Oleh : Wina Apriani
Bukan hal baru pemberitaaan kasus Islamophobia yang terjadi, baik fenomena kasus dari masyarakat Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Beberapa pekan lalu di luar negeri terjadi kasus yang membuat geger, yaitu Polisi di Provinsi Ontario Kanada mengatakan, seorang pengemudi dengan sengaja menyerang satu keluarga dengan alasan karena mereka muslim, sehingga menewaskan empat orang dan melukai seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun.
Serangan itu dikecam sebagai tindakan kebencian yang tak bisa diungkapkan, selain bersikap islamophobia atau istilah kejiwaan bentuk ketakutan dengan pemeluk agama Islam. Para korban yang berasal dari anggota keluarga yang sama dipukul dengan benda keras pada Minggu (6/6/2021) malam ketika mereka menunggu untuk menyebrang jalan di kota London, sekitar 200 km (124 mil barat daya Toronto. Polisi mengatakan para korban adalah dua wanita berusia 77 dan 44 tahun, seorang pria berusia 46 tahun dan seorang gadis berusia 15 tahun. Seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun juga terluka parah dan sedang dalam pemulihan di rumah sakit. Akan tetapi otoritas setempat tidak merilis nama nama korban. "Ada indikasi bahwa ini adalah tindakan terencana dan dimotivasi oleh kebencian. Diyakini para korban ini menjadi sasaran karena mereka adalah muslim," kata Inspektur Layanan Polisi London, Paul Waight saat konferensi pers seperti dikutip Al-Jazeera.com, Selasa (8/6/2021).
Miris apa yang dilakukan terhadap muslim luar negeri diatas jelas merupakan kejahatan yang sangat besar, karena merenggut nyawa muslim. Para pelakunya harus dihukum dengan seadil-adilnya. Tanpa pandang bulu atau rasa belas kasian apapun.
Menyikapi atas kejadian ini pun beberapa pejabat negara mengecam tindakan teror tersebut. Walau banyak kecaman dari pejabat negara terhadap tindak teror ini, namun ini tidak cukup menghentikan kekeresan terhadap muslim akibat Islamophobia. Karena saat ini sistem sekularisme menumbuhsuburkan Islamophobia.
Menurut Wikipedia, islamophobia adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan muslim. Istilah ini sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001. Sebelumnya pada tahun 1997, Runnymede Trust dari Inggris mendefinisikan islamophobia sebagai “rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua muslim,” dinyatakan bahwa hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa (wikipedia.org).
Sebelumnya ada negara Prancis yang menjunjung tinggi sekularisme. Di Prancis, warga berhak beragama atau tidak beragama, dan kedua pilihan tersebut sama-sama dilindungi negara. Pada 1905, dikeluarkan undang-undang yang melindungi sekularisme. Tujuannya untuk melindungi kebebasan warga untuk menjalankan agama, serta mencegah masuknya agama di institusi-institusi negara. Ini menunjukkan islamophobia, di mana mereka begitu takut jika agama masuk ke dalam institusi negara. Undang-undang di Prancis tersebut menopang undang-undang lain yang melindungi hak untuk menistakan agama, yang dikeluarkan pada 1881. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Prancis, boleh menista agama, tetapi tak boleh menghina seseorang berdasarkan agama yang ia anut.
Inilah gambaran bagaimana sekularisme dengan dalih kebebasan bisa seenaknya menyakiti kaum muslim, apalagi sejatinya adalah sebuah aturan yang sangat rentan menciptakan permusuhan dan chaos di tengah masyarakat luas. Sekularisme adalah jiwa dari sistem kapitalisme yang terang benderang menjauhkan manusia dari Sang Pencipta dan cenderung menciptakan pertikaian dan ketidakamanan nyawa manusia. Sekularisme tentu berbeda 180 derajat dengan Islam.
Bagaimana solusi problem Islamophobia hanya dengan kepemimpinan Islam yang mampu menghentikan kekerasan dan mengangkat kehormatan Islam di tengah bangsa di dunia. Sejatinya justru Islam yang menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama sehingga menimbulkan rasa aman. Islam mengajak manusia kepada kebenaran hakiki tentang hakikat kehidupan tanpa unsur pemaksaan dan kekerasan.
Penerapan sistem Islam kafah dalam naungan Khilafah Islamiyah hingga sekitar 14 abad menjadi bukti nyata bahwa Islam sangat menghargai nyawa manusia, termasuk nyawa warga nonmuslim. Bukan sebaliknya nyawa muslim jadi permainan. Dalam sejarah kekuasaannya, pemerintahan Islam mendakwahi rakyatnya untuk masuk Islam namun dengan cara damai. Masyarakat diajak berpikir tentang hakikat kehidupan, tentang makna dan tujuan hidup, serta menjelaskan kehidupan akhirat yang kekal sesudah kematian.
Warga negara Khilafah yang tidak bersedia memeluk agama Islam tetap diperlakukan secara manusiawi. Disisi lain tentunya untuk aturan administrasi akan berbeda dengan warga negara yang muslim, namun akan mendapatkan hak & kewajiban yang sama layaknya warga negara pada umumnya.
Sebagai contoh ketika adanya kewajiban membayar jizyah yaitu semacam pajak bagi warga negara nonmuslim dalam wilayah pemerintahan negara Khilafah, hal teknis semacam ini tentu masih wajar dilakukan oleh negara yang warganya beragam. Ini berlaku bagi nonmuslim dewasa yang kondisinya memungkinkan untuk mereka bisa membayarnya. Selain itu warga nonmuslim diperbolehkan untuk mengajarkan ajaran agama dan kepercayaan mereka hanya di lingkungan sesama mereka saja dan tidak diperbolehkan untuk mendakwahkan agama dan kepercayaan mereka secara terang-terangan kepada warga muslim atau menjelek-jelekkan agama dan Nabi dari penganut agama yang lain.
Namun kini, di saat Khilafah tengah diperjuangkan kembalinya di tengah umat, maka jalan satunya-satunya menghadapi islamophobia adalah istiqamah menepaki jalan dakwah ‘ala minhaji an nubuwwah. Dengan dakwah yang masif, akan terbuka mata umat akan kemuliaan Islam. Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Hanya dengan Islam, kehidupan manusia akan mulia. Sejarah telah membuktikan hanya khilafahlah yang mampu menyatukan keberagaman dengan kehidupan yang adil, makmur, sejahtera, dan memberikan keamanan bagi seluruh warganya, tanpa membedakan ras maupun agama. Begitu juga kemajuan peradaban Barat yang sekarang ada, tidak mungkin hadir tanpa adanya konstribusi besar dari Islam dan kaum Muslimin.
Tanpa kehadiran para negarawan, ilmuwan dan cendikiawan Muslim yang telah mewariskan peradaban yang sangat agung, kemajuan peradaban Barat saat ini tidak mungkin terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya yang menjadi penghubung peradaban Yunani dan Romawi dengan peradaban Eropa saat ini.
Walhasil bukan jalan tengah dengan melakukan dialog antar agama sebagai solusi menghilangkan islamophobia. Karena sejatinya dialog antar agama ini hanya akan mengebiri ajaran Islam.
Wallahu a’lam bi ash showwab.
0 Komentar