Konflik Israel-Palestina, Mungkinkah Tuntas di Meja Perundingan dan Pergantian Kepemimpinan?

Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivis dakwah dan Pendidik)

Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid bersiap membentuk pemerintahan koalisi setelah memberitahu presiden sehingga memastikan berakhirnya 12 tahun kekuasaan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Lapid, pemimpin partai Yesh Atid, ditugaskan untuk membentuk pemerintahan oleh Presiden Reuven Rivlin setelah Netanyahu kembali gagal membentuk koalisinya sendiri setelah pemilihan umum keempat Israel digelar dalam waktu kurang dari dua tahun. (Bisnis.com, 3 Juni 2021)

Berita ini tentu terdengar sampai ke warga Palestina. Warga Palestina menyambut keruntuhan pemerintahan Benjamin Netanyahu, tetapi meyakini itu tidak akan merubah nasib mereka (Kompas.com, 5 Juni 2021). Warga Palestina tetap akan menghadapi kondisi yang sama yakni terjajah atas pendudukan Israel di tanahnya. 

Ini bukan sekadar teori, sekitar satu juta warga Palestina telah ditangkap oleh pasukan Israel sejak perang Timur Tengah tahun 1967, menurut laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal pada Sabtu, 5 Juni 2021. Sekitar 17.000 perempuan dan anak perempuan dan 50.000 anak-anak termasuk di antara mereka yang ditahan, informasi dari LSM Komisi Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan, dikutip dari Anadolu Agency, Sabtu, 5 Juni 2021.

LSM itu mengatakan lebih dari 54.000 perintah penahanan administratif dicatat sejak tahun 1967. Kebijakan penahanan administratif memungkinkan pihak berwenang Israel untuk memperpanjang penahanan seorang tahanan tanpa tuduhan atau pengadilan. (pikiran rakyat, 5 Juni 2021)

Sungguh miris melihat kondisi Palestina yang terus dibombardir oleh Israel. Bukan hanya diserang menggunakan senjata dan bom, dilarang beribadah hingga penyiksaan fisik dalam penjara juga kerap dilakukan. Jika dilihat dari sudut pandang HAM saja ini merupakan bentuk pelanggaran HAM terbesar, apalagi dilihat dari sudut pandang agama (Islam) maka tidak ada istilah solusi perundingan.

Namun, sayangnya konflik ini tidak dipandang dengan sudut pandang Islam. Sehingga menjadi hal yang wajar dunia internasional tidak begitu serius mengakhiri konflik menahun Palestina-Israel ini. PBB sebagai lembaga himpunan seluruh negara-negara di dunia saja, bungkam atas persoalan ini. Seolah, tutup telinga dan mata atas yang terjadi. Berapapun petisi dan permintaan dunia internasional, hanya didiamkan tanpa arti.

Mirisnya, negeri-negeri muslim pun ikut tunduk dengan sikap dunia internasional. Padahal, muslim menjadi jumlah penduduk terbesar di dunia, yang sehari-harinya menghadap pada kiblat yang sama layaknya muslim Palestina. Tapi, pemimpinnya hanya menjadikan kecaman sebagai 'lipstik' atas konflik yang terjadi. Atau bahkan hanya menyerukan kata 'perdamaian' untuk akhiri ini.

Sebagaimana dikutip dari viva.co.id (21/5/21), Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan pentingnya Palestina dan Israel kembali ke meja perundingan untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng, menyusul pengumuman gencatan senjata di Gaza.

Menlu menyampaikan pernyataan itu  dalam pertemuan tertutup dengan sejumlah menteri luar negeri dan Presiden Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volkan Bozkir di New York, yang dilakukan setelah sesi debat yang digelar badan dunia itu khusus untuk membahas situasi Palestina pada Kamis 20 Mei 2021. (Viva.co.id, Jum'at 21 Mei 2021)

Pandangan yang sama, menurut Retno, juga disuarakan oleh para menlu yang hadir dalam pertemuan tersebut yaitu agar tekanan internasional diberikan kepada Palestina dan Israel serta pihak-pihak terkait lainnya, untuk menangani isu utama yakni diakhirinya pendudukan agar kekerasan tidak terus-menerus berulang. (Viva.co.id, Jum'at 21 Mei 2021)

Melihat isu pergantian kepemimpinan Israel maupun ajuan perdamaian sejatinya tidak bisa menjadi angin segar bagi kaum muslimin. Kita harus menepis adanya harapan dari pergantian pemimpin, karena siapapun yang memimpin Israel tetaplah memiliki makar dan tujuan yang sama yakni menguasai tanah suci milik kaum muslimin. Mereka pun menginginkan 'pembersihan' atas kaum muslim. Meski manis sebagai oposis, namun tetap saja kepentingan terselubung akan diutamakan.

Kemudian mengenai ajuan perdamaian, jelas ini adalah cara pandang yang bathil. Konflik menahun yang sudah jelas dipicu atas penjajahan Israel, justru dibawa ke meja perundingan. Ini cara pandang sekuler yang memisahkan antara agama dari kehidupan, bathil sebathilnya menurut Islam. Menghadapi penjajah bukan dengan kata damai, menyelamatkan kemuliaan kaum muslim bukan dengan jabat tangan dan tanda tangan.

Pemimpin dunia Islam jelas tidak bisa diharapkan untuk atasi konflik ini. Tidak punya taring untuk mengirimkan tentara muslim ke sana. Semua ramai mengecam tapi tidak berbuat sesuatu untuk jiwa muslim yang terancam. Ini semua akibat 'hubungan gelap' antara pemimpin dunia Islam dengan Israel juga hubungan erat pemimpin muslim dengan negara adidaya. Semua membuat tak berdaya.

Alih-alih kirim tentara, justru pemimpin muslim mengaminkan solusi dua negara. Alamak ! Ini merupakan kesesatan berfikir atas menyelesaikan konflik. Andai dulu Belanda hadir di Indonesia dan menduduki sebagian besar wilayah Indonesia, apakah mungkin juga diakhiri dengan solusi dua negara? Padahal, jelas siapa yang menjadi penjajah.

Solusi dua negara memang kerap jadi perbincangan internasional, dengan memerdekakan Palestina dan Israel dengan wilayah masing-masing. Miris ! Ketika dua negara ini dibentuk internasional, maka apakah ada jaminan Israel tidak melakukan genosida lagi? Sedangkan kita tahu, pengakuan kemerdekaan secara de facto dan de jure saja tidak menjadi acuan atas penjajahan. Sehingga, makin besar peluang Israel untuk menjajah kelak atas nama konflik dua negara.

Kemudian, solusi dua negara ini secara tidak langsung melanggengkan penjajahan barat atas kaum muslim dalam naungan "nation state" atau negara kebangsaan. Betapa gegap gempita negara adidaya menyaksikan negeri-negeri muslim makin terpecah belah menjadi negara-negara kecil yang 'merdeka'. Nasionalisme masih merasuk dalam diri kaum muslim apabila solusi dua negara ini diaminkan.

Sudah seharusnya seluruh umat Muslim di seluruh dunia termasuk Pemimpin muslim mengembalikan Palestina sebagai tanah Kaum Muslimin kembali. Umat Islam seluruh dunia harus bersatu untuk merebut kembali tanah Palestina dari penjajah zionis Yahudi. Tidak ada pilihan lain selain ini.

Masalah Palestina bukan sekadar masalah kemanusiaan yang bertentangan dengan HAM atau nilai-nilai kemanusiaan, tapi ini adalah masalah Islam dan seluruh Kaum Muslim. Sebab, tanah Palestina adalah tanah kharajiyah milik Kaum Muslim di seluruh dunia. Statusnya tetap seperti itu sampai hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang berhak menyerahkan tanah kharajiyah kepada pihak lain, apalagi kepada perampok dan penjajah seperti Yahudi Israel.

Oleh sebab itu, sikap yang seharusnya kaum muslim lakukan terhadap Israel yang telah merampas tanah Palestina adalah sebagaimana yang telah Allah SWT perintahkan, yakni perangi dan usir. Sebagaimana dalam Surah at Taubah ayat 14 : "Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman"

Kita mesti membangun jiwa militansi dalam diri kita sebagai pejuang syariah dan Khilafah sebagai Junnah kaum muslimin. Karena penyelesaian tuntas masalah ini tidak cukup hanya dengan mengirimkan donasi atau doa semata. Akan tetapi harus diiringi dengan mewujudkan kekuasaan Islam yang berlandaskan akidah dan syariat Islam. Yang akan membebaskan Palestina kembali ke pangkuan muslim.

Hanya Khilafah yang menjadi pelindung umat secara hakiki. Khilafah akan melancarkan jihad terhadap siapa saja yang memusuhi Islam dan Kaum Muslim. Tentu dengan kekuatan jihad pula Khilafah akan sanggup mengusir Israel dari tanah Palestina. Wahai pemimpin dunia Islam ! sadarlah dan bebaskan tanah Palestina dalam bingkai persatuan umat Islam yang agung Khilafah Islamiyyah.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Posting Komentar

0 Komentar