PEMBATALAN HAJI 2021 DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

Oleh : Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Rasa kecewa menghinggapi calon jemaah haji Tahun 2021. Setidaknya ini diwakili oleh pasangan suami istri (pasutri) di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Waljuki (62) dan Soleha (60) yang mengaku sedih dan kecewa batal berhaji tahun ini (news.detik.com, 8/6/2021). Pasutri asal Pantai Sari Kelurahan Panjang Baru, Pekalongan Utara itu mengaku sudah menunggu satu dekade dan sudah membeli oleh-oleh haji. 

Sebagaimana kita ketahui, keputusan pembatalan haji Tahun 2021 ini secara resmi diumumkan oleh Kementerian Agama RI (Kemenag RI) melalui Menteri agama Yaqut Cholil Qoumas pada 3 Juni 2021 yang menyatakan bahwa tahun 2021 ini tidak ada keberangkatan jemaah haji asal Indonesia. Kemenag beralasan pembatalan ini dilakukan guna menjaga dan melindungi WNI, baik di dalam maupun luar negeri (cnbcindonesia.com, 6/6/2021).

Yaqut mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 perihal Pembatalan Keberangkatan Haji tersebut. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya pemerintah untuk menanggulangi pandemi Covid-19 yang sempat mengalami lonjakan pasca libur lebaran kemarin. Dengan adanya kebijakan ini, maka jemaah haji asal Indonesia batal berangkat untuk kedua kalinya setelah larangan pertama diberikan pada 2020 lalu. Keputusan Kemenag ini mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 juni 2021 kemarin, dimana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/ 2021 M.

Selain itu, alasan pemerintah untuk membatalkan keberangkatan jemaah haji tahun ini menurutnya adalah karena Kerajaan Arab Saudi yang juga belum membuka akses layanan penyelenggara ibadah haji tahun 2021. Akibat kasus Covid-19, Arab Saudi juga belum mengundang Indonesia untuk menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji.

Tak dapat dipungkiri, keputusan pemerintah membatalkan keberangkatan jemaah haji 2021 menuai kontroversi. Di tengah polemik ini, muncul isu-isu miring soal keputusan pembatalan haji 2021. Di antaranya adalah isu dana haji, isu minim lobi, isu utang RI ke Arab Saudi, isu pemerintah yang terburu-buru memutuskan, sampai isu narasi bersembunyi di balik Covid-19 (news.detik.com, 5/6/2021). 

Namun, Pemerintah pun menepis semua isu tersebut. Selain pemerintah Indonesia, pihak Arab Saudi pun melakukan klarifikasi. Dikutip dari news.detik.com (9/6/2021) Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia Syekh Essam bin Abed Al-Thaqafi mengunjungi kantor MUI. Essam mengklarifikasi sejumlah isu terkait pembatalan jemaah haji Indonesia. Essam bersama rombongan mengunjungi kantor MUI Pusat, Selasa (8/6/2021). Ini merupakan kunjungan pertama Essam ke MUI sejak pertama kali dilantik.

Essam menegaskan pembatalan haji tak terkait dengan hubungan Indonesia dan Saudi yang kurang baik. Sebab, selama ini sejumlah kalangan menilai pembatalan haji karena masalah diplomasi. Masalah pembatalan keberangkatan jemaah haji Indonesia tidak ada kaitannya dengan hubungan baik yang sudah terjalin antara Saudi dan Indonesia. Tidak ada pula hubungannya dengan penggunaan merek vaksin tertentu dan produsen tertentu seperti yang selama ini berkembang di media," kata Essam seperti dalam keterangan tertulis di situs MUI, Rabu (9/6/2021).

Selain itu, kata Essam, pembatalan haji tak terkait dengan penggunaan merek vaksin tertentu. Essam menjelaskan Saudi saat ini belum mengirimkan undangan haji ke negara lain, termasuk Indonesia. Ini juga sekaligus membantah kabar bahwa Saudi melarang jemaah haji Indonesia.

"Beredar kabar bahwa Arab Saudi melarang jemaah haji Indonesia, kabar itu tidak benar. Saya tegaskan sampai hari ini, Arab Saudi belum mengumumkan bagaimana prosedur haji dan apa pun terkait dengan penyelenggaraan haji tahun ini, termasuk belum ada satu pun negara yang mendapat persentase kuota dan izin haji tahun ini," kata Essam.


Penyelenggaraan Ibadah Haji dalam Pandangan Islam

Allah Swt. telah menetapkan haji sebagai fardu a'in bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah Swt. menyatakan dalam Al-Qur’an,

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran [03]: 97)

Nabi saw. bersabda,

Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Mengenai syarat wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, ada lima: (1) Islam; (2) berakal; (3) balig; (4) merdeka (bukan budak); (5) mampu. Mampu itu sendiri dijelaskan dalam hadis Nabi, meliputi dua: (1) bekal (az-zad); (2) kendaraan (ar-rahilah). (HR ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin ‘Umar) (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 650).

Bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, maka saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji. Jika karena satu dan lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikannya, maka dia dinyatakan tidak berdosa karena telah berazam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya. Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, dia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).

Terkait dengan kewajiban menunaikan ibadah haji ini, hendaknya negara memfasilitasi dan berusaha mempermudah pelaksanaannya. Negara harus bertanggung jawab penuh terhadap terlaksananya kewajiban agama umat. Jangan sampai ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terhambatnya kewajiban tersebut. Negara harus berupaya semaksimal mungkin untuk memastikan terlaksananya kewajiban haji oleh rakyat dan menghilangkan hambatannya. Pertanyaannya, sudahkah negara Indonesia berupaya maksimal? 


Penyelenggaraan Haji

Selain masalah hukum syariat yang terkait dengan syarat, wajib, dan rukun haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada masalah hukum ijra’i yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu (Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah) dan tempat (Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah, termasuk Madinah) tertentu, maka dibutuhkan pengaturan yang baik oleh negara.

Hukum ijra’i, sebagai bentuk pengaturan, yang notabene merupakan derivasi dari hukum syariat, tentu tidak boleh menabrak hukum syariat itu sendiri. Sebagai contoh, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syariat, khususnya ketentuan tentang usia balig. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan.

Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional.  Oleh karena itu, menurut Ustadz Hafidz Abdurrahman, dalam Islam ditetapkan bahwa khilafah sebagai pelaksana syari’at, sekaligus satu kesatuan negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:

Pertama,  membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah.

Kedua, Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah—Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.

Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut, atau udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda.

Pada zaman Sultan Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah—Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. 

Keempat, pengaturan kuota haji dan umrah. Kelima, Pembangunan infrastruktur Makkah—Madinah. Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah.

Secara khusus, khalifah akan menyampaikan khutbah Arafah di Masjid Namirah, dan memimpin wukuf para jemaah. Di Arafah, negara akan memasang fasilitas sound sistem yang memadai, termasuk layar raksasa di beberapa titik, sehingga seluruh jemaah haji bisa menyaksikan dan mendengarkan khotbah Arafah Khalifah.

Pesan Khalifah ini merupakan pesan penting yang akan mereka bawa ke negeri mereka masing-masing. Dengan begitu, hanya ada satu khutbah saat wukuf, yaitu Khutbah khalifah, bukan khutbah sendiri-sendiri. Satu bahasa, bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi negara.

Pada kesempatan tersebut, para jemaah pun bisa menyampaikan syakwa (pengaduan) kepada khalifah, terhadap para kepala daerah mereka masing-masing, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah Umar terhadap para walinya. 

Berdasarkan paparan tentang kewajiban haji dan bagaimana pelaksanaannya oleh negara khilafah, maka hendaknya kita berusaha menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam pengelolaan dan penyelenggaraan ibadah haji. Jangan sampai asas kehidupan yang digunakan adalah sekularisme, yang memisahkan kehidupan agama dengan negara.

Wallahu a’lam bishshawab

Posting Komentar

0 Komentar