ORANG BIJAK TAAT PAJAK, PEMERINTAH BIJAK MENAMBAH PAJAK?

Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Kabar adanya pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sembako dan jasa pendididkan di Indonesia membuat riuh masyarakat. Masyarakat merasa adanya kebijakan itu tentu tak bijaksana dengan kondisi saat ini yang masih diselimuti pandemi. Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana tersebut. Menurut Bambang, ketika sembako dan pendidikan dikenakan PPN maka otomatis harga akan melonjak tajam yang pada akhirnya akan menaikkan inflasi di Indonesia. Seharusnya Kementerian Keuangan tidak hanya harus pandai mengolah angka tapi juga mengolah rasa. Masih banyak peluang yang bisa digarap dengan memaksimalkan potensi pajak yang sudah ada sebelum memberatkan rakyat. (Antaranews, 13/06/2021).

Berkenaan dengan kabar tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DPJ) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa berita adanya PPN sembako dan pendidikan bukanlah informasi yang berasal dari pemerintah, meski saat ini pemerintah memang sedang menyiapkan kerangka kebijakan perpajakan, termasuk perubahan pengaturan tentang PPN. (CNN Indonesia, 13/06/2021).

APBN tahun 2020 mengalami defisit 6,1% dari PDB (Produk Domestik Bruto), hal ini seperti yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Defisit APBN ini merupakan yang tertinggi selama 20 tahun terakhir. Defisit ini melonjak dari rancangan awal APBN 2020 yang hanya 1,76% dari PDB. Maka kebijakan pajak baru yang tertuang dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaaan pajak pada 2022. Dalam draf RUU KUP yang beredar, sejumlah peraturan perpajakan baru tersebut seperti penetapan PPh minimum 1% pada perusahaan merugi, menaikkan tarif PPN menjadi 12% hingga tax amnesty jilid II. 

Sumber pendapatan Indonesia sebanyak 80% adalah berasal dari pajak. Hal ini bukanlah hal aneh mengingat kita hidup di era kapitalisme. APBN negara kapitalis memang sumber utamanya berasal dari pajak yang dibayarkan rakyat. Maka bukanlah suatu hal yang mengherankan ketika Menteri Keuangan dan jajarannya akan selalu memutar otak mencari apa saja yang dapat dikenakan pajak demi pemasukan negara. Pemerintah pun dengan gigih selalu mengkampanyekan bahwa warga negara yang bijak adalah yang taat pajak. Lalu bagaimana dengan pemerintah? Apakah langkah membebankan pajak kepada rakyat adalah suatu keputusan bijak? 

Di negara kita yang kekayaan alamnya melimpah ruah, tentu jika dikelola dengan benar akan mendatangkan pemasukan luar biasa untuk negara, namun yang terjadi malah kekayaan alam tersebut dipercayakan pada pihak asing. Bukanlah kemudahan yang didapat rakyat, namun justru kesulitan yang semakin hari semakin banyak dibebankan negara. Jika kebijakan pajak terhadap sembako dan pendidikan nantinya benar diterapkan maka semakin nyata bentuk kedzaliman negara kepada rakyatnya.

Seperti dalam kapitalisme, Islam juga mengenal pajak atau dharibah. Namun dharibah bukan sumber pendapatan baitul maal atau kas negara. Jika dalam baitul maal masih terdapat harta maka semua pembiayaan ditanggung baitul maal, namun jika baitul maal kosong maka kewajiban pembiayaan ada pada kaum muslim berupa dharibah. Ketika kekosongan baitul maal sudah teratasi maka dharibah harus dihentikan. Dharibah juga tidak dibebankan kepada seluruh rakyat, melainkan hanya kepada warga yang kaya saja, itupun setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya secara proporsional. Dengan demikian, pajak dalam Islam bukanlah bentuk kedzaliman terhadap rakyat. Sabda Rasullah Shalallah Alaihi Wasaalam, “Shadaqah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya.” (HR. Bukhari).

Ketika negara berlandaskan Islam dan menerapkan Islam secara kaffah maka para pemimpin akan sangat berhati-hati dalam menentukan kebijakan untuk rakyat. Pemimpin yang berprinsip Islam akan menyadari ketika memberatkan rakyat dengan kebijakan yang diambilnya maka konsekuensi yang ditanggung kelak akan sangat pedih. Firman Allah Subnahanllah Wa Ta’ala, “Sesungguhnya dosa itu atas orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka mendapat azab yang pedih.” (QS. Asy Syura’:42).

Wallahu a’lam bishawwab.

Posting Komentar

0 Komentar