KOMPOR LISTRIK, UNTUK KEMASLAHATAN SIAPA?

Oleh: Susanti Pratiwi Sagala (Aktivis Mahasiswa)

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyiapkan produk layanan untuk mengakselerasi pengguna kompor induksi (kompor listrik). Proses rancangan program mulai dilakukan pada awal April 2021. Upaya pengguna kompor induksi sendiri dinilai tak hanya memberi keuntungan bagi masyarakat dan menekan angka impor LPG dalam negeri, namun juga mampu mendorong kinerja keuangan PLN. “Yang penting dengan penggunaan kompor induksi bisa mengurangi impor LPG,” ujar Agung Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN. 

Program yang dicanangkan merupakan membebek beberapa negara termasuk Malaysia. Sebelumnya, kompor yang saat ini digunakan telah mengalami beberapa kali mutasi dari minyak ke LPG dan kini akan ke induksi. Jika masyarakat dengan kompor LPG saja pun masih ada yang tidak mampu membelinya konon lagi kompor induksi. Hanya dengan membebek negara lain tidak akan dapat menyelesaikan masalah, apalagi jalan penyelesaiannya berasal dari sistem kapitalisme-sekulerisme. Sedangkan, selama ini PLN mengandalkan para Independent Power Producer (IPP) yang menjual listrik ke PLN agar memenuhi kebutuhan listrik nasional. Ternyata, lebih dari 50% pembangkit listrik yang beroperasi di tanah air saat ini adalah milik pengembang listrik swasta atau IPP. Wajar saja kapitalisme akan semakin menumbuh kembangkan para kapital. Melihat kondisi listrik seperti itu di negeri kita tercinta sering mengalami pergantian pemadaman listrik, bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika kompor adalah salah satu alat yang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam memasak di dapur akan ikut terganggu bahkan menghambat kelancaran ibu dalam memenuhi kebutuhan perut keluarganya. Belum lagi, beberapa bulan lalu dikeluarkan rencana kenaikan pajak token listrik akan mempengaruhi kepada anggaran pembelanjaan rumah tangga. Bahkan, beberapa hari lalu pemerintah berencana mengubah skema penyaluran subsidi dan akan menghapus kompensasi kepada pelanggan PLN non-subsidi. Hal ini akan berimbas pada tagihan listrik yang lebih mahal dari sebelumnya. Ini sama saja seperti pemerintah sedang menggepur tungku dapur yang akan berakibat fatal terhadap pengeluaran yang akan semakin meningkat. Walaupun, menurut Kementerian ESDM, Rida Mulyani transformasi subsidi berbasis orang membuat penghematan besar dalam anggaran belanja Negara (APBN). Selalu yang dipandang hanyalah keuntungan sebelah pihak yakni negara saja bukannya kepentingan masyarakat. Tak hanya itu saja memasak menggunakan kompor induksi membutuhkan waktu yang lebih lama daripada durasi menggunakan kompor LPG, ternyata juga akan mempengaruhi rasa masakan. Situasi ini menyadarkan kita kembali, apakah benar keuntungannya memihak masyarakat ataukah kepentingan siapa? Permasalahan seharusnya dikaji hingga mengakar agar mendapatkan solusinya dan melihat kebutuhan masyarakat juga keuntungan masyarakat bukan yang lain. Jika, tolak ukur kapitalisme memang tidak jauh dari laba hingga tidak memikirkan kerugian serta dampak yang akan muncul. Permasalahan kompor ini pun takkan mampu di padamkan dengan sebelah mata dan akan menghasilkan permasalahan baru. Melahirkan pembebanan yang berat kepada masyarakat yang terpaksa akan terjerat oleh bon listrik yang melonjak. Kononnya, konsep energi bersih namun boros biaya. Sepertinya. Masyarakat akan merana lagi menjadi korban kedzaliman sistem yang takkan memikirkan fitrahnya. Kapitalisme menyambut Ramadan dengan menggempur tungku dapur hingga kepingannya akan terasa ke seluruh penjuru negeri. 

Selayaknya kita kembali pada fitrahnya manusia yakni diatur dengan sistem Islam dalam naungan khilafah. Hanya dengan khilafah seluruh kebutuhan masyarakat akan diselesaikan secara mengakar serta kepentingan masyarakat terpenuhi tanpa adanya komersialisasi. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah saw. yang harus kita perhatikan, “kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Bahwa ketiganya tidak boleh di miliki oleh individu, apalah lagi hingga ditangan swastanisasi. Sumber daya alam berupa api dalam bentuk listrik dikembalikan kepada pemiliknya yaitu masyarakat. Tidak ada biaya yang dibebankan sampai memberatkan rakyat selain biaya pengelolaan saja. Namun jika, khilafah masih mampu menutupi biaya itu maka listrik mengalir ke rumah-rumah secara cuma-cuma dan menerangi kehidupan. Khalifah adalah perisai, yang melindungi dan mengurusi urusan masyarakatnya. Dipundaknya menanggung beban yang sangat berat demi dipenuhinya kebutuhan dibawah naungannya yakni seluruh manusia yang tunduk pada negara Islam tanpa memandang buluh. Bahkan, sejarah mencatat seorang khalifah  takut menggunakan listrik jika untuk kepentingan pribadinya, dan hanya menggunakan listrik untuk kepentingan masyarakat. Seperti kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, suatu malam beliau yang sedang diruang kerja istananya di datangi oleh putranya. Lalu, beliau bertanya “untuk urusan apa putraku datang ke sini urusan negarakah atau keluarga?” “Urusan keluarga ayahanda” jawab sang putra. Tida-tiba Umar mematikan lampu penerang atas mejanya. Ruangan pun menjadi gelap, karena Umar telah memadamkan lampunya. Dan mengatakan kepada putranya kalau lampu tersebut dibeli dengan uang negara sedangkan perkara yang akan dibicarakan urusan keluarga. Maka, mereka menggunakan lampu dari ruang dalam milik keluarga yang dibeli dengan uang mereka sendiri. Betapa berbedanya jika hidup dalam aturan islam secara menyeluruh, pemimpinnya pun takut mengambil hak masyarakat apalagi sampai mengesampingkan hak masyarakatnya dengan mengutamakan kepentingan kapitalisme, Na’udzu billahi.

Posting Komentar

0 Komentar