Tong Kosong Benci Produk Luar Negeri

Oleh : Muthi Nidaul Fitriyah

Bukan hanya cinta tapi juga benci. Cinta produk barang kita dan benci produk luar negeri. Seruan dari orang nomor 1 di Indonesia dalam acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementrian Perdagangan 2021 di Istana Negara. (tempo.co, 04/04/2021) Banyak kalangan memperdebatkan pernyataan tersebut, sampai menarik perhatian media luar negeri, mulai dari struktur kalimat,  apa maksud dan makna kalimat tersebut hingga keseusianya dengan realita. 

Kita sudah sangat biasa dihadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang jauh panggang dari api. Pertama, benci produk luar negeri tapi faktanya, impor terus berlangsung dalam jumlah besar dan di sektor vital strategis. Kenentrian perdagangan akan melakukan beberapa kebijakan impor, diantaranya impor 1 juta – 1,5 juta ton beras, impor 80 ribu ton daging kerbau dari India, 20 ribu ton daging sapi dari berazil. Khusus impor beras dilakukan dalam rangka iron stok atau cadangan, sudah disepakati dan sudah terjadwal pelaksanaannya. (cnnindonesia.com,  04/03/2021)

Ada 60 persen barang elektronika masih merupakan barang impor. Produk impor masih mendominasi sejumlah lini bisnis di Tanah air, bahkan 70 persen barang elektronika merupakan barang ilegal. Banyak diantara buku panduan produk-produk tersebut masih berbahasa asing. Bahkan proyek-proyek pemerintahpun masih banyak menggunakan produk asing, ungkap Wakil Ketua DPR Rahmat Gobel. (tempo.co, 06/03/2021)

Kedua, seruan benci produk luar negeri tidak diimbangi peta jalan yang sungguh-sungguh untuk mendirikan kemampuan dalam negeri. Produk lokal tidak memiliki perlindungan yang kuat dari penguasa untuk bersaing didalam negeri dengan produk luar, bahkan produk lokal realitanya jauh dari perhatian, cenderung di anak tirikan. Mengutip pernyataan Menteri Perdagangan Lutfi, bahwa ajakan menggunakan produk luar negeri, dipicu bangkrutnya sejumlah UMKM Indonesia akibat barang impor sejenis yang harganya lebih murah. (kumparan.com, 05/03/2021) 

Ketiga, penerapan Sistem Ekonomi Neoliberal, ini menjadi penyebab utama ketergantungan terhadap produk asing, bahkan bukan semata-mata ketergantungan akan tetapi sudah menjadi syarat, keharusan yang berdalih pasar bebas dan merupakan cengkraman yang nyata atas neoimperialisme yang terjalin melalui hutang luar negeri. Benci produk luar negeri ini lagi-lagi hanya sebatas lip service untuk meraih hati rakyat. 


Bagaimanakah solusinya?

Cengkraman produk impor bukan semata-mata masalah mekanisme produksi dan kualitas produk akan tetapi sangat berkaitan dengan Sistem Ekonomi, yang secara langsung dipengaruhi oleh Ideologi tertentu. Sistem Ekonomi Neoliberal yang berlaku hari ini adalah buah dari penerapan ideologi Kapitalisme yang dikendalikan para oligarki, didalamnya sangat meniscayakan persaingan bebas. Penguasa dengan kebijakannya hadir sebagai wasit diantara persaingan bebas antara produk lokal dan produk asing di pasar 200 juta rakyat Indonesia.

Islam adalah ideologi yang menjamin keadilan. Sistem Ekonomi Islam memiliki pengaturan yang sempurna dan jelas termasuk pengaturan ekspor dan impor. Negara Islam dalam hubungan luar negerinya tidak akan memberlakukan pasar bebas di dalam negeranya. Kebijakan negara menjamin keberpihakannya pada kepentingan masyarakat secara umum.

Ekspor akan dilakukan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi dengan baik dan stabil, sedangkan kebijakan impor oleh Negara Islam tidak hanya memandang produk akan tetapi memandang negara yang mana saja yang layak untuk diajak kerjasama dan mana yang tidak. Negara Islam akan memiliki kualifikasi khusus dalam memadang luar negeri. Berbicara produk, negara yang menerapkan sistem Islam memiliki prinsip swasembada dalam negeri, tidak akan mengantungkan segala kebutuhan kepada asing. Negara akan menyediakan sarana dan prasarana serta mengkondisikan SDM diantara umatnya untuk mampu kreatif, inovatif untuk menghasilkan teknologi-teknolagi tercanggih yang memberikan manfaat untuk peradaban dan ketinggian dakwah Islam.

Solusi tuntas jelas, bukan dengan ‘tong kosong benci produk luar negeri’ akan tetapi ganti sistem ekonominya, ganti sistem bernegaranya dengan sistem Islam, sistem yang lahir berdasarkan wahyu, yang Allah jaminankan keadilan dan kesejahterannya, terbukti nyata sepanjang 13 abad lamanya. Sejak Islam pertama kali diterapkan dalam sebuah negara oleh Rasulullah saw, di madinah hingga kekhalifahan terakhir di Utsmani. Maka, saatnya kita kembali kepada sistem ekonomi Islam, sistem negara Islam. Wallahu alam bi showab.

Posting Komentar

0 Komentar