Oleh: Nuryanti (Ibu Rumah Tangga)
Pemerintah Indonesia telah membuat keputusan tentang ibadah haji 2021. Keputusan ini menyebutkan bahwa pada tahun 2021 ini, Indonesia tidak memberangkatkan jamaah untuk berhaji, dengan kata lain bahwa Indonesia telah membatalkan keberangkatan haji pada dua tahun terakhir sejak masa pandemi covid-19 tahun lalu.
Keputusan tersebut menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, khususnya bagi jamaah yang telah mendaftarkan dirinya untuk berhaji dan telah mengantre selama beberapa tahun. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran atas pengelolaan setoran dana haji yang telah dibayarkan oleh jamaah haji. Apakah memang dikelola untuk persiapan keberangkatan jamaah haji atau dialihkan untuk pengelolaan infrastruktur atau aspek yang lain? Wallahu a’lam.
Oleh sebab itu, maka dalam hal ini Negaralah yang bertanggung jawab secara penuh. Karena Negara telah diberi amanah oleh rakyat untuk mengatur penyelenggaraan ibadah haji. Jika terjadi penyelewengan atas dana haji, maka Negara bisa dicap sebagai pihak yang tidak amanah.
Apalagi ditambah dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah secara sepihak dan tidak transparan dalam menjelaskan alasan-alasan penguatnya. Pemerintah hanya beralasan karena faktor keselamatan, kesehatan dan keamanan jamaah haji yang bisa terancam akibat pandemi yang melanda dunia. Tetapi jalur wisatawan mancanegara untuk masuk ke Indonesia tetap dibuka dengan alasan akan menambah devisa Negara dan mendongkrak perekonomian rakyat.
Tak sampai disitu saja, keputusan ini juga mendapat dukungan dari komisi VIII DPR RI dalam rapat kerjasama persidangan ke 5 tahun 2020/2021 pada 2 Juni 2021. Pihak DPR RI menyatakan akan menghormati setiap keputusan pemerintah terkait penyelenggaraan ibadah haji 1442 H/2021 M yaitu pembatalan ibadah haji.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia termasuk Negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Namun sangat disayangkan, untuk tahun ini Indonesia kembali mengeluarkan kebijakan dengan meniadakan keberangkatan ibadah haji. Tentu kebijakan tersebut sangat menyakitkan bagi para jamaah dan juga memalukan sebagai umat Islam terbesar di dunia.
Ibadah haji merupakan kewajiban bagi umat muslim yang mampu, yaitu mampu secara fisik, psikis dan finansial. Oleh karena itu sesungguhnya hukum haji adalah fardhu ‘ain yakni wajib sekali seumur hidup. Haji juga merupakan bagian dari rukun islam yang kelima.
Wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur'an yakni Q.S Ali Imron:97. Disebutkan bahwa mengerjakan haji adalah suatu kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.
Adapun dari as sunnah juga disebutkan, dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda yang artinya “Islam dibangun di atas 5 perkara yaitu bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengakui Muhammad adalah utusanNya, mendirikan solat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan Ramadhan" (H.R al Bukhori no 8 dan Muslim no.16). Hadist ini menunjukkan bahwa berhaji adalah bagian dari rukun Islam.
Dari sinilah rakyat mempertanyakan tentang tanggung jawab Negara dalam memfasilitasi kewajiban agama setiap orang. Jika seseorang ingin melaksanakan kewajiban sholat, misalnya, maka Negara memfasilitasi dengan membuatkan tempat untuk sholat yang bersih dan nyaman. Begitu juga dengan kewajiban berhaji, jika seseorang ingin berhaji maka Negara sebisa mungkin memfasilitasi dan mengusahakan agar orang tersebut bisa berhaji meskipun dalam masa-masa sulit.
Namun sepertinya harapan itu hanyalah angan-angan semata yang tak tahu kapan akan terwujud. Beginilah jika suatu Negara tidak berada dalam aturan Islam yang kaffah. Problematika kehidupan umat manusia seakan akan tidak ada habisnya. Ini dikarenakan asas sekularisme yang diadopsi oleh suatu Negara yaitu menjauhkan agama dari kehidupan. Kemudian selalu mengedepankan urusan dunia daripada urusan akhirat.
Berbeda halnya dengan pengaturan di dalam Islam. Islam akan mengatur keberangkatan haji melalui departemen khusus dan dalam pengaturan ongkos, termasuk biaya akomodasi selama pergi sampai kembalinya ke negeri asalnya juga akan diatur dalam pos tersebut.
Jumlah dana yang akan dipakai oleh jamaah juga disesuaikan dengan Negara. Tentu penyusunannya tidak akan disusun dengan cara penetapan investasi juga tidak ada pengendapan dana termasuk juga ada opsi, yaitu pilihan melalui jalur darat, laut maupun udara.
Hal ini terlihat pada masa peradaban Islam, nampak banyak sekali kemudahan yang diberikan oleh seorang Khalifah kepada rakyatnya dalam pemberangkatan ibadah haji. Jamaah tidak membutuhkan waktu bertahun tahun untuk mengantre.
Pada masa Khilafah Abbasiyah ternyata tercatat bahwa untuk melakukan perjalanan antara Damaskus ke Madinah dibentuklah beberapa posko-posko yang menyediakan logistik dan membagikannya kepada para jamaah haji yang kehabisan dana/bekal. Hal ini dilakukan secara sukarela tanpa ada syarat tertentu.
Dengan demikian, maka jelas tergambar bagaimana Islam mewajibkan Negara menjadi Ra’in atau pengurus rakyat, yaitu melakukan upaya semaksimal mungkin untuk memastikan terlaksana kewajiban ibadah haji untuk rakyat, menghilangkan hambatan dan menyiapkan bantuan agar sempurna kewajibanya. Sehingga rakyat tak lagi menderita dan was-was dalam menjalankan kewajiban beribadah.
Wallahu a’lam bish showab.
0 Komentar