Ramadhan, Saatnya Raih Takwa dengan Berislam Kaffah

Oleh : Habibah, A.M.Keb

Marhaban yaa Ramadhan. Hanya hitungan hari kaum muslimin di seluruh dunia akan memasuki bulan Ramadhan. Yang mana dalam bulan itu, Allah perintahkan di dalamnya untuk berpuasa. Puasa Ramadhan adalah salah satu pintu meraih takwa. Takwa inilah yang menjadi “buah” dari shaum seorang hamba sepanjang Bulan Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183).

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, semoga kamu bertakwa.”

Meskipun ayat di atas sudah terlampau sering disampaikan para mubaligh di mimbar-mimbar masjid, menggapai ketakwaan kepada Allah SWT di Bulan Ramadhan tetap bukan perkara yang mudah bagi kebanyakan kaum Muslim.

Al-Quran banyak mengungkap tanda-tanda orang yang bertakwa (Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 3-5. Demikian juga dalam al-Hadits. Begitu pun yang dinyatakan oleh para ulama generasi salafush-shalih.

Menurut al-Hasan, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui. Di antaranya: Jujur/benar dalam berbicara. Senantiasa menunaikan amanah. Selalu memenuhi janji. Rendah hati dan tidak sombong. Senantiasa memelihara silaturahmi. Selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin. Memelihara diri dari godaan kaum wanita. Berakhlak mulia. Memiliki ilmu yang luas. Senantiasa ber-taqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Hilm, I/32).

Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk Wahab bin Kisan. Di antaranya dinyatakan, “Sungguh orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri yakni: Sabar dalam menanggung derita. Ridha terhadap qadha’. Mensyukuri nikmat. Merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum al-Quran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170).


Pengertian Takwa

Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, ‘’Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?’’ Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi.

‘’Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?’’ Orang itu menjawab, ‘’Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.’’ Abu Hurairah cepat berkata, ‘’Itulah dia takwa!’’ (HR Ibnu Abi Dunya).

Kata takwa, menurut HAMKA dalam tafsirnya, Al-Azhar, diambil dari rumpun kata wiqayah yang berarti memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT. Memelihara jangan sampai terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan. Memelihara kaki jangan terperosok ke tempat yang penuh lumpur atau duri.

Takwa, dengan demikian, tidak dapat diartikan sebatas takut kepada Allah SWT. Rasa takut kepada Allah SWT adalah bagian kecil dari takwa. Menurut HAMKA lagi, dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha dan sabar. Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh. Bahkan, dalam kata takwa terkandung juga arti berani.

Maka jika kita merujuk kepada Surat Al-Baqarah ayat 138, Ramadhan adalah momen untuk membentuk ketakwaan. Bulan yang Allah lipat gandakan pahala, bulan pengampunan. Sudah saatnya kita tak hanya melakukan puasa Ramadhan ini sebagai ritual belaka, yang hanya ikut-ikutan tanpa mengetahui ilmu dan keutamaan dari puasa Ramadhan itu sendiri.

Berbicara tentang takwa, Baginda Rasulullah saw. Pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. Saat beliau mengutus dia ke Yaman, “IttaqilLah haytsuma kunta (Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun engkau berada).” (HR at-Tirmidzi).

Sebetulnya kata haytsu pada hadis di atas bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. Kepada Muadz ra. Tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tak hanya di Madinah saja: saat turunnya wahyu-Nya, saat ada bersama beliau, juga saat dekat dengan Masjid Nabi saw.

Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, 42/4-8).

Dengan demikian kita pun sejatinya bertakwa tak hanya saat berada pada bulan Ramadhan saja, yang kebetulan sedang kita jalani, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya.

Maka apa saja yang perlu kita lakukan di bulan Ramadhan itu sendiri?

Pertama: Kita harus tetap memelihara amalan-amalan rutin Ramadhan. Shaum, shalat, zikir, sedekah, membaca dan mengkaji al-Quran, shalat berjamaah, istighfar, bangun malam, memperbanyak amalan sunnah dan aktivitas lainnya. Semangat untuk taat pada bulan Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu. Karena itu semangat dalam mencegah diri dari perbuatan maksiat, keikhlasan, kesabaran, keistiqamahan dan semangat dakwah seharusnya terus menyala meski Ramadhan telah usai.

Kedua: Lebih meningkatkan upaya memahami syariah Allah SWT dengan banyak menghadiri majelis ilmu. Orang yang keluar dari rumahnya menuju masjid untuk menuntut ilmu syar’i, maka ia sedang menempuh jalan menuntut ilmu. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن سلَك طريقًا يطلُبُ فيه عِلْمًا، سلَك اللهُ به طريقًا مِن طُرُقِ الجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga” (HR. At Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Ketiga: Lebih giat berdakwah. Bulan Ramadhan merupakan bulan turunnya al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tidak mungkin petunjuk itu sampai bila tidak didakwahkan. Atas dasar inilah dakwah merupakan karakter kaum Mukmin.

Dari Abdullah bin Amru, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat....” (HR Tirmidzi).

Hadis di atas melandaskan kewajiban untuk berdakwah. Kewajiban tersebut berlaku bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan. Tidak ada alasan untuk tidak menunaikan kewajiban dakwah. Hal ini tampak dari perintah untuk menyampaikan (dakwah) meskipun satu ayat. Dan, rasanya, tidak ada seorang Muslim pun yang tidak menerima atau memahami satu ayat.

Berdakwah bukan kewajiban yang diperintahkan oleh para ulama, kiai, atau oleh siapa pun. Akan tetapi merupakan perintah dari Allah SWT secara langsung kepada setiap individu Muslim.

Keempat: Terus bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya (tawbatan nashûhâ). Allah SWT memang menjamin untuk mengampuni orang-orang yang benar-benar puasa Ramadhan. Namun, kaum Mukmin tidak akan terlena dengan itu. Mereka tetap bertobat sebagai salah satu karakter orang bertakwa (Lihat: QS Ali Imran [3]: 135).

Kelima: Berusaha selalu hidup di tengah-tengah komunitas masyarakat yang bertakwa. Di sinilah pentingnya ketakwaan kolektif. Ketakwaan semacam ini hanya mungkin terwujud saat kita bersama-sama mengamalkan syariah Islam secara kaffah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ 

Artinya, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 208).

Oleh sebab itu kesempatan Ramadhan tahun ini jangan kita sia-siakan hanya dengan berpuasa menahan haus dan lapar. Tapi sejatinya kita harus berusaha meraih takwa dengan menerapkan Islam secara kaffah, karena hanya dengan menerapkan Islam secara kaffah takwa bisa terwujud.

Posting Komentar

0 Komentar