Efektivitas Larangan Mudik dalam Penuntasan Pandemik

Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md (Pegiat Literasi)

Masyarakat dibuat panik dengan adanya larangan mudik tahun ini. Berarti ini adalah tahun kedua, masyarakat tidak bisa mudik. Tak bisa ditawar lagi, larangan mudik 2021 sudah final. Berlaku pada 6-17 Mei 2021, juga sebelum dan sesudah tanggal tersebut. Intinya masyarakat tidak melakukan pergerakan atau kegiatan ke luar daerah, kecuali dalam keadaan mendesak dan perlu. 

Dikutip dari Liputan6.com (28/3/2021), Pengamat Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA)  Semarang, Djoko Setijowarno menyarankan agar pelarangan mudik Lebaran 2021 berjalan efektif, pemerintah diminta terbitkan Peraturan Presiden (Perpres). Berharap semua instansi Kementerian dan Lembaga yang terkait dapat bekerja maksimal. Keputusan pelarangan mudik sebenarnya empirik based on data. Setiap kali selesai liburan panjang, angka penularan Covid-19 pasti meningkat signifikan.

Dikutip juga dari Pikiran-rakyat.com (27/3/2021), Kebijakan pemerintah yang melarang mudik diakui akan menekan tingkat konsumsi masyarakat. Pelaku usaha di daerah dan kegiatan pariwisata diprediksi akan paling banyak mengalami dampak negatif akibat kebijakan tersebut. 

Larangan mudik jangan hanya menjadi kebijakan basa-basi untuk menurunkan pandemik. Larangan ini berdampak besar pada ekonomi dan sosial rakyat, mestinya diantisipasi sejak awal. Rakyat membutuhkan kebijakan yang utuh dan benar-benar menjadi pijakan penuntasan pandemik.

Tarik ulur kebijakan yang lambat dalam menangani pandemik. Menunjukkan bahwa sistem yang saat ini dianut oleh dunia, termasuk Indonesia, yakni sistem kapitalisme-sekularisme yang terbukti rusak dan merusak. Bukannya menuntaskan masalah, tapi malah menambah masalah.

Ketika kasus Covid-19 baru ditemukan, pemerintah tak langsung mengambil kebijakan lockdown. Hal itu dilakukan karena pertimbangan ekonomi. Negara tak mampu membiayai kebutuhan masyarakat di saat lockdown.

Perekonomian di sistem kapitalisme tidak mampu mendukung kebijakan lockdown, justru menegaskan sistem ekonomi kapitalisme antipencegahan wabah,  antikesehatan dan keselamatan jiwa manusia. 

Solusi Islam selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang sempurna. Islam mengatur semua aspek dan memberikan solusi atas segenap problematika kehidupan. Islam telah lebih dulu dari masyarakat modern membangun ide karantina untuk mengatasi wabah penyakit menular.

Wabah penyakit menular pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Yakni wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Untuk mengatasi wabah tersebut, salah satu upayanya adalah menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasulullah saw. memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta. Beliau bersabda: "Janganlah kalian terus menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta." (HR. al-Bukhari).

Dengan demikian, metode karantina atau lockdown sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasulullah saw. membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Peringatan kehati-hatian pada penyakit kusta juga dikenal luas pada masa hidup Rasulullah saw. Abu Hurairah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa." (HR. al-Bukhari).

Rasulullah saw. juga pernah memperingatkan umatnya untuk jangan mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda, "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal janganlah kalian meninggalkan tempat itu." (HR. al-Bukhari).

Dikutip dari buku Rahasia Sehat ala Rasulullah saw.: Belajar Hidup Melalui Hadis-Hadis Nabi karya Nabil Thawil, pada zaman Rasulullah saw., jika ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Thaun, beliau memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus. Jauh dari pemukiman penduduk. Ketika diisolasi, penderita diperiksa secara detail. Lalu dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan sudah sembuh total. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwiyatkan: "Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi ditempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu. (HR. al-Bukhari). 

Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi saat terjadi wabah Thaun yang melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abu Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail. 

Alhasil, menjadi seorang pemimpin di tengah wabah harus berani mengambil risiko. Tanpa mempertimbangkan masalah ekonomi, yang utama rakyat terselamatkan. Karena standar kebahagiaan seorang muslim adalah rida Allah Swt., maka pemimpin muslim akan menjadikan rida Allah Swt. sebagai tujuan. Oleh karena itu, ia akan langsung memutuskan lockdown agar wabah tak meluas menyerang masyarakat dan wabah tidak akan berlarut-larut seperti saat ini. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar