Krisis Pangan dan Konflik Mengorbankan Umat Mulia

Oleh : Masrina Sitanggang (Mahasiswa dan Aktivis Dakwah UINSU)

Salah satu bidang kebutuhan pokok yang paling urgent dalam kehidupan adalah bidang pangan. Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan untuk melanjutkan kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan individu. Karena demikianlah fitrah yang sudah Allah gariskan kepada setiap makhluk bernyawa tidak terkecuali manusia.

Namun adalah hal yang sangat disayangkan ketika suatu negara tidak mampu memberikan hak para rakyatnya termasuk ketersediaan bahan pangan yang cukup. Seperti halnya Suriah yang saat ini beritanya sedang booming diberbagai media sosial. Bukan saja untuk mendapatkan makanan yang bergizi. Bahkan untuk memperoleh makanan sebagai penyambung hidup saja sulit diperoleh, yang bahkan tidak lagi mempertimbangkan nilai gizi yang terkandung di dalamnya.

Berdasarkan studi yang diterbitkan Universitas Humboldt pada 2020, disebabkan konflik berkepanjangan, Suriah kehilangan 943 ribu hektar lahan pertanian antara tahun 2010 dan 2018. Depresiasi mata uang Suriah yang parah, juga memengaruhi daya beli warga di seluruh negeri. Hal ini membuat warga yang beralih menjadikan roti sebagai makanan utamanya pun bertambah.

Hingga Februari 2021, Program Pangan Dunia, setidaknya 12,4 juta warga dari 16 juta warga Suriah mengalami kerawanan pangan. Jumlah ini bertambah 3,1 juta dari tahun lalu. World Food Programme (WFP) juga memperkirakan 46 persen keluarga di Suriah telah mengurangi jatah makanan harian mereka, dan 38 persen orang dewasa telah mengurangi konsumsi pangan mereka, agar anak-anak mereka memiliki cukup makanan.

Didalam sistem kapitalisme sekuler memang akan senantiasa dijumpai kesenjangan dimana-mana. Hal ini wajar saja terjadi di sistem saat ini yang memang peraturannya bukan berasal dari Islam. Melainkan berasal dari kecerdasan manusia yang mengesampingkan aturan Rabbnya. Ketika manusia diberi kewenangan untuk membuat aturan sesuai akalnya, sudah pasti ia akan membuat aturan sesuai dengan apa yang disenanginya dan belum tentu disenangi oleh individu yang lain. Tanpa tau konsekuensi dan mudharat yang akan diperoleh setelah memutuskan suatu hal.

Di sistem ini juga, negeri-negeri Islam terkotak-kotak oleh sekat nasionalisme. Sehingga kondisi  kaum muslimin disuatu negeri akan menjadi urusan dan  tanggung jawab penuh pemerintah yang ada ditempat tersebut. Adapun ketertindasan minoritas muslim diberbagai negeri seakan tidak mengusik pikiran para pemimpin negeri muslim di daerah lain. Bisa dilihat dengan cara mereka yang hanya bisa mengecam tanpa adanya penurunan militer. Kalaupun ada yang terjun kesana, mereka hadir atas panggilan jiwa masing-masing individu tanpa keterlibatan negara. Padahal sejatinya kaum muslim itu ibarat satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit maka anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya.

Bukan hanya di Suriah, banyak dibelahan bumi ini yang kekurangan makanan dan tidak terekspos oleh media. Namun kaum muslimin yang mengetahui hal ini hanya bisa mendoakan dan memberikan sedekah berupa sembako untuk mereka. Hal ini sebenarnya hanyalah solusi jangka pendek. Sedangkan untuk melajutkan kehidupan dibutuhkan solusi untuk jangka yang panjang.

Satu-satunya solusi yang tepat untuk menjawab dan menangani segala problematika kehidupan adalah dengan penerapan Islam secara kaffah yang mampu mensejahterakan manusia. Yang aturan seluruhnya berasal dari Sang pencipta Manusia, dan sudah pasti mengetahui segala kebutuhan manusia serta sesuai dengan fitrahnya. Bukan hanya kaum muslim semata, Namun negara Islam akan melindungi dan mensejahterakan segala makhluk Allah yang ada dibawah naungannya. Disistem ini pulalah kaum muslimin akan disatukan tanpa adanya pemisahan dan sekat nasionalisme didalamnya.

Posting Komentar

0 Komentar