MUDAHNYA PEMANGKASAN VONIS HUKUMAN DALAM PRODUK HUKUM SEKULER

Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Sidang putusan terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/02/2021) memutuskan bahwa jaksa Pinangki Sirna Malasari divonis 10 tahun penjara dan denda 600 juta subsider 6 bulan kurungan, yang artinya jika denda tidak dibayarkan, maka diganti dengan kurungan penjara 6 bulan.

Dalam perkara ini, jaksa  Pinangki Sirna Malasari dinyatakan terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus.

Pertama, jaksa Pinangki Sirna Malasari dinyatakan terbukti menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra terkait kepengurusan fatwa di MA.

Adapun fatwa itu diurus agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani hukuman dua tahun penjara atas kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Kedua, jaksa Pinangki Sirna Malasari terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar.

Dan yang ketiga, jaksa Pinangki Sirna Malasari  dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking untuk menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa. (Kompas.com, 16/02/2021)

Tetapi jaksa Pinangki Sirna Malasari mengajukan permohonan banding yang akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada sidang banding (14/06/2021).

Vonis yang sebelumya 10 tahun penjara, kini berkurang jauh dibanding dari  putusan hakim pada tingkat pertama, yaitu menjadi 4 tahun penjara.

Dalan kutipan putusan resmi, ada beberapa pertimbangan hakim mengurangi vonis jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Pertama adalah karena jaksa Pinangki Sirna Malasari mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa. 

Kedua, bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.

Ketiga, terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.

Atas alasan itulah, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi masa hukuman jaksa  Pinangki Sirna Malasari yakni menjadi pidana penjara 4 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.

Putusan banding yang diputuskan hakim Pengadilan Tinggi DKI   ini jelas mencederai kepercayaan masyarakat atas keadilan di negeri ini. Bagaimana tidak, sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pengusung keadilan, justru malah melanggar hukum itu sendiri, dan bahkan mendapat potongan masa hukuman yang sangat besar.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyatakan,  putusan yang diberikan harusnya diperberat. Ia menilai masa hukuman yang diberikan seharusnya 20 tahun atau hukuman seumur hidup.

Kurnia menyatakan, jika dilihat dari permasalahannya, Jaksa Pinangki sudah layak mendapatkan hukuman yang berat.(Republika.com, 16/06/2021)

Akademisi Fakultas Hukum dari Universitas Andalas (UNAND) Padang, Sumatera Barat, yang sekaligus menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) UNAND, Feri Amsari mengatakan, seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari lebih berat, sebab jaksa Pinangki Sirna Malasari berstatus sebagai aparat penegak hukum.

Beliau juga melihat ada kejanggalan dari putusan hakim yang tidak memperberat hukuman tetapi malah meringankan hukum jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan mempertimbangkan status perempuan. (Republika.com, 16/06/2021).

Masyarakat kian pesimis negeri ini mampu memberantas korupsi hingga ke akar. Bahkan bukan hanya korupsi, semua  bentuk kejahatan yang terjadi tampaknya tidak mungkin bisa diselesaikan dengan sistem hukum yang diterapkan.

Itulah potret produk hukum sekuler yang tidak mampu mewujudkan keadilan dan tidak bisa memuaskan publik karena,

Kesatu, pembuat hukum dalam demokrasi sekulerisme adalah manusia yang bersifat lemah dan memiliki banyak kekurangan. Produk hukum yang dihasilkan pun pasti mengandung banyak kelemahan dan kekurangan. 

Kedua, standar yang digunakan dalam membuat UU ialah akal manusia berdasarkan suara terbanyak. Suara terbanyak bukan dari masyarakat, melainkan mayoritas anggota parlemen yang diwakili partai politik bukan mewakili rakyat. Maka, kebijakan yang diputuskan pun banyak yang tidak sejalan dengan harapan rakyat.

Ketiga, akal manusia tak akan mampu menentukan suatu perbuatan terpuji atau tercela. Termasuk tidak mampu pula menilai kejahatan atau bukan, berdampak pahala ataukah dosa, layak mendapatkan sanksi hukum ataukah tidak.

Keempat, hukum yang dibuat manusia akan sangat subjektif dan pasti membawa kepentingan para pembuatnya. Subjektivitas dan konflik kepentingan tak bisa dilepaskan ketika manusia diberikan hak sebagai pembuat hukum.

Hanya produk hukum Islam yang membawa kebaikan hakiki bagi rakyat karena, 

Kesatu, asasnya adalah akidah Islam yang melahirkan berbagai macam sistem kehidupan. Hukum yang lahir berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna dan Maha Adil, pasti mengandung kesempurnaan, kebaikan, dan keadilan untuk seluruh umat manusia.

Kedua, sumber hukum Islam sangat jelas, sesuatu yang disepakati para ulama yaitu Al-Qur’an, sunah, ijmak sahabat, dan qiyas. Kejelasan sumber hukumnya menghindarkan dari perselisihan, karena rujukannya adalah wahyu Allah SWT.

Ketiga, sistem hukum Islam sejak awal mampu mendeskripsikan perbuatan apa saja yang masuk dalam bagian kejahatan (jarimah), serta menetapkan berbagai jenis sanksinya.

Keempat, legislasi dalam sistem hukum Islam tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Hukum berasal dari Allah SWT, sehingga tidak seorang pun yang bisa dan boleh mengotak-atik, serta memanipulasi hukum.

Kelima, ada jaminan kebaikan untuk manusia, sebagaimana firman Allah SWT “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Dalam sistem hukum Islam, Syariah Islam sangat efektif dalam memberantas korupsi, baik untuk  pencegahan maupun penindakan berupa sanksi yang disebut ta'jir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya pun bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim, penjara, denda (gharamah), pengumuman pelaku dihadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati bisa digantung atau dipancung.

Berat ringannya sanksi ta'jir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada pelaku dan menjadi penghapus dosa (jawabir) di yaumul hisab nanti 

Menurut syariah Islam, ada beberapa langkah panindakan untuk mencegah korupsi.

Kesatu, rekrutmen SDM aparat negara wajib berazaskan profesionalitas dan integritas bukan berazas koneksi atau nepotisme. Rasulullah SAW bersabda "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat". (HR. Bukhari).

Umar bin Khathab pernah berkata "Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasulnya dan kaum mukminin". 

Kedua, Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khathab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya. Umar bin Khathab pernah menulis surat kepada Abu Musa Ash Asyari " Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk".

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Rasulullah SAW bersabda "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tidak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah.  Kalau tidak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah dia mengambil pembantu atau kendaraan". (HR. Ahmad).

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi aparat negara. Rasulullah SAW bersabda "Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap". (HR. Abu Dawud).

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht(haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran".(HR. Ahmad)

Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khathab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Islam menetapkan, jika seseorang memberikan teladan yang bagus, maka dia akan mendapat pahala dari orang yang meneladani nya. Demikian pula sebaliknya.

Ketujuh,  pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu mengatakan, engkau tidak berhak menetapkan itu Umar.

Begitulah Islam dalam menerapkan syariah nya dalam mencegah tindak kriminal korupsi maupun tindak kriminal yang lain. Dan hal tersebut hanya bisa diterapkan di dalam negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai negara Khilafah.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar