Utang Negara tak Terbendung, Wakaf yang Diincar

Oleh : Mirawati, S. (Ibu Rumah Tangga Bali)

Negeri ini adalah negeri yang dianugrahkan oleh Allah SDA dan SDM yang melimpah namun tidak menjamin mampu mengatasi krisis baik karena ekonomi ataupun karena pandemi. Yang terjadi adalah semakin membuat keterpurukan dengan menjadikan utang sebagai solusi dalam mengatasinya.Utang negara ini dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan untuk membayarkan bunganya saja sudah sangat memberatkan.Data kompas.com Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Agustus 2020 ini meningkat. Tercatat, posisinya meningkat menjadi 413,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 6 .076,9 triliun (kurs Rp 14.700).ULN terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,0 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 210,4 miliar dolar AS.

Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Komunikasi BI, Onny Widjanarko mengatakan, pertumbuhan ULN Indonesia pada Agustus 2020 mencapai 5,7 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,2 persen (yoy)."Ini disebabkan oleh transaksi penarikan neto ULN, baik ULN Pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS juga berkontribusi pada peningkatan nilai ULN berdenominasi Rupiah," kata Onny dalam siaran pers, Kamis (15/10/2020). Di sisi lain, SDA yang melimpah milik umat, malah dieksploitasi korporasi multinasional. Padahal, jika SDA tidak diserahkan pada swasta, negeri ini akan memiliki sumber pemasukan APBN yang besar.

Seperti apa yang dikatakan Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri dalam orasi ilmiah di acara Peringatan Hari Maritim Nasional ke-56 tahun 2020. Rokhmin mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan yang sangat tinggi. Potensi tersebut sebesar USD 1,4 triliun per tahun. Artinya, potensi laut Indonesia setara dengan 5 kali APBN negara kita saat ini (liputan6.com, 23/09/2020). Seharusnya hal ini dikelola oleh negara secara langsung dan tidak harus terus menerus mengandalkan utang. Dengan kondisi ini pemerintah panik. Kas negara semakin tipis, sedangkan utang telah setinggi gunung. Kesalahan manajemen pengelolaan uang negara, kebijakan yang tidak tepat, dan pembobolan uang negara oleh para pejabat, menjadi persoalan yang tak terselesaikan. Akibatnya, pemerintah melirik seluruh peluang mengumpulkan uang. Dan hal ini dilakukan dalam rangka bagaimana pembayaran negara  terhadap utang dan juga keberlangsungan pembangunan dan atasi persoalan ekonomi apalagi dengan dampak krisis dan pandemi.

Yang menarik, (sebagian mengatakan memalukan) adalah usaha pemerintah mencari dana memanfaatkan ketentuan agama. Kenapa menarik? Aturan-aturan agama yang biasanya ditolak dalam pengaturan negara, tiba-tiba dicari, dikaji, dan dipilah. Yang bisa dijadikan sarana cari uang, diangkat dan disosialisasikan. Sementara aturan lain, didepak dan disingkirkan.Dana haji telah lebih dahulu dimanfaatkan. Dengan dalih diputar untuk mendapatkan keuntungan bagi jamaah, dana haji digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Rupanya, keberhasilan di dana haji membuat penguasa makin melek terhadap potensi dana umat. Saat terjadi bencana bertubi-tubi, negara segera menyerukan rakyat menghimpun infak, zakat, dan sedekah untuk membantu korban bencana  yang Mengalihkan tanggung jawab negara kepada umat.

Begitu pula dengan alasan Indonesia merupakan negara nomor satu paling dermawan di dunia berdasarkan World Giving Index 2018, dengan potensi wakaf per tahun mencapai Rp2.000 triliun, bergegas negara mengambil alih urusan wakaf ini. Wakaf, yang tadinya merupakan salah satu dimensi ibadah umat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dirombak paradigmanya.

“Oleh karena itu, kami perlu perluas cakupan pemanfaatan wakaf, tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah tapi dikembangkan untuk tujuan sosial ekonomi yang memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan,” ucap Jokowi dalam Peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang dan Peresmian Brand Ekonomi Syariah, Senin, 25/1/2021 lalu.

Dan tak berhenti di sini, sekarang pemerintah juga mengincar uang umrah. Pemerintah berencana membuat rekening penampungan dana ibadah umrah dari para jemaah. Nantinya, setiap jemaah umrah wajib menyetorkan biaya umrah ke rekening penampungan pada Bank Penerima Setoran. Besaran setiap penyetoran pada rekening penampungan paling sedikit Rp500 ribu.

Disisi lain Sungguh memprihatinkan. Negeri demokrasi sekuler menjadikan syariat layaknya hidangan prasmanan. Syariat jilbab dipersoalkan, pasar dinar-dirham diperkarakan, ulama dikriminalkan, ormas Islam dibubarkan. Namun pada saat yang sama, dana umat seperti wakaf, zakat, haji, dan syariat lain yang berkenaan dengan materi, diapresiasi.

Kali ini, pemerintah sedang fokus pada potensi wakaf yang menjadikan Indonesia berpredikat sebagai “negara paling dermawan di dunia” versi Charities Aid Foundation (CAF).

Potensi wakaf di Indonesia per tahun mencapai Rp2000 triliun dan potensi wakaf uang bisa menembus Rp188 triliun. Hal tersebut disebutkan Presiden Jokowi dalam acara peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang (GWNU) dan Brand Ekonomi Syariah pada Senin 25/1/2021 di Istana. (finance.detik.com, 26/1/2021). Presiden Jokowi menjelaskan, mulai saat ini wakaf tak boleh hanya bertujuan untuk ibadah, tapi juga harus bisa dikembangkan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di dalam masyarakat.

Wapres Ma’ruf Amin pun mengapresiasi GNWU untuk bisa dikelola dengan profesional dan modern agar nantinya bisa lebih diminati kalangan menengah ke atas, seperti kalangan milenial ataupun sosialita.Sungguh Naif memang disatu sisi mereka mengetahui bahwa Islam sebagai solusi dalam soal kemiskinan dan ketimpangan, akan tetapi justru menafikan dalam aspek penerapan secara menyeluruh.Lagi-lagi disebabkan aspek kemaslahatan bagi sistem sekuler kapitalisme.

Namun pada saat yang sama, syariat Islam lainnya diperkarakan. Seperti kasus ditangkapnya pendiri pasar muamalah Depok Zaim Saidi dengan alasan transaksi muamalatnya menggunakan dinar-dirham. Atau seragam jilbab yang dianggap bentuk intoleran, hingga harus mengeluarkan SKB 3 menteri.

Mengapa ada beda perlakuan, padahal semuanya adalah syariat Islam? Lantas, bagaimana posisi wakaf dalam negara Islam?

Wakaf dalam Islam sangat memiliki peran penting sebagaimana dengan cabang-cabang dari sistem ekonomi seperti halnya zakat, sedekah dan infak. Meskipun kesemunya adalah keterlilbatan bagi umat Islam dalam menjalankan syariat Islam. Akan tetapi pengelolaan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak maka seharusnya negara yang memiliki andil penting.


Kedudukan Wakaf dalam Fikih Islam

Wakaf adalah dimensi ibadah, bukan semata untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan menjadi solusi dalam pemulihan ekonomi. Namun demikian, wakaf di era Khilafah telah menyumbangkan begitu besar terhadap pembangunan peradaban umat manusia. Pemimpinnya yang amanah dan sistem negaranya yang berlandaskan akidah Islam telah sukses membangun ekonomi dan menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. Tentu berbeda dengan wakaf pada sistem batil saat ini. Diduga kuat tak akan berhasil menyejahterakan rakyat. Selain penguasanya yang tak amanah, juga landasan tata kelola negaranya yang sekuler. Akhirnya, syariat layaknya prasmanan, diambil jika syariat tersebut menguntungkan, dibuang jika membahayakan posisi mereka.

Sebenarnya, ada khilafiah di kalangan para fukaha mengenai hukum wakaf tunai ini. Namun, mayoritas fukaha Hanafiah, pendapat mazhab Syafi’i, dan pendapat yang sahih di kalangan fukaha Hansbillah dan Zaidiyyah tak membolehkan wakaf tunai. Begitu pun menurut Ustaz Shiddiq Al-Jawy di mana yang dianggap lebih kuat (rajih) yaitu yang tak membolehkan wakaf tunai.

Alasannya, sebagaimana kata imam ibnu Qudamah, “Karena wakaf itu adalah menahan harta (al-ashl) dan memanfaatkan buahnya, dan sesuatu yang tak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya Sesuatu itu, tak sah wakafnya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/229)Selain wakaf tunai menurut mayoritas fukaha batil, Allah SWT melarang umatnya untuk memilah-memilah syariat. Seharusnya, jangan hanya wakaf, zakat, haji yang diterapkan, tapi juga ajaran Islam lainnya, seperti jihad dan Khilafah tidak boleh dianggap radikal, karena semua itu bagian dari syariat Islam.

Apakah kalian mengimani sebagian al-kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat.” (QS al-Baqarah : 85)

Sungguh, kebaikan dari syariat wakaf tak akan tampak jika pengelolaannya masih sekuler. Memilah-milah mana syariat yang cocok dan yang tidak, hanya akan menjadikan ajaran Islam sebagai bahan olok-olokan. Padahal, Allah SWT telah memerintahkan pada umat manusia untuk menerapkan Islam secara total agar keberkahan menyelimuti umat manusia.


Kebijakan Negara Islam Ketika Kas Menipis Bahkan Kosong

Sekalipun memiliki mekanisme pembiayaan pembangunan yang kuat, tetapi tetap ada kemungkinan kas negara kosong. Misalnya akibat terjadinya bencana alam yang hebat atau peperangan panjang.Dalam kondisi ini, solusi yang ditawarkan Islam bukanlah utang luar negeri. Utang, bisa membuat negara menjadi bergantung pada negara pengutang sehingga mempengaruhi dependensinya.

Mekanisme yang disyariatkan adalah mengambil dharibah. Abdul Qadim Zallum, mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, ketika kondisi baitulmal tidak ada uang atau harta.Berdasarkan definisi itu, ada lima unsur dalam dharibah. Pertama, dharibah itu diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat Islam. Kedua, objeknya adalah harta benda. Ketiga, ditarik terbatas atas orang-orang muslim yang kaya. Keempat, tujuannya untuk membiayai keperluan umat. Misalnya untuk membayar gaji para pegawai negara, menyantuni fakir miskin, membangun sarana yang dibutuhkan rakyat seperti rumah sakit, jalan, sekolah, dan sebagainya. Kelima, diberlakukan dalam kondisi darurat.

Berdasarkan penjelasan ini, dharibah bersifat kondisional. Penguasa boleh menarik dharibah hanya kepada kaum muslimin yang kaya, ketika baitulmal mengalami kekosongan uang. Bila kas negara sudah kembali terisi, maka penarikan dharibah dihentikan.Atas dasar ini, konsep dharibah punya perbedaan dengan konsep pajak modern. Jika dharibah bersifat kondisional, pajak berlaku secara berkelanjutan. Di samping itu, dharibah hanya dipungut dari orang-orang Islam yang kaya sedangkan pajak diambil dari siapa saja tanpa membedakan agama.

Inilah mekanisme Islam ketika kas negara kosong. Bukan dengan menarik pajak, bukan juga dengan mengincar dana-dana umat yang sudah memiliki peruntukan khusus dalam ibadah. Justru negara berusaha untuk meringankan beban biaya yang harus ditanggung rakyat dengan memberikan fasilitas-fasilitas gratis dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Semoga dengan demikian semakin jelas kebaikan dan keunggulan sistem Islam, sehingga mendorong kaum muslimin untuk memperjuangkannya.Allahu 'Allam bi showwab. 

Posting Komentar

0 Komentar