“Bukit Algoritma”: Silicon Valley Indonesia, Akankah Berakhir Menjadi Angan Belaka?

Oleh : Sarah Adilah

Indonesia tengah disibukkan dengan salah satu proyek besar yang dinamakan Bukit Algoritma. Proyek ini juga masuk ke dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), bahkan direncanakan akan menghabiskan dana sekitar Rp 18 Triliun. Dana ini  disinyalir berasal dari dalam dan luar negeri. Proyek ini sendiri akan dibangun di kawasan Sukabumi, Jawa Barat. Proyek besar ini melibatkan sejumlah investor yang berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika, seperti yang dikatakan Budiman Sujatmiko selaku pendiri gerakan inovator 4.0, dikutip dari CNN Indonesia. 

Kabar24.bisnis melansir, pembangunan ini digadang-gadang menjadi langkah nyata untuk memfasilitasi tumbuhnya ide, menampung ide segar dari para generasi muda. Konsep dari Bukit Algoritma ini juga tercetus dari konsep Silicon Valley yang berada di Amerika.  Melalui penekanan aspek pengembangan riset dan SDM dengan menyandarkan pada industri 4.0, Bukit Algoritma di masa depan juga diharapkan menjadi stimulus bagi pembangunan infrastruktur dengan hadirnya pasar properti.

Seiring dengan berlangsungnya upaya pembangunan ini muncul berbagai reaksi terutama dari para pakar di bidang Teknopreneur, Adie Marzuki. Menurutnya, gagasan Bukit Algoritma di Sukabumi dengan Silicon Valley di Amerika merupakan sesuatu yang jauh berbeda. Pasalnya, Silicon Valley merupakan klaster industri yang dimulai oleh adanya keselarasan serta hubungan mutualisme diantara Stanford University dan Hewlett-Packard (HP) sebagai pihak perusahaan industri. Peranan riset-riset dari Stanford University menopang pengembangan inovasi di bidang Teknologi yang selanjutnya dikerjakan oleh perusahaan HP.  Sementara berbeda dengan Indonesia, pengembangan riset justru tidak mengarah kepada inovasi, dilaporkan oleh Merdeka.com.  

Pengembangan riset seringkali dikaitkan dengan ketersediaan dana besar, terutama riset di bidang-bidang yang penting dan menyangkut kepentingan bagi masyarakat di masa depan. Padahal dana yang disediakan untuk riset di Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan ini. Data tahun 2020 saja menunjukan persentasenya hanya mencapai 0,25% dari PDB,  seperti dikutip oleh Okezone. Hal ini sangat berbeda jauh dengan upaya negara-negara maju dalam memperkuat bidang riset bahkan mencapai lebih dari 2% dari total PDB yang dimiliki seperti di AS, Tiongkok, dan Jepang. Hal ini juga mengindikasikan betapa pentingnya peranan negara dalam mendukung pengembangan penelitian. 

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa tercetusnya ide pembuatan Bukit Algoritma berdasarkan keberhasilan Silicon Valley akan sarat dengan bisnis semata. Hal ini didasarkan oleh pandangan bahwa penyedia dana untuk melakukan penelitian ke arah inovasi hanya bisa disuplai oleh kalangan swasta, karena negara tidak punya konsentrasi yang lebih untuk mengurus perkara ini. Terlebih kerjasama dengan swasta akan sangat berkaitan dengan kolaborasi keuntungan (untung-rugi), sehingga proyek-proyek yang akan difokuskan juga yang bisa menghasilkan keuntungan bukan semata untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat apalagi yang bersifat sosial. 

Asas manfaat berdasarkan materi memang tidak bisa dipungkiri menjadi kunci kerjasama pada sistem kapitalisme pada hari ini. Hal ini telah memperjelas kesenjangan yang sangat jelas dengan asas Islam ketika hendak melakukan proses inovasi melalui riset. Terdapat dua hal yang layak disoroti, Pertama, kontribusi negara dalam menyokong pertumbuhan karya-karya terbaik umat islam merupakan sesuatu yang tidak dapat diragukan. Banyak hasil-hasil penemuan yang bahkan bukan hanya dapat digunakan pada masa itu namun bermanfaat bagi umat secara keseluruhan sampai dengan sekarang. Tak jarang penemuan-penemuan penting karya umat islam menjadi penemuan kunci yang mendorong munculnya penemuan lain. Beberapa contohnya adalah: berhitung dengan cara Arab yang ditemukan oleh Al-Khawarizmi dan Al-Kindi sekitar tahun 825 M mendorong munculnya konsep algoritma dan berbagai konsep trigonometri. Selain itu, alat bedah (pisau bedah, gergaji tulang) yang ditemukan oleh Abu Qosim Az-zahrawi. Kemudian Ibnu Nafis dengan penemuannya tentang sirkulasi darah. Konsep Penemuan pesawat terbang yang merupakan gagasan brilian seorang Abbas Ibnu Firnas. Kamera yang ditemukan melalui adanya observasi cahaya dari Ibnu Haitham dan masih banyak lagi, seperti dalam bidang geografi, sampai dengan hal-hal yang dapat ditemukan sehari-hari, seperti sabun dan shampoo (Amhar, 2012). 

Kedua, paradigma berpikir yang dibangun dalam mengembangkan sebuah penelitian didasarkan pada inovasi futuristik. Tujuan syar’iyyah menjadi landasan kuat, atau hasil dari telaah terhadap ayat al-quran yang menjadikan para ilmuwan terdorong untuk melakukan kajian secara ilmiah, ataupun karena adanya suatu tantangan untuk menciptakan hasil tertentu. Misalnya saja, Al-Khawarizmi yang mengembangkan aljabar dengan dalih untuk memberikan jalan dalam memecahkan masalah waris (Amhar, Puri, Ardiansyah, 2018).

Seluruh ide atau gagasan brilian dari umat muslim saat itu tentu saja dapat terwujud karena kecanggihan berpikir mereka serta cita-cita mulia dari hasil penemuannya. Tentu saja semua tercipta melalui proses yang tidak instan. Sistem islam saat itu telah membentuk dan memfasilitasi gagasan mereka saat itu. Sistem pendidikan islam saat itu mengarahkan cara berpikir mereka. Adapun tugas negara, mempermudah perolehan ilmu bagi setiap insan, serta mendukung terwujudnya penemuan secara finansial. Sesungguhnya penemuan-penemuan inovatif itu muncul sebagai sarana bagi para ilmuwan islam untuk senantiasa bersyukur atas kecerdasan yang telah dianugerahkan Allah, sehingga mendorong pahala investasi karena kebermanfaatannya bagi berbagai generasi setelahnya. 

Posting Komentar

0 Komentar