Prostitusi Anak Menggeliat, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh: Banowati

Belum lama ini polisi mengamankan anak di bawah umur saat menggerebek hotel milik artis CA di wilayah Larangan, Tangerang, Banten. Menyikapi kasus tersebut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpora) menyebut anak-anak di bawah umur terjerat kasus prostitusi karena terdorong motif ekonomi. Deputi bidang perlindungan khusus anak kemenPPPA Nahar berharap ke depannya para orang tua lebih memperhatikan dan menjaga anaknya, menyiapkan tumbuh kembang anak dengan sebaik-baiknya agar kasus-kasus seperti itu bisa dicegah, dengan mewaspadai modus-modus bujuk rayu. (CNN Indonesia, sabtu 29/03/2021).

Kejadian prostitusi anak tidak hanya sekali ini terjadi, bulan lalu peristiwa serupa juga terjadi di Jawa Timur, tepatnya di Mojokerto, polisi menangkap OS yang merekrut anak di bawah umur yang rata-rata masih pelajar SMP dan SMA. Mereka ditawari melalui media sosial, untuk dijadikan pelaku prostitusi. Selain itu tersangka juga merekrut reseller yang juga anak di bawah umur agar lebih mudah mendapat korban. (Radar Surabaya.id 05/02/2021).

Menilik kedua kasus di atas atau mungkin masih banyak lagi kasus serupa yang tidak diungkap, motifnya lebih banyak didasari karena faktor ekonomi. Anak-anak di bawah umur baik dengan kemauan sendiri atau kehendak orang dewasa melacurkan diri demi rupiah. Moral mereka tergadai, masa depan pun suram. Miris, padahal usia mereka adalah usia yang semestinya disibukkan belajar menggapai prestasi, tapi telah terenggut oleh masa-masa kelam.

Pendidikan pun bukan lagi prioritas penting dalam hidup mereka. Padahal, pendidikan adalah upaya sadar yang bertujuan mencetak generasi yang bekepribadian unggul, para ilmuwan yang siap memajukan bangsa serta para manusia mandiri. Namun yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini dengan dasar sekularisme menjadikan pendidikan pun bersifat sekuler. Agama tidak dijadikan rujukan, hasilnya anak didik jauh dari moral agama. Ini bisa kita rasakan dengan diberikannya pelajaran agama hanya 2 jam seminggu dan agama hanya sebagai bagian dari ilmu. Agama tidak dijadikan dasar moral bagi pendidikan secara umum. 

Di sisi lain sifat asli kapitalis yang mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya telah meracuni dunia pendidikan memiliki paradigma materialistis. Akhirnya terbentuk output-output pendidikan yang pragmatis, materialistis bahkan hedonis. Hal ini didukung dengan media yang kerap menawarkan kesenangan materi, masyarakat yang permisif, dan diperparah dengan keluarga yang abai pada moral anak-anaknya.

Berbeda dengan Islam. Pendidikan Islam bertujuan membentuk para individu yang memiliki keyakinan kuat atas keberadaannya sebagai makhluk yang punya tugas mulia, dimana pola sikap dan pola pikirnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan ini bisa diraih dengan pembentukan kepribadian Islam. Kepribadian Islam inilah yang akan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa. 

Islam jelas acuannya. Halal-haram dijadikan sebagai standar. Ketakwaan jadi benteng utama yang mengunci tindak-tanduk kaum muslim yang akan melenceng dari syariat Islam. Namun, manusia yang bertakwa tidak mungkin diraih jika salah satu faktor pendukungnya, yakni pendidikan masih berbasis sekularisme. Sehingga dibutuhkan upaya negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berasaskan Islam. Negara sebagai penyelenggara pendidikan harus menjaga ketakwaan individu rakyatnya, termasuk para remaja yang rentan jiwanya. 

Sementara itu dari sisi perzinaan sungguh Islam memiliki mekanisme pencegahannya. Yaitu dengan menutup segala pintu perzinaan. Sanksi bagi pezina adalah rajam bagi orang yang menikah atau pernah menikah. Dan cambuk seratus kali untuk yang belum pernah menikah. Celah- celah perzinaan juga diantisipasi dengan adanya aturan kewajiban menutup aurat, menundukkan pandangan, larangan berkhalwat dan pemisahan laki-laki dan perempuan di tempat-tempat khusus. Sudah pasti haram adanya bisnis prostitusi. 

Demikianlah, sistem Islam akan menerapkan kebijakan sesuai rujukan Alquran. Keimanan  mendasari segala aktivitas individu, masyarakat dan kebijakan negara. Sistem paripurna sesuai fitrah manusia yang dapat mewujudkan kebahagiaan dunia akhirat. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Posting Komentar

0 Komentar