Oleh : Andi Pangeran (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik)
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita nasional yang dilansir oleh Kompas. Orang nomor 1 di Indonesia yakni Jokowi baru saja meminjam uang sebesar 500 juta dolar AS yang diajukan Pemerintah Indonesia dan disetujui oleh Bank Dunia (World Bank). Utang baru ini dipakai untuk memperkuat sistem kekuatan nasional. Beberapa diantaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien virus corona (Covid 19), tempat tidur rumah sakit, penambahan medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi Covid-19. Selain itu pinjaman dari Bank Dunia juga dipakai Pemerintah Jokowi untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.
Pada 10 Juli 2021 lalu, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan Pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dolar AS. Sehingga total utang baru yang ditarik oleh Indonesia yakni sudah mencapai 900 juta dolar AS atau setara dengan Rp. 13,04 Triliun. Anehnya uang yang digunakan negara untuk penanganan Covid-19 tidak bisa diaudit dan tidak bisa juga dituntut hukum karena dalam UU Nomor 1 tahun 2020 pasal 27 ayat 1 menjelaskan " biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara".
Ayat 2 berbunyi "anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan".
Ayat 3 berbunyi "segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara".
Pasal tersebut sangat berbahaya karena bisa melegitimasi. Ketika aparat pemerintah menggunakan uang negara terkait penanganan Covid-19 tidak bisa digugat secara pidana, perdata, maupun di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Ketika melakukan penyelewengan biaya pun aparat negara tidak bisa dipidana karena UU Nomor 1 tahun 2020 pasal 27 ayat 2 sudah menjelaskan.
Jika Undang-Undang ini tidak direvisi maka bisa dipastikan para koruptor yang bertopeng kesehatan akan terus gencar menyuarakan Covid-19 sebagai penyakit yang berbahaya dan akan terus di propagandakan dalam media massa maupun media elektronik. Lantas ini semua akan membahayakan psikologis masyarakat lantaran mereka memandang Covid-19 ini berbahaya dan mematikan. Disinilah peran para tikus berdasi memainkan perannya, meminjam hutang kepada Bank Dunia berkedok kesehatan (Covid-19) dengan dalih menyelamatkan masyarakat dan keamanan nasional.
Lantas bagaimana Islam dalam konstitusi Khilafah menyelesaikan permasalahan ini?, tentu berbeda halnya dengan Demokrasi-Sekulerisme yang diterapkan hampir seluruh negara saat ini. Yang pertama Islam tidak akan meminjam uang kepada Darul Kufur (negara kafir), karena umat Islam mempunyai Baitul Maal (APBN Negara Khilafah). Ini didapatkan dari pengelolaan Sumber Daya Alam dan penerimaan Zakat dari kaum muslim. Disinilah yang membedakan Islam dengan Demokrasi-Sekulerisme, masyarakat tidak akan dituntut untuk membayar biaya rumah sakit. Dan ini pernah terjadi dimasa Khilafah Umayyah (Umar bin Abdul Aziz), sejarah telah mencatat bahwa hanya Islam lah satu-satunya solusi untuk Indonesia saat ini. Dan Islam tidak hanya memberikan solusi parsial melainkan global.
Note : terkait pengelolaan Sumber Daya Alam Islam mempunyai metode tersendiri, yang pasti berbeda dengan Demokrasi-Sekulerisme
0 Komentar