RAJAB BERKAH TEGAKKAN SYARIAH AMALKAN FARDHU KIFAYAH

Oleh : Imas Royani

Alhamdulillah, tahun ini kita masih diberi kesempatan untuk dapat menikmati berkah bulan haram, bulan Rajab. Semoga Rajab tahun ini merupakan Rajab terbaik dibanding Rajab sebelumnya. Kita isi dengan kegiatan ibadah yang lebih bermanfaat lagi melalui tiga pilar kehidupan, yaitu individu, masyarakat juga negara. Karena hanya dengan kokohnya ketiga pilar itu, maka keberkahan bulan haram termasuk Rajab dapat kita rasakan.

Ketika itu Rasulullah Saw. sedang dirundung duka yang silih berganti. Bahkan tahun itu dikenal dengan "ammul huzni" artinya tahun kesedihan. Beliau ditimpa kesedihan dan ujian yang begitu dalam. Setelah ditinggalkan istri tercinta Khadijah ra., tak berselang lama paman yang selalu membelanya meninggal dalam kekufuran. Kemudian, Allah SWT memberikan hadiah untuk menghibur Rasulullah Saw. dengan perjalanan indah ke Baitul Maqdis dan Sidratul Muntaha, yang dikenal dengan peristiwa Isra Mikraj. Setelah peristiwa Isra Mikraj pada 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, keimanan kaum muslim semakin kokoh. Hal demikian menjadikan perlawanan kaum kafir Quraisy semakin keras dan mematikan. Propaganda, penganiayaan, hingga pemboikotan terus dialami umat muslim. Namun demikian, hal tersebut tak sedikit pun menggoyahkan keimanan dan menyurutkan semangat dakwah. Hingga Allah SWT. perkenankan kemenangan itu hadir di tahun ke-13 kenabian. Rasulullah Saw.  beserta kaum muslim hijrah ke Madinah Al-munawarah. Selama 13 abad Islam memimpin dunia. Kekuasaannya yang mencakup 2/3 bagian dunia, mampu menciptakan peradaban agung dan gemilang.

Allah SWT menetapkan bulan-bulan tertentu sebagai bulan haram (suci). Di dalamnya Allah SWT menetapkan kemuliaan dan kehormatan yang wajib dijaga. Allah SWT berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sungguh bilangan bulan menurut Allah SWT ada dua belas bulan dalam catatan Allah saat Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya terdapat empat bulan haram [suci]. Itulah agama yang lurus. Karena itu janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri pada bulan-bulan itu (TQS at-Taubah [9]: 36).

Dalam QS at-Taubah ayat 36 di atas, Allah SWT melarang kita menzalimi diri sendiri pada bulan-bulan tersebut, termasuk pada bulan Rajab ini, apalagi menzalimi pihak lain. Imam al-Baihaqi menyatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan haram tersebut lebih besar. Begitu juga amal shalih dan pahalanya (yang dilakukan pada bulan-bulan haram tersebut) juga sangat besar (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, III/370). Bahkan Imam asy-Syafii ra. telah melipatgandakan diyat (uang tebusan) atas pembunuhan karena keliru (qatlu al-khatha’) yang dilakukan pada bulan-bulan haram karena bersandar pada riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas. Inilah di antara kemuliaan bulan haram, termasuk bulan Rajab sekarang ini. Dengan demikian di antara kemuliaan bulan-bulan haram (suci), termasuk bulan Rajab, adalah dilipatgandakannya dosa atau pahala manusia. 

Sejak dulu kaum muslim telah memuliakan dan menjaga kehormatan bulan haram, termasuk Rajab. Pada bulan ini mereka mempersembahkan amal-amal mulia dan spektakuler serta prestasi monumental yang dicatat dengan tinta emas sejarah untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim. Sudah selayaknya kaum muslim sekarang memuliakan bulan-bulan haram, termasuk bulan Rajab ini, dengan melipatgandakan amal-amal terbaik. Caranya setidaknya bisa dilakukan melalui dua pendekatan; Pertama: Dengan berhenti dari apa saja yang menyalahi hukum Allah SWT yang bisa mendatangkan murka-Nya. Misalnya, menghentikan muamalat-muamalat yang haram seperti riba, menjauhi hasad dan dengki, meninggalkan caci-maki dan menjauhi segala tindakan yang melanggar hak orang lain. Termasuk dalam hal ini meninggalkan segala bentuk kezaliman dan tidak mendukung orang-orang zalim, sebagaimana firman Allah Swt.,

وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ…

“Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka.” (QS Hud [11]: 113).

Apalagi jika pelaku kezaliman adalah para pemimpin, terutama yang suka berbohong. Rasulullah Saw. bersabda, "Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya dan ia tidak akan masuk menemaniku di telaga.” (HR an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim). 

Kedua: Dengan melaksanakan amal-amal saleh, giat melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah SWT. dan memperbanyak amalan-amalan sunah. Karena itu, pada bulan Rajab ini, misalnya, kita harus makin disiplin dalam menunaikan salat lima waktu,  memperbanyak salat sunah, puasa sunah dan sedekah, menasihati orang lain, membantu orang lain, melakukan amar makruf dan nahi mungkar dan amal-amal saleh lainnya. Yang juga termasuk amal saleh adalah menunaikan fardu kifayah. Salah satunya menegakkan Khilafah, yakni dengan mengangkat dan membaiat imam/ khalifah yang bertugas menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Al-Imam al-Hafizh Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafii berkata, “Umat Islam wajib memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, memberikan hak kepada orang yang dizalimi, menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya menyatakan bahwa menegakkan Imamah adalah fardhu kifayah.” (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin, III/433). 

Pelaksanaan kewajiban yang merupakan fardhu kifayah itu dijelaskan oleh Imam Abu Ishhaq asy-Syathibi di dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât (I/179). Beliau mengatakan, “Karena itu siapa saja yang mampu atas wilâyah (kekuasaan), ia dituntut menegakkan kekuasaan itu. Siapa saja yang tidak mampu atas kekuasaan tersebut, ia dituntut dengan perkara lain, yaitu mengangkat orang yang mampu dan memaksa dia untuk menegakkan kekuasaan itu. Jadi orang yang mampu dituntut menegakkan fardhu itu, sementara orang yang tidak mampu dituntut mengadakan orang yang mampu itu…”

Berjuang menegakkan negara Islam yang akan menerapkan hukum-hukum Allah, hukum asalnya adalah fardhu kifāyah. Namun, mengingat bahwa fardhu kifāyah itu belum juga berhasil diwujudkan dengan upaya mereka yang memperjuangkannya, maka kewajiban ini diperluas hingga mencakup setiap Muslim. Begitulah kedudukan dari setiap fardhu kifāyah. 

Dalil atas kewajiban memperjuangkan tegaknya negara Islam adalah dalil yang qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti). Sehingga mengingkari kewajiban ini bisa menjadikannya kafir. Sementara orang yang mengakuinya, namun ia abai dan lengah dalam memperjuangkannya, maka ia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalil dalam hal ini adalah nash-nash yang memerintahkan agar terikat dengan syariah Islamiyah dan berhukum dengannya, serta melarang berhukum pada yang selainnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Māidah [5] : 38, An-Nūr [24] : 2), Al-A’rāf [7] : 3, An-Nisā’ [4] : 60, An-Nisā’ [4] : 65) dan masih banyak lagi nash-nash syara’ terkait hal ini. Karena tidak adanya negara Islam maka sebagian besar hukum-hukum (syariah) Islam diabaikan dan disia-siakan. Padahal kita sebagai umat Islam bertanggung jawab dengan semua kezaliman ini.

Adapun berjuang dengan sekuat tenaga sebagai kewajiban setiap muslim. Dalilnya  adalah qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti), sehingga orang yang mengingkarinya bisa menjadi kafir, sedang orang yang lalai dan lengah terhadap kewajiban ini, maka ia tergolong orang yang bermaksiat kepaada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran surah At-Taghābun [64] : 16, Al-Baqarah [2] : 286.

Ketika Allah SWT berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (TQS Al-Baqarah [2] : 286), maka ini artinya, bahwa beban itu sesuai kesanggupannya. Kesanggupan itu adalah melakukan dengan kekuatan maksimal, bukan kekuatan minimal atau kekuatan biasa saja. Begitu juga firman Allah SWT: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS At-Taghābun [64] : 16). Artinya semua kekuatan kalian, bukan separuh, sepertiga atau seperempatnya. Ketika seorang muslim melihat kemungkaran di sekelilingnya secara umum dan mewabah, maka ia diperintahkan untuk mengubahnya dengan semua kekuatannya, bukan sebagian kekuatannya. 

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang melihat kemunkaran, maka ubahlah kemunkaran itu dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, meski yang terakhir itu menandakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).

Pernyataan “jika tidak mampu” dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa ia telah menggunakan semua kekuatannya hingga ia tidak mampu lagi. Meskipun ada sebagian yang salah dalam memahaminya. Pernyataan ini merupakan hasil dari ketidaktahuan, kebencian atau penyesatan. Padahal apabila kelompok yang tengah berjuang menegakkan Khilafah itu mampu menegakkannya dengan segera, maka mereka tidak boleh menundanya. Apabila mereka tidak mampu segera, maka mereka wajib berjuang mempersiapkan dan meningkatkan kekuatannya untuk menyukseskan perjuangan meski hal itu akan terwujud setelah beberapa saat. Mereka yang tidak mampu mewujudkan tujuan dengan segera, maka mereka harus memperjuangkannya dengan sekuat tenaga untuk mewujudkannya ketika mereka bisa. Apabila sudah terwujud seorang imam/ khalifah yang layak, berikut wilayah kekuasaan yang menerapkan Islam dan jaminan keamanannya di tangan umat Islam, maka gugur kewajiban tersebut dari umat Islam sebab institusi Khilafah yang menjadi wadah kepemimpinan Khalifah sudah tidak ada sejak 1342 H.

Muhammad Bajuri  di dalam Majalah Al-Waie edisi 83, menyatakan bahwa, Kewajiban menegakkan Khilafah tidak dituntut dari satu orang saja atau satu partai saja atau satu kelompok saja atau satu negeri saja, melainkan kewajiban ini dituntut oleh syara’ dari semua umat Islam, baik Arab dan non-Arab. Bahkan sekarang kewajiban ini telah menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim,  artinya bahwa ia harus meninggalkan banyak aktivitas mubah dan perbuatan-perbuatan sunnah jika mereka tengah disibukkan dengan melakukan kewajiban ini. Dalam kasus seperti itu, syariah itu sendiri yang memutuskan kewajiban mana yang harus didahulukan dan mana yang harus ditunda. Masalah ini adalah masalah sesuai tidaknya dengan syariah, bukan masalah yang memperturutkan hawa nafsu. Para ulama dan mujtahid mampu memahami mana yang prioritas. Jika seorang muslim segera dan sudah mendapatkan kebutuhan primernya, maka setelah itu tidak boleh ia melakukan aktivitas tambahan untuk mendapatkan kebutuhan tersier (kemewahan), jika aktivitas ini menyebabkan tertundanya kewajiban mengemban dakwah untuk menegakkan Khilafah.

Hingga kini, kafir dan kaum munafik tak berhenti sampai meruntuhkan Khilafah. Mereka pun berusaha untuk menghilangkan Khilafah dari benak umat muslim, membubarkan kelompok yang mengusungnya, serta mengkriminalisasi ulama dan umat yang mengembannya. Mereka juga menghilangkan ajaran Khilafah dari buku sekolah, menyamakan Khilafah dengan komunis (yang telah jelas biadabnya), dan masih banyak upaya mereka dalam mengubur Khilafah yang merupakan mahkota kewajiban umat muslim. Pada tahun ini, 1442 Hijriah, genap 100 tahun sudah dunia tanpa Khilafah. Sungguh benar-benar terjadi apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah dasar, kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berdasar (tidak didasarkan pada agama) niscaya akan runtuh. Segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga (tidak ada Khilafah), niscaya akan lenyap atau hilang.

Kita hendaknya tidak mengabaikan kemuliaan bulan-bulan haram (suci), termasuk bulan Rajab. Hendaknya kita menjauhi larangan-larangan Allah SWT. dan giat memperbanyak amal-amal salih. Mari kita jadikan bulan Rajab ini sebagai momen untuk mengokohkan tekad, menggelorakan semangat dan berpartisipasi semaksimal mungkin untuk mewujudkan penerapan syariah Islam secara kaffah. Itulah wujud hakiki ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ketakwaan seperti inilah yang akan mewujudkan berbagai keberkahan dari langit dan bumi untuk kita, sebagaimana janji Allah SWT dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membuka untuk mereka ragam keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (Kami). Karena itu Kami mengazab mereka karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan itu (QS al-A’raf [7]: 96). 

Sebab telah terbukti banyaknya kerugian tanpa adanya Khilafah. Sungguh, umat akan merugi tanpa adanya Khilafah. Alam raya pun akan tercabik akibat ulah sistem busuk buatan manusia. kerugian besar akibat hilangnya syariat agung ini diantaranya: Hilangnya rida Allah Swt.; hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin; hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan; hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari kepribadian Islam; hilangnya kekuatan dan jihad akibat kelemahan dan kekalahan; hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan; hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar akibat kegelapan dan pedoman yang salah; hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan; hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik; hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan; hilangnya keimanan dan keikhlasan akibat pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah; hilangnya sikap dan moral yang terpuji menyebabkan kejahatan dan sikap tercela; hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal; hilangnya tempat suci yang menyebabkan kaum muslim dilarang salat di Masjidil Aqsa selama 50 tahun sampai saat ini; hilangnya kesatuan dan integritas akibat berpecahnya negeri kaum muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah; dan sebagainya.

Demikianlah berbagai kerugian ketika Khilafah tidak ada. Jika kita menginginkan kerugian ini hilang, sudah semestinya kita memperjuangkan agar Khilafah kembali tegak. Dengan tegaknya Khilafah, kerugian akan berubah menjadi kemaslahatan. Seperti ketika Allah Swt. memenangkan dakwah Rasul di Madinah Al-Munawarah. Insyaallah, atas izin-Nya, Allah Swt. akan memberi pertolongan kepada umat muslim untuk memenangkan pertarungan dan mengembalikan KeKhilafahan yang sesuai dengan minhaj kenabian.

Wallahu'alam bishshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar