Oleh : Ir. Zuraida Triastuti (Aktivis Muslimah)
Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat banyak, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draf revisi UU Nomor 6 yang didapat CNNIndonesia.com (9/6/21), pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A.
Dalam draf tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu, artinya barang akan dikenakan PPN.
Selain itu, pemerintah juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari saat ini tarif PPN sebesar 10%. Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Anggota komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati yang menyebut kebijakan ini berpotensi makin memberatkan kehidupan masyarakat bawah, karena harga kebutuhan pokok jadi meningkat.
Kritikan juga datang dari Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Abdullah Mansuri yang menilai rencana kebijakan pemerintah ini sangat tidak tepat. Apalagi, isu PPN sembako ini bergulir pada saat pandemi Covid-19. Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI, Dudung Abdul Qodir menilai, pemungutan pajak pada layanan pendidikan bukan hanya merugikan pengelola pendidikan, namun juga masyarakat.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sektor pendidikan atau sekolah mengancam pemulihan pada sektor pendidikan nasional yang terdampak pandemi covid-19.
KAPITALISME SANGAT BERTUMPU PADA PAJAK
Sesungguhnya bukan hal yang aneh jika negeri ini kerap mewacanakan pemungutan pajak, bahkan mempropagandakan tentang warga negara yang baik, adalah yang taat pajak.
Dalam sistem kapitalis dengan paham kebebasannya, menjadikan sumber daya alam bebas dimiliki siapapun. Sumber daya alam yang harusnya dikelola negara dan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat justru dikuasai inividu, asing maupun asing. Negara hanya mendapat kontribusinya berupa pajak. Maka negeri yang menganut sistem kapitalis memang menjadikan pajak sebagai tumpuan sumber pemasukan kas negaranya.
Maka jangan heran melihat dari postur APBN 2021 . pemasukan negara 82,8% atau sekitar Rp1.444,5 T dari total pendapatan negara Rp1.743,6 T ditopang pajak, sisanya dari non pajak dan hibah. Maka ketika terjadi defisit anggaran maka wajar negara akan menggenjot sektor pajak dengan meningkatkan beban pajak dan ragam item yang dikenai pajak.
Karena itulah cara termudah mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.
Nampak jelas, kebijakan yang akan digulirkan oleh pemerintah ini, tidak benar-benar mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya. Sekalipun mereka beralasan bahwa dana ini akan digunakan untuk kepentigan rakyat karena akan masuk ke kas negara dan rakyat lecil akan dapat bantuan. Tapi yang terjadi justru akan semakin membebani rakyat dengan jeratan pajak.
Apakah memang hanya pajak yang menjadi sumber pemasukan negara?
TERAPKAN ISLAM SOLUSINYA
Islam telah mengatur tentang kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Sumber utama pendapatan negara bukan pajak. Kas Negara atau Baitul Mal dalam sistem pemerintahan Islam memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah,dan harta kepemilikan umum. Harta kepemilikan umum (sumber daya alam seperti barang tambang dan mineral) sepenuhnya dikelola oleh negara yang akan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Sumber pemasukan ini besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat.
Memang negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Tetapi hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan. Pungutan itu bersifat temporer, ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitul Mal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan menjadi sumber pendapatan utama dan bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara, sangat berbeda dengan sistem kapitalisme.
Dengan aturan seperti ini, keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan.
Wallahu a'lam bishowab.
0 Komentar