah dan masjid.

Dalih edukasi dan penjagaan keamanan digunakan untuk memainkan kalangan perempuan dan memberinya peran penting dalam menderaskan pemahaman Islam moderat yang dilambangkan lebih ramah dan toleran.Untuk itu umat wajib waspada dengan strategi devide et impera ini. Kesatuan dan persatuan kaum muslimin yang dilandaskan ukhuwah islamiah menjadi taruhannya.

Sebenarnya Umat Islam hanya menjadi korban atas polarisasi antara golongan radikal/ekstremis versus moderat. Dalam hal ini Tidak ada kelompok muslim yang diuntungkan. Olehnya Barat yang bertepuk tangan dan mengambil keuntungan maksimal.Ditambah lagi program pendidikan ulama perempuan untuk penghapusan bias gender, sejatinya bisa menghantarkan lahirnya rujukan publik yang memperkuat moderasi dan penguatan sekularisme.  Padahal dengan moderat ini justru akan menjauhkan islam dari hakikat sejatinya sebagai ajaran yang Kaffah serta pemersatu Hakiki antar seluruh golongan.

Karakter muslim moderat yang diinginkan Barat adalah seseorang yang menyebarkan dimensi budaya universal (baca: Barat) yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama, menghormati sumber hukum nonagama, menentang terorisme dan kekerasan–sesuai tafsiran Barat.

Ide Islam moderat ini dipropagandakan sebagai pemikiran yang tidak radikal dan juga tidak liberal, pertengahan dan tidak ekstrem. Karenanya, banyak diadopsi para tokoh agama bahkan para ulama.

Oleh karena itu Ide Islam moderat pada dasarnya adalah bagian rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah umat yang diberi warna baru. Ide ini menyerahkan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain, menyusupkan paham pluralisme yang memandang semua agama benar. 

Hal ini karena Islam moderat bersumber pada kaidah qobul akhor menerima yang lain secara terbuka dan tidak mengklaim kebenaran diri sendiri, menganggap perbedaan adalah hal yang lumrah. Padahal sudah sangat jelas bahwa Alquran Surah Ali Imron ayat 19 menegaskan innaddina indallahil Islam. Artinya agama yang mulia disisi Allah hanyalah Islam. 

Maka sangat jelas pluralisme haram bagi kaum muslimin. Dari sinilah kita mendapati penganut islam moderat memberlakukan toleransi melampaui batas yang telah digariskan oleh Islam. 

Mereka tidak menyadari bahaya pemikiran ini yang akan menyimpangkan penerimaan mereka terhadap hukum-hukum Allah hanya di masalah ibadah dan akhlak saja, dengan meninggalkan hukum-hukum terkait ekonomi, sosial, politik dan sistem sanksi yang juga terkandung dalam Al-Qur’an.

Alhasil, seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai muslim moderat akan menolak pemberlakuan hukum Islam kafah, toleran terhadap penyimpangan akidah, tidak mendiskriminasi pelaku maksiat, menganggap Islam tak ada beda dengan aturan lain, menentang Islam politik—Negara Islam, Khilafah, dan jihad—; sekalipun dia menjalankan ibadah mahdhah, amat dermawan, dan dikenal sebagai tokoh Islam. 

Penolakan terhadap Islam politik, yaitu penerapan syariat Islam dalam institusi negara, akan membuat hukum-hukum Islam tidak bisa dijalankan. Ancaman yang dikhawatirkan Barat pun tidak akan mewujud. 

Dengan kata lain, eksistensi kapitalisme global akan terus bisa bertahan dengan bantuan dari kaum muslimin sendiri. 

Memahami hakikat dari Islam moderat dan kesalahannya, menjadi hal yang mesti dilakukan umat untuk menjaga kemurnian agamanya, agar mereka mampu kembali pada Islam yang hak sebagaimana diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. 

Islam Memberikan nilai tak terhingga pada status perempuan . Ideologi islam tidak menganggap perempuan sebagai benda melainkan sebuah kehormatan yang harus dijaga. Islam telah memberikan peran strategis bagi perempuan yakni umu warabbatul bait atau ibu dan pengurus rumah tangga. Ditangan para ibulah generasi dicetak memiliki kepribadian Islam yang akan memimpin peradaban.

Tugas berat dan mulia yang disematkan pada perempuan ini menjadikan negara memiliki peran besar dalam melaksanakan hukum-hukum yang menjamin penjagaan kehormatan bagi perempuan. Negara bertanggung jawab melahirkan keluarga ideal yang mampu melahirkan generasi-generasi berkualitas tak terkecuali negara menghadirkan atau mencetak ulama yang berkontribusi dalam pembentukan keluarga ideal dan perbaikan kualitas keluarga. Sebab ulama dan penguasa merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas terlealisasinya Syariah Allah Subhanahu Wa Ta'ala di muka bumi.

Ulama dengan Ilmunya adalah pewaris para nabi. Mereka memiliki peran khusus menghidupkan alam semesta. Mereka memiliki tugas mulia dan tanggung jawab besar yaitu meluruskan berbagai penyimpangan di tengah umat, baik yang dilakukan para penguasa atau yang lainnya, serta meluruskan setiap pemikiran yang salah dan keliru.

Berkat ulama, umat benar-benar bangkit pemikirannya secara menyeluruh tentang alam semesta dan kehidupan ,yang membuahkan revolusi mengakar  dan radikal besar dan terus meningkat bagaikan bola salju. Semua itu karena umat islam mengambil akidah Islam dan hukum-hukumnya sebagai sebuah ideologi yang diterapkan dalam kehidupan nyata dan mengarah pada rekonstruksi terbaik bagi alam semesta.

Dalam kehidupan kapitalisme sekuler saat ini, ulama memiliki tugas berat dan tanggung jawab besar dalam menolak  dan  menyangkal setiap ideologi batil dan setiap pemikiran yang lahir darinya termasuk pemikiran moderat yang bertentangan dengan Islam. Hal itu dilakukan oleh ulama dengan menjelaskan kerusakan dan kepalsuannya.

Karena itu jelaslah apa yang dilakukan penguasa yakni mencetak ulama perempuan yang akan meneruskan moderasi Islam tidak sejalan dengan Islam. Hanya penerapan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah yang mampu mengembalikan peran Penguasa dan ulama dalam mencetak ulama-ulama yang akan berkontribusi dalam membentuk keluarga muslim berkualitas.

Wallahu ‘alam Bissawab

Posting Komentar

0 Komentar