Ironi Memilih Pemimpin Ditengah Pandemi

Oleh: Astri Ummu Zahwa

Pandemi masih belum beranjak dari bumi ini, terhitung kurang lebih satu tahun sudah rakyat menjalani sebuah ritme kehidupan baru. Di Bekasi berdasarkan situs resmi pikokabsi.bekasikab.go.id pada hari Sabtu, 10/4/2021, pasien positif 23.736 (bertambah 140), pulih 22.766 (bertambah 159), wafat 252 (tetap), probable 813 (orang tanpa gejala, kontak erat dengan pasien Covid-19), kontak erat 25.089 (demam atau ISPA, tanpa pneumonia), suspek 16.506 (demam, ISPA, dan pneumonia). 

Kesulitan ekonomi pun masih dirasakan masyarakat. Beberapa warga masyarakat mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan juga sumber pemasukan yang menurun drastis. Apalagi menjelang bulan suci Ramadhan, sudah menjadi suatu kebiasaan harga-harga melonjak naik. Hal ini semakin mempersulit pemenuhan kebutuhan hidup ditengah himpitan ekonomi.

Akan tetapi hal ini nampaknya tidak menghalangi pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Kabupaten Bekasi yang sudah digelar 4 April 2021 yang lalu, yang juga berbiaya besar. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp. 6 miliar. Anggaran itu sudah disalurkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi sebagaimana dikatakan Kabid Pemerintah Desa pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Bekasi Maman Firmansyah, sebagaimana dikutip dari bekasikab.go,id. Sungguh suatu hal yang ironi di tengah kondisi pandemi dan kondisi sulitnya ekonomi masyarakat.


Memilih Pemimpin Dalam Islam

Berbicara tentang seorang pemimpin, seorang kepala Desa termasuk dalam pemimpin umat walaupun dalam wilayah yang kecil yaitu tingkat desa atau kampung. Dalam struktur kekhilafahan biasa disebut Mudir al Hayyu. Tugas beliau adalah membantu wali (Gubernur) dalam tugas administrasi. Dalam memilih Mudir al Hayyu, seorang Wali ataupun Khalifah melihat dari kemampuan serta ketakwaan calon yang ditunjuk. Ketika memenuhi kriteria maka ia akan langsung ditanya tentang kesediaannya dan  diangkat tanpa mengadakan pemilihan seperti saat ini dengan menghabiskan dana yang banyak. Cara seperti ini jelas lebih efektif dan efisien dalam menghemat keuangan negara.

Sungguh sangat jauh berbeda dengan pemilihan Kepala Desa di sistem saat ini yang menghabiskan dana cukup besar. Dalam kondisi normal pun seharusnya tidak terjadi, apalagi dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Dimana dana yang ada seharusnya lebih utama digunakan untuk membantu masyarakat yang terkena wabah Covid 19 dan dampak ekonomi yang ditimbulkan. Di sistem ini setiap orang berlomba menjadi pemimpin tanpa memikirkan dengan baik tanggung jawab besar yang harus diembannya. Akhirnya kepentingan rakyat dan kemaslahatan umum menjadi prioritas yang kesekian. 

Dalam Islam, memilih pemimpin tidak hanya berbicara tentang siapa yang akan menjadi pemimpin, tapi juga tentang dengan apa dia akan memimpin. Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah. Beratnya amanah membuat seorang calon pemimpin berpikir beberapa kali untuk mengambilnya. Ia menyadari bahwa kepemimpinannya harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Swt. Untuk itu sekuat tenaga para pemimpin dalam Islam menjaga amanah agar tidak menzhalimi rakyatnya termasuk dalam proses pemilihannya.

Untuk itu jabatan pemimpin umat sesungguhnya bisa membawa kebaikan jika kepemimpinan dijadikan washilah untuk membangun ketaatan. Dan akan menjadi keburukan, jika kepemimpinan justru menjadi washilah kemaksiatan, kekufuran dan penjajahan. Dan sayangnya, inilah yang justru nampak dalam sistem kepemimpinan sekuler demokrasi saat ini yang hanya memikirkan masalah materi. Kepemimpinan menjadi hal yang diperebutkan, bahkan untuk meraihnya menghalalkan segala cara.

Melihat cara pemilihan pemimpin dalam Islam, jelas menjadikan para pemimpin memahami hakikat kepemimpinannya yaitu sebagai pengurus rakyat dan pelindung rakyat dari bahaya dan ancaman yang menimpanya. Seperti kelaparan, kemiskinan, tertular virus berbahaya, dan sebagainya. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Semoga para pemimpin tersadarkan bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah. Nasib umat adalah yang harus dipikirkan terlebih dahulu ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. Dan pemimpin yang bertanggungjawab tentunya hanya akan terlahir dari sistem yang agung dari Zat yang Maha Agung.

Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

0 Komentar