Oleh : Habibah, A.M.Keb
Di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi covid 19, pemerintah malah merencanakan pemungutan pajak pada sembako dan pendidikan. Jelas kabar ini membuat gundah masyarakat, pasalnya sembako adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan. Meski ini baru wacana dan rencana dalam draf RUU KUHP tetap saja publik merasa kecewa dengan wacana ini.
Rencana ini tertuang dalam Revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Mengutip draft RUU, sembako yang dikenakan PPN adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Dalam RUU KUP juga menghapus beberapa barang tambang maupun hasil pengeboran yang semulai tak dikenai pajak. Hasil tambang yang dimaksud tidak termasuk hasil tambang batu bara. Pemerintah juga menambah objek jasa baru yang akan dikenai PPN.
Diantaranya, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi. Lalu, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos. (Kompas, 11/6/2021)
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dia menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor sembako-pendidikan juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi. (cnnindonesia.com, 13/06/2021)
Dimanakah keadilan pemerintah pada rakyatnya? Yang selalu memungut pajak dari rakyat kecil. Lihat saja perpajakan di Indonesia disamaratakan, bahkan rakyat kecil pun tetap harus bayar pajak, dengan dalih pemasukan kas Negara. Tapi di satu sisi mereka melonggarkan pajak untuk si kaya. Jika wacana ini sampai terjadi, maka jelaslah pemerintah saat ini mencekik rakyat. Jangan jadikan pemulihan ejonomi sebagai alasan adanya wacana PPN sembako dan pendidikan ini. Mana mungkin menolong rakyat dengan cara mencekik yang membuat mereka menderita, itu artinya sebelum menolong mereka kalian sudah membunuhnya terlebih dahulu.
Dalam sistem kapitalisme pajak selalu dijadikan andalan utama pemasukan kas Negara. Alih-alih memudahkan kehidupan rakyat, nyatanya malah menyengsarakan rakyat. Seolah semua yang dimiliki dan menjadi kebutuhan mereka menjadi target untuk akhirnya di kenai pajak.
Maka nama apa yang pantas untuk negeri yang hobi memalak pajak? Sementara Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ (HR. Abu Daud, no : 2548, dishahihkan oleh Imam al Hakim )
Maka lihatlah apa yang selalu dilakukan negara saat tak mampu menambal kekurangan. Kalau tidak berutang, maka pajak selalu jadi pilihan. Dalam sistem kapitalisme buatan manusia ini, selamanya tidak akan pernah memberikan kemaslahatan. Bahkan hanya menambah kedzaliman, mereka hanya mencari untung rugi, jikalau mencari solusi pun mereka tidak memikirkan halal atau haram.
Negara dengan sistem ini bahkan akan menjadi sumber dan pelaku kezaliman utama atas rakyatnya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asysyura [42]: 42)
Sistem ekonomi Islam, nyatanya berbeda jauh dengan sistem kapitalisme. Pilarnya yang shahih, yakni akidah Islam, telah melahirkan seperangkat aturan yang juga sahih dan solutif atas seluruh permasalahan.
Dalam Islam pemasukan kas Negara akan memaksimalkan semua pos-pos pendapatan yang halal sebagaimana ditetapkan oleh aturan Islam. Dan pos-pos pendapatan negara itu sejatinya akan sangat melimpah ruah, baik dari pengelolaan kekayaan milik umat, maupun dari pos yang lainnya sebagaimana ditetapkan syara, seperti berupa fai, kharaz, dan lain-lain.
Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Dia hanya dipungut saat kas negara kosong dan dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Jadi tidak dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang. Dan manakala problem kekosongan kas negara tadi sudah teratasi, maka pajak pun harus dihentikan.
Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman. Bahkan pajak, akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang berkelebihan harta atas urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan. Itulah keindahan syariat Islam. Saatnya kita menyongsong kembali kejayaan Islam yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Ala Minhaji Nubuwwah.
Wallohu A’lam Bishowab
0 Komentar