Oleh : Imas Royani
Pada Rapat Paripurna DPR yang berlangsung 24 September 2019, telah disahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren menjadi Undang-Undang (UU). Selama ini pengaturan mengenai pesantren belum mengakomodir perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif.
Dikutip dari sumedang.radarbandung.id, Sekretaris Fraksi PKB DPRD Kab Sumedang Herman Habibullah, S.Sos. mengatakan Dasar utama kami adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Pendidikan Pesantren menjelaskan dengan tegas bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk bersinergi dalam melaksanakan pelayanan Pengelolaan Pendidikan Pesantren seperti yang tercantum dalam Pasal 46 (1). Berdasarkan ini, pemerintah daerah dapat membentuk peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan turunannya sesuai dengan kewenangannya.
Sebagai tindak lanjut, DPC Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten Sumedang dan Pemkab Sumedang menggelar acara silaturahmi bersama alim ulama se-Kabupaten Sumedang bertempat di Aula Kantor Kemenag Kabupaten Sumedang, Kamis (29/4/2021). Tujuan digelarnya silaturahmi alim-ulama ini dalam rangka menampung sejumlah masukan dari para alim ulama yang merupakan perwakilan dari pondok pesantren menyongsong dibuatnya Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang tentang Pondok Pesantren (Ponpes).
Menurut Bupati Sumedang H. Dony Ahmad Munir, penyusunan raperda yang melibatkan publik dan pemangku kepentingan seperti ini akan baik hasilnya, berdaya dan berhasil guna untuk pengembangan pesantren ke depannya. Apalagi raperda ini akan menjadi perda pertama di kabupaten/ kota di Jawa Barat. (RADARSUMEDANG.ID)
Dan ternyata bahasan tentang Perda inisiatif ponpes DPRD bukan hanya di wilayah Jawa Barat, tetapi juga di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan wilayah lainnya di Indonesia. Setiap partai politik mengaku sebagai pencetus adanya Perda ini.
Selama ini berbagai bentuk kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah baik daerah maupun pusat berkaitan dengan penyelenggaraan ponpes, diantaranya program One Product One Pesantren (OPO), peluncuran Peta Jalan Kemandirian Pesantren (PJKP) juga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Berbasis Pesantren. Jika dilihat dari tujuannya, makin menguatkan bahwa pemerintah tak mampu lagi mewujudkan kesejahteraan rakyatnya terutama di dunia pendidikan. Semua program yang ditawarkan hanya akan mengalihkan fungsi utama pesantren sebagai lembaga yang mencetak generasi faqqih fiddin.
Di sisi lain, masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalisme cenderung memiliki karakter individualistik. Tidak adanya jaminan pendidikan, kesehatan hingga jaminan untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan menjadi sebab utama terbentuknya masyarakat seperti itu. Alih-alih saling berbagi, pemenuhan kebutuhan keluarganya saja kadang-kadang belum terbayangkan.
Hegemoni korporasi yang makin mencengkeram negara, telah nyata menjadi penyebab terpuruknya kondisi perekonomian rakyat. Terkuasainya sumber daya alam oleh korporasi menjadikan rakyat tak bisa menikmati kekayaannya sendiri. Walhasil, kemiskinan menjadi persoalan utama bangsa. Sampai-sampai harus menjadikan pesantren sebagai wasilah terselesaikannya masalah ini.
Sebenarnya, kemandirian ekonomi dalam pondok pesantren bukan sesuatu yang keliru. Akan tetapi ada hal yang harus dikritisi, yaitu mangkirnya penguasa dari tugas utamanya mengurusi umat, yakni dalam hal menyelesaikan permasalahan kemiskinan, yang malah diserahkan kepada rakyat.
Jika pesantren dijadikan aset pemerintah dan diandalkan dalam pergerakan ekonomi daerah, semua itu akan makin menggeser orientasi pesantren. Program-program tersebut justru dikhawatirkan akan mengerdilkan potensi pesantren, yakni dari sebagai pencetak alim ulama yang siap menyiarkan Islam, menjadi pencetak uang demi keberlangsungan ekonomi rakyat.
Begitu pula adanya Perda Ponpes Inisiatif DPRD, jika pelaksanaannya tetap berdasarkan pada sistem sekuler maka hasilnya tidak akan jauh beda dengan program yang sudah-sudah. Bukannya memberikan kesejahteraan dan pengayoman, malah semakin mencengkeram gerak langkah kemajuan Ponpes itu sendiri.
Hal ini sungguh berbeda dengan peraturan yang ada dalam sistem Islam. Islam tidak akan menjadikan pesantren sebagai solusi atas persoalan kemiskinan. Islam dengan sistem Khilafah akan mendukung peran pesantren sebagai institusi pencetak alim ulama yang akan menjaga umat dan bangsa dari kemudaratan. Tentunya penerapan Islam yang paripurna hanya bisa dilaksanakan dalam bingkai Khilafah Islam.
Allah ﷻ berfirman,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang beramal sholih bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun. Tetapi, siapa saja yang ingkar (kafir) setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. an-Nuur [24]: 55)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar