Rezim Anti Kritik, Rakyat tak Berkutik, Khilafah Muhasabah Kritik


Oleh : Ummu Ahtar (Anggota Komunitas Setajam Pena) 

Dilansir oleh nasional.kompas.com, (17-02-2021)- Jokowi meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU ITE yang mana tidak terwujud berkeadilan. Dengan cara menghapus pasal- pasal karet yang ada di UU ITE.  Sebab pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut. Lalu, apakah kebijakan rezim sungguh tepat sasaran? 

Revisi UU ITE sebetulnya bukan pertama kali terjadi.  Pada 2016, DPR telah mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Akan tetapi, revisi saat itu tidak mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE. 

Seperti Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan,  Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.  Dalam Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 menyatakan pelanggaran atas tiga pasal di atas terancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Revisi UU ITE tahun 2016 terlihat  tidak memberikan banyak perubahan terkait ketentuan pidana . Karena hanya menurunkan ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun penjara dan/atau Rp 1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp 750 juta.

Sebaliknya, UU tersebut yang menyatakan ketentuan pidana soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan.Sementara, ancaman pidana bagi pelanggar pasal kesusilaan dan pasal ujaran kebencian tetap paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar.

Sungguh,apakah kesan pencabutan pasal karet memang omong kosong belaka? 
Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai situasi pemerintah saat ini menyamai sistem  di  era Orde Baru.  Yakni upaya bergerak menuju arah  neo otoritarianisme.

Busyro menuturkan, pernyataannya itu didasarkan pada tiga indikator. Pertama, masifnya buzzer atau pendengung di media sosial. Yakni orang yang kritis lalu diserang dengan buzzer, dengan berbagai macam cara. Kedua, adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Semisal kasus teror kepada aktivis  Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang hendak menggelar diskusi terkait pemakzulan presiden. Ketiga, terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilainya seolah-olah melegalkan perbuatan para buzzer untuk menyerang para aktivis pengkritik kebijakan penguasa. 

Indonesia adalah negara demokrasi, yang mana berhak mengapresiasikan pendapat. Negara yang sejatinya menjunjung tinggi kedaulatan rakyat ditengah suara terbanyak yang menang. Lalu apa suara terbanyak mendominasi terbaik buat rakyat? 

Wajar di era digital semua orang lebih bebas mengapresiasikan pendapatnya, menuangkan keluh kesah atau sebuah kebencian melalui akun sosial media. Hingga itu viral sampai menjadi trending topik. Seperti halnya bila naluri manusia memberontak menolak kebatilan penguasa atas ketidak adilan.  Sayangnya  rezim naif,  oportunis tak mau disalahkan. Hingga tak heran rezim lebih  otoriter dan mau menang sendiri. Lalu demi apa semua itu? 

Sebenarnya hal itu wajar didalam sistem Demokrasi. Karena sistem yang menjamin kebebasan. Tapi pada prakteknya menimbulkan kontradikasi. Kelemahan sistem ini adalah menganut azaz sakularisme. Yakni pemisahan agama dari kehidupan. Sehingga kedaulatan hukum berada di tangan manusia. Siapa lagi jika para Kapitalis dan anteknya. Yaitu pemegang suara terbanyak. Sehingga patut jika hukum ini melindungi hak mereka dan sebaliknya meretas para pengganggu kebijakan mereka. 

Wajar saja hukum tajam ke bawah dan tumpul keatas. Seperti para ulama dikriminalisas akan penolakan pada kebijakan pemerintah yang tak sesuai dengan Islam. Atau sebaliknya rakyat yang mengkritik presiden atas ketidak adilan. Beginilah potret buram jika negeri tak sesuai dengan aturan alam. Yakni aturan Allah SWT sang Khalik dan Pengatur. 

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”.  (Al Maidah 50)

Pada masa Khalifah Umar pernah terjadi pengaduan rakyat Mesir atas sikap dan perbuatan gubernurnya yaitu Amr bin al-'Asia. Yakni memberikan hudud tak sesuai dengan  Abdullah bin Umar beserta temannya. Yaitu  secara tidak sadar meminum minuman  khamr dengan mengunduli Abdullah di dalam rumah. Sehingga Umar memarahi Amr dan menyuruh  Abdullah dihukum kembali. Dengan hukuman seharusnya dicambuk dan digunduli di depan publik. 

Kesalahan di Daulah Islam adalah wajar. Karena Daulah adalah bukan  sistem ketahanan melainkan sistem  manusiawi. Oleh karena itu Islam menjadikan mengkritik adalah sebuah kewajiban dengan konsep muhasabah lil hukkam. Hal ini hanya ada pada sistem Islam dan tak ada di sistem selain itu. Selain itu Islam memberikan muhasabah lil hukkam menjadi derajat yang sangat tinggi selayaknya sebuah jihad. 

"Sebaik-baik  jihad adalah menyampaikan kata-kata yang  hak di depan penguasa yang jair/dhalim (kejam). 

Mekanisme yaitu:
Pertama, bisa dilakukan secara individual oleh setiap muslim. Hal itu terjadi saat ada sekelompok wanita mengkritik kebijakan Umar mengenai mahar yang diberikan sebesar 400 dirham. Hingga Umar mengakui salah. 
Kedua, kritik bisa melalui wakil rakyat (Majelis al-ummah). Anggota majelis ummah berhak mengkritik kebijakan Khalifah jika dirasa merugikan rakyat. 
Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan Khalifah bisa mengadukannya ke Mahkamah Mazhalim.  Pengadilan yang akan menindak lanjuti permasalahan Khalifah dengan rakyat. Khalifah harus tunduk pada keputusan pengadilan ini. 

Dengan demikian suasana yang terbentuk dalam Daulah Islam adalah suasana Amar ma'ruf nahi mungkar. Masyarakat muhasabah kepada pengusaha atas dorongan keinginan dan bukan atas kepentingan selain itu. Seperti contoh dalam kisah Al Muawiyah beliau adalah seorang mujtahid. Saat menjadi Khalifah,  kebijakannya dikoreksi oleh Abu Muslim al-Khaulani. Karena kebijakannya dianggap salah dalam pembagian ghanimah di depan publik. Muawiyah pun masuk rumah dan mandi hingga menemui khalayak dan mengatakan, "Abu Muslim benar."

Itulah kenapa sejarah penerapan Islam dipenuhi dengan masyarakat yang selalu kritis terhadap penguasa. Bukan karena utusan atau kebencian namun karena bagian dari sebuah kewajiban. Sesungguhnya Islam telah memberikan garis lurus dan keberkahan jika diterapkan. Sayangnya selama kaum muslim masih hidup dalam sistem buatan manusia hingga  saat ini , konsep-konsep jaminan muhasabah atau mengoreksi penguasa hanyalah teoritis semata. 

Wallahualam Bissawab.

Posting Komentar

0 Komentar