PENGKADERAN PEMUDA ERA RASULULLAH VS ERA MILENIAL

Oleh : Imas Royani

Baru-baru ini pimpinan cabang Gerakan Pemuda Ansor Sumedang melakukan silaturahmi ke kantor DPD Partai Golkar Sumedang Barat, Selasa 2 Maret 2021 siang. Rombongan GP Ansor diterima ketua DPD Partai Golkar  Sidik Jafar di ruangan kerjanya, Jalan Raya Cirebon-Bandung No. 264 Kabupaten Sumedang. Dilansir dari sumedang.online, Ketua Pimpinan Cabang GP Ansor Kabupaten Sumedang, Acep Komarudin Hidayat menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya bersama pengurus yaitu untuk memperkuat silaturrahmi dan sinergisitas Ansor Sumedang dengan Ketua DPD Golkar beserta jajaran dalam melaksanakan program-program Ansor Sumedang baik dalam waktu dekat maupun program dalam jangka panjang. Beliau menambahkan, bahwa Ansor siap bekerjasama dengan partai Golkar terutama dalam pengkaderan dibidang politik. Kedatangan jajaran PC Ansor Sumedang disambut hangat oleh Ketua DPD Partai Golkar, Sidik Jafar. Dalam kesempatan tersebut beliau berharap, Gerakan Pemuda Ansor dapat memberikan paham nasionalisme yang kuat kepada generasi muda.

Kejadian ini bukan hal yang pertama, dilansir dari lombokpost.jawapos.com (03/12/2020) telah diselenggarakan pengkaderan oleh sebuah organisasi kepemudaan di Lombok Timur dimana salah satu materinya berkaitan dengan dinamika politik lokal di Lombok Timur, yaitu bagaimana posisi pemuda dalam politik baik lingkup nasional maupun lokal. Menurut salah seorang narasumber pada acara tersebut, dalam khasanah ilmu ada dua posisi besar yang diambil kaum intelektual. Pertama, kaum intelektual terlibat aktif dalam politik praktis dimana kaum intelektual menjadi politikus. Kedua, jalan ketiga kaum intelektual. Langkah ini ditawarkan Cornelis Lay dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada. Disebutkannya dalam kehidupan politik praktis seorang intelektual bisa mengambil langkah keluar masuk. Langkah itu sudah dilakukan penggagasnya yaitu sebagai kader PDIP ketika Megawati berkuasa maka ia memilih untuk terlibat mengawal pemerintahan dengan memberikan nasehat dan saran kepada presiden terpilih. Tentu saja tidak semua saran dituruti karena bukan Cornelis Lay yang menjadi presiden tetapi orang lain. Kecewa tentu saja, kemudian setelah Megawati tidak berkuasa maka ia kembali ke kampus. 

Memang saat ini, sangat sedikit pemuda yang faham dan peduli terhadap politik apalagi politik dalam Islam. Betapa rendahnya pendidikan politik yang dilakukan partai-partai politik terhadap pemuda karena pendidikan politik yang diberikan hanya bersifat musiman pra pemilu, itu pun dalam rangka menggaet suara. Pendidikan politik yang diberikan juga jauh dari politik Islam yang sebenarnya. Mereka beranggapan bahwa politik dan Islam tidak mungkin dapat bertemu dan berintegrasi. Jam'iyah Islamiyah, bukan Siyasiyah tetapi hanya integrasi spiritual keagamaan yang tidak ada unsur politik di dalamnya. Kalaupun itu dikaitkan, tujuannya hanya sekedar pencitraan demi meraih simpati bahkan tidak segan-segan berdalih dengan membawa dalil.

Seperti ungkapkan Dr. Yusuf Qaradhawi, ”Merendahkan harga diri bangsa adalah kemungkaran. Berlaku curang dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Enggan memberikan suara (kesaksian) dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Menyerahkan urusan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi adalah kemungkaran”.

Juga ungkapan Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq (tokoh gerakan Salafi di Kuwait),  “Lembaga-lembaga dan sarana-sarana (partai-partai dan jama’ah-jama’ah) ini bukan merupakan sesuatu yang haram atau dosa, tetapi ia termasuk dalam mashalih mursalah dan tidak ada nash syar’i yang melarangnya. Pembentukan partai-partai, kelompok-kelompok, atau perkumpulan-perkumpulan dengan segala macam bentuk sistem demokrasi diperbolehkan. Dengan catatan bahwa pendapat dan visinya tidak menetapkan hal-hal yang dilarang agama dan tidak merestui mereka yang berbuat kebatilan. Mereka harus melalui jalan damai dan dakwah yang terbuka, guna mengubah dan menghilangkan politik kekerasan dan terselubung. Ini semua pada hakikatnya terpuji dalam agama, bahkan merupakan pokok dalam berdakwah”.

Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk kesuksesan sosialisasi dengan dalih untuk menggapai kepahaman ummat atau rakyat tentang pentingnya berpartisipasi mensukseskan pemilu meskipun pada kenyataannya mereka hanya menginginkan politik anggaran oleh yang berwenang dari pusat sampai daerah melalui Kemenag, Menhukam dan Kemendagri RI.

Sangat disayangkan menjelang Indonesia mendapat bonus demografi, kaum pemuda dengan segenap potensinya tidak diarahkan naluri dan akalnya kepada Islam kaffah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustadz Yuana Ryan Tresna, Alasan kita harus peduli pada syabab (pemuda) diantaranya karena : Pemuda lebih dekat pada fitrah (Islam), pemuda adalah miniatur sebuah umat, pemuda adalah tokoh hari esok, dan Ibu adalah (yang melahirkan) generasi masa depan, pemuda adalah perisai umat yang melindungi dari musuh, fase pemuda adalah fase menghimpun potensi (energi) dengan kesadaran, periode pemuda adalah periode pertumbuhan. Tetapi saat ini kaum muda dilemahkan oleh sistem sekularisme sehingga mereka tidak memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia. Kebanyakan mereka cita-citanya hanya sekedar menjadi youtuber karena tergoda oleh gaya hidupnya yang 4F (Fun, Food, Fashion, Film). Para intelektual muda yang memiliki potensi sebagai agen perubahan dikerdilkan untuk sekedar memikirkan masalah pribadinya atau dimandulkan arah perubahannya untuk sekedar memenuhi pihak yang berkepentingan, alhasil perubahan yang dibawa tidak sampai menghantarkan pada perubahan mendasar. Padahal siapapun tidak dapat memungkiri bahwa energi pemuda dalam agenda perubahan sangatlah besar. Hal ini tidak terlepas dari potensi yang mereka miliki secara kualitatif, kaum pemuda memang lebih kreatif, inovatif dan memiliki idealisme yang murni sehingga bukan sesuatu yang berlebihan bila "agent of change" disematkan kepada kaum pemuda. Ada ungkapan dalam bahasa Arab yang menggambarkan potensi kaum pemuda, "pemuda hari ini adalah tokoh pada masa yang akan datang."

Semua ini akibat pengarusan Islam moderat atau Islam wasathiyah dalam upaya sekularisasi dan deideologisasi Islam sehingga memunculkan legitimasi bahwa generasi muda hari ini sudah terpapar oleh paham radikalisme atau ekstremisme beragama. Menurut konsep mereka, Islam wasathiyah mengajarkan prinsip-prinsip Islam yang lebih ramah. Karenanya, bisa menghindarkan pemeluknya, baik di level masyarakat, maupun level individu, dari sikap berlebihan dalam beragama. Akibatnya para pemuda kehilangan identitas diri sebagai muslim. Mereka hanya menganut Islam sebagai kepercayaan dan hanya sekedar pelengkap identitas. Mereka tidak memahami akan kebenaran Islam. Mereka juga tidak meyakini bahwa Islam adalah solusi bagi seluruh persoalan kehidupan. Mereka semakin jauh dari solusi problem umat disebabkan kehidupan mereka semakin jauh dari Islam dan sistem politiknya. Hal inilah yang seharusnya diwaspadai oleh umat dan para penguasa, terlebih yang mereka sasar adalah para pemuda Islam. Mereka tahu persis bahwa masa depan umat terletak pada para pemuda yang memiliki kesadaran ideologis Islam yang kuat . Di tangan pemuda hari inilah gambaran peradaban Islam di masa depan akan ditentukan. 

Apri Hardiyanti, S.H. (Ketua Kornas Kohati Periode 2018-2020) mengungkapkan, sejak awal orde lama, orde baru, dan era reformasi, sejatinya muara pergerakan mahasiswa masih pragmatis. Pertama, kegagalan gerakan yang dilakukan pemuda selama ini karena tidak memahami sejarah bagaimana Indonesia akhirnya menerapkan demokrasi yang tidak lain karena “skenario” negara adidaya Amerika serikat. Dikutip dari buku Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) karya George McTurnan Kahin, menyebutkan Amerika Serikat hadir di Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag untuk mengawal proses perundingan Indonesia-Belanda. AS sengaja mengawal proses kemerdekaan untuk memastikan sistem pemerintahan yang diadopsi Indonesia adalah demokrasi. Dengan sistem demokrasi inilah para kapitalis bisa leluasa “menguasai” negara. Kedua, lack of knowledge (Kurang ilmu dan pemahaman) Ideologi Islam dan sistem pemerintahan Khilafah. Ketiga, tidak memahami metode perubahan sahih yang dicontohkan Rasulullah saw.

Memang benar, arah perjuangan pemuda harus jelas menukik pada akar masalah, yaitu menuntut perubahan sistem dan rezim sekaligus, tidak hanya memilih salah satu dari keduanya. Secara faktual, sistem kapitalisme-demokrasi terbukti gagal menyejahterakan begitupun sistem sosialisme-komunis yang telah meninggalkan luka menyayat. Saatnya para pemuda negeri ini mengkaji sistem yang mampu menjadi solusi problematik bangsa yaitu Islam dengan sistem pemerintahannya–Khilafah. Sebab terbukti, Khilafah Islamiyah menorehkan jejak sejarah yang gemilang selama 13 abad. Khilafah mampu menguasai dan mengatur kepemimpinan global yang menyejahterakan, mendamaikan, dan menyejukkan. 

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat An Nur ayat 55 yang artinya, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”.

Oleh karenanya, jika menyadari agenda besar para pemuda sebagai agen perubahan atau pembaharu, sudah selayaknya gerakan para pemuda segera melakukan refleksi dan reorientasi visi gerakan ideologis yang lebih terukur. Para aktivis pergerakan pemuda harus memahami kunci kebangkitan umat yaitu ideologi Islam dan sistem pemerintahan Khilafah sebagai metode penerapnya. Aktivis pemuda harus menyatukan visi gerakannya dalam sebuah bingkai perjuangan menegakkan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam institusi kenegaraan yang paling diridai Allah, yakni Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. 

Mari berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam, dan kita akan mengulangi riwayat hidup dari pemuda muslim terdahulu, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah Saw. telah mencontohkan perubahan sistem dan rezim sekaligus tanpa anarki dan pertumpahan darah. Perubahan yang justru menyatukan kabilah-kabilah yang sebelumnya berpecah belah. Sebab Islam datang sebagai rahmat bagi semesta alam. Beliau Saw. adalah teladan dalam mengusung perubahan hakiki. Bukan hawa nafsu dan kecintaan dunia yang mejadi penuntun langkahnya. Semata murni wahyu yang berasal dari Rab Semesta Alam.

Pengkaderan Rasulullah mulai dari cara berfikir dan cara bersikap sesuai dengan syariah Islam yang tujuannya demi meraih ridha Allah semata dengan menjadikan Islam sebagai pengatur seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc kepada Suaramuslim.net bahwa salah satu bentuk kesuksesan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam selama 23 tahun adalah keberhasilannya dalam bidang kaderisasi pemuda. Usia pontensial ini tidak dibiarkan berlalu tanpa arti. Mereka dibidik, dikembangkan, bahkan disiapkan media untuk pengembangan diri. Para pemuda menjadi salah satu prioritas kaderisasi dan sebagai kader, mereka telah menunjukkan potensi terbaiknya untuk Islam. Rasulullah pernah bersabda, ada lima hal yang perlu dimanfaatkan dengan baik sebelum datangnya lima hal lain, di antaranya, (manfaatkan) masa mudamu, sebelum masa tuamu. (HR. Abu Syaibah). Rasulullah pun memanfaatkan masa mudanya dengan sangat baik. Lebih dari itu, para pemuda di kalangan sahabat juga dikader dengan sangat serius, sehingga tidak heran sepeninggal beliau mereka menjadi lakon-lakon atau subyek-subyek yang mengubah peradaban dunia. 

Islam memberi perhatian besar kepada generasi. Perhatian tersebut diwujudkan dalam bentuk edukasi agar mempunyai kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah), baik dalam pola pikirnya ('aqliyah) yang menjadikan para generasi memiliki standar berfikir sesuai Islam, maupun dalam pola sikap dan perilakunya (nafsiyah) yang menjadikan generasi mengambil sikap sesuai hukum syariat sehingga dalam kehidupan mereka baik secara individu, bermasyarakat mapun bernegara. Mereka beramal sesuai dengan perintah Allah SWT. termasuk ketika mereka mengoreksi kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Para generasi muda akan bergerak bukan hanya didorong karena adanya kedzaliman atau kemungkaran yang terjadi melainkan karena ketaatan terhadap syariat Allah dan melakukan amar makruf nahi munkar juga sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap negaranya. 

Adapun pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kualitas generasi muda agar memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah), Islam menetapkan ada tiga pihak utama yaitu : keluarga, masyarakat dan negara. Keluarga yang berfungsi sebagai wadah pertama pembentukan generasi Islam melalui ayah dan ibu. Disinilah peran orang tua untuk menanamkan keimanan kepada generasi muda bahwa kehidupan mereka harus terikat pada aturan Allah SWT. baik atau buruknya aktivitas mereka akan dinilai berdasarkan syariat Islam. Masyarakat sebagai lingkungan (al-bi'ah) tempat generasi Islam tumbuh dan hidup bersama anggota masyarakat lainnya dimana ketika entitas ini melakukan amar ma'ruf nahi munkar akan menjadi tempat pembelajaran secara langsung para generasi muda. Budaya masyarakat yang demikian tidak terlepas dari peran negara yang mewujudkan lingkungan yang baik (al-bi'ah as-shalihah). Oleh karena itu, negara Khilafah akan melakukan tanggung jawabnya untuk membentuk lingkungan Islam dengan memgawasi dua hal yaitu, pertama: kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di masyarakat ('ur fam) kedua: pendapat umum yang berkembang di masyarakat (ra yu 'am) ketiga: negara Khilafah bertanggung jawab melahirkan generasi Islam sebagai bagian dari tugas negara untuk menjalankan sistem pendidikan serta sistem-sistem sosial lainnya yang terkait. 

Khilafah akan menyelenggarakan pendidikan sebagaimana tujuan pendidikan Islam menghasilkan generasi yang berkepribadian islami (syakhshiyah Islam) yang berbekal ilmu-ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, baik ilmu keislaman (tsaqafah Islam) maupun ilmu dalam cakupan sains dan teknologi sehingga output generasi yang dihasilkan adalah : Faqih fiddin hingga menjadi pejuang agamanya, menguasai saintek sehingga bisa berkarya untuk kemudahan kehidupan manusia, berjiwa pemimpin (tidak bermental dijajah dan memiliki keberanian menolak kezhaliman). Output generasi yang demikian didukung dengan kurikulum pendidikan Islam yang bersumber dari akidah Islam seperti materi tauhid, fikih, tafsir dan sebagainya. Atau berupa ide yang dibangun di atas akidah Islam, yaitu meski tidak lahir dari wahyu tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan akidah, misalnya sains dan teknologi. Adapun ide-ide yang bertentangan dengan Islam, misalnya ilmu-ilmu sosial dari Barat, seperti ekonomi, sosiologi, psikologi; juga berbagai ide dan filsafat Barat seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, marxisme, eksistensialisme, utilitarianisme, pragmatisme, darwinisme dan sebagainya, tidak diberikan kepada generasi Islam kecuali jika materi-materi seperti itu diajarkan dalam level pendidikan tinggi dan diajarkan bukan untuk diyakini, melainkan sekedar untuk diketahui serta dijelaskan kekeliruan dan pertentangannya oleh Islam. 

Khilafah akan mengawasi agar materi yang diajarkan kepada para generasi sesuai dengan kurikulum pendidikan Islam. Selain itu, Khilafah juga akan mengeluarkan sekumpulan UU syariah (qanun syar'i) maupun UU administrasi (qanun idari) yang terkait dengan pendidikan sehingga pendidikan dalam daulah dapat dijalankan sesuai tuntutan syariah apalagi negara Khilafah adalah negara manusia (dawlah basyariyyah), bukan negara tuhan (dawlah ilahiyyah), artinya yang menjadi Khalifah (pemimpin) adalah manusia biasa, bukan manusia yang ma'shum (terjaga dari dosa) atau malaikat. Dengan demikian penguasa akan membuka peluang kepada publik untuk muhasabah (koreksi). Dalamn Khilafah terdapat Majelis Umat, yang melakukan fungsi muhasabah dan ada Mahkamah Mandzolim yang berfungsi menghilangkan kedzoliman oknum penguasa, mulai dari Khalifah sampai pejabat negara terendah. Dengan demikian suasana yang terbentuk dalam daulah Khilafah adalah suasana amar ma'ruf nahi munkar. Masyarakatnya terutama kaum pemuda dapat melakukan muhasabah kepada para penguasa mereka karena dorongan keimanan. Adapun para penguasanya bukanlah penguasa anti kritik. Tidakkah kita merindukan suasana seperti itu lagi?

Wallahu'alam bish-showab.

Posting Komentar

0 Komentar