Oleh : Imas Royani
Sungguh pemikiran yang dangkal bila menganggap Garuda Indonesia bisa diselamatkan dengan penolak ukuran atau benchmarking seperti kasus-kasus maskapai penerbangan di beberapa negara. Salah satunya dengan mendapatkan pinjaman dana atau penyuntikan modal dari pemerintah dimana dana tersebut diperoleh dari pinjaman riba. Bukan rahmat yang didapat, malah tamat riwayat. Seperti yang akan dilakukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Langkah tersebut akan diambil lantaran income perusahaan lebih besar pasak daripada tiang.Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memaparkan, utang perseroan mencapai Rp70 triliun dan bertambah Rp1 triliun setiap bulannya. (Sindonews.com).
Padahal dampak buruknya telah diketahui oleh Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo yang mengatakan bahwa, proses restrukturisasi terhadap utang bukan tanpa risiko. Garuda bisa bangkrut jika dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, dan tidak mencapai kuorumrestrukturisasi sehingga akan muncul persoalan-persoalan hukum. (detik.com)
Sebetulnya Garuda dan BUMN lainnya rugi karena salah orientasi, sehingga kinerjanya diukur dengan ukuran untung rugi sebagaimana korporasi swasta. Sedikit saja terjadi kerugian, langsung gagasan utama yang dituju adalah berutang. Hal ini tidaklah aneh bagi negara-negara yang mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme. Cara ini dianggap ampuh untuk memulihkan perekonomian nasional.
Padahal utang negara sudah menggunung. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah mencapai Rp6.527,29 triliun pada April 2021. Angka ini setara 41,18 % produk domestik bruto (PDB). Komposisi utang pemerintah didominasi oleh surat berharga negara (SBN) domestik, yakni sebesar Rp4.392,96 triliun. Adapun SBN valuta asing (valas) tercatat sebesar Rp1.268,58 triliun. Selain SBN, terdapat utang pemerintah berupa pinjaman yang didominasi oleh pinjaman dari luar negeri sebesar Rp865,74 triliun. Utang tersebut jika ditambahkan dengan utang BUMN, perbankan dan nonperbankan yang akan ditanggung negara jika gagal bayar yaitu sebesar Rp2.143 triliun. Maka, total utang publik sekarang akan mencapai Rp8.504 triliun. (databoks.katadata.co.id).
Jika saja Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini dikelola sendiri, bukan diserahkan pengelolaannya kepada korporasi, semua itu akan mampu menutupi besarnya anggaran belanja pemerintah. Sehingga, tak perlu lagi APBN bertumpu pada utang. Semua itu adalah aturan main tata kelola ekonomi kapitalisme yang melegalkan korporasi besar untuk bisa memiliki SDA tanpa batasan. Sistem ekonomi kapitalis pula yang memposisikan negara hanya sebatas regulator. Negara tidak boleh melindungi SDA dan rakyatnya, bahkan negara didorong untuk menjadi jembatan yang memuluskan kepentingan asing atas negeri jajahannya.
Menarik apa yang disampaikan salah seorang hakim mahkamah agung Amerika, Wiliam Douglas pada tahun 1962. Ia mengatakan mengenai alasan negeri-negeri berkembang tetap berutang pada Amerika walau pada kenyataannya utang tersebut semakin memiskinkan negaranya, yaitu karena pejabat-pejabatnya mendapatkan manfaat dari Utang Luar Negeri (ULN). Lihatlah, bagaimana kekayaan para pejabat makin tinggi di tengah binasanya rakyat karena kelaparan.
Selain bahaya empiris yang telah disebutkan, ULN ini pada faktanya berbasis riba (interest). Telah jelas dalam Al-Qur’an bahwa riba itu haram. Maka, mengambil ULN apa pun alasannya, menjadi haram.
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, dari Jabir ra., Nabi saw. bersabda, “Rasulullah saw. melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim).
Semua yang terlibat dalam aktivitas riba akan mendapatkan dosa. Siksanya tidak main-main karena riba termasuk golongan tujuh dosa besar. Sebuah hadits meriwayatkan, “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Seharusnya, pendanaan negara bertumpu pada apa-apa yang telah ditetapkan syariat. APBN dalam sistem Khilafah yang disebut Baitulmal, telah terbukti kuat dan stabil. Pendanaan proyek-proyek pembangunan dalam Khilafah tidak bersumber dari utang dan pajak, melainkan dari tiga pos penerimaan yang sudah ditetapkan syariat: Pos fai dan kharaj, pos kepemilikan umum dan pos sedekah.
Rasulullah Saw. mengelola perekonomian dengan mendistribusikan zakat kepada delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan tidak diberikan kepada selain golongan tersebut, serta tidak digunakan untuk mengatur urusan negara. Beliau membiayai pemenuhan kebutuhan masyarakat dari fai’, kharaj, jizyah dan ganimah. Semua sumber pendapatan negara itu sangat memadai untuk mengatur pengelolaan negara serta penyiapan pasukan militer. Negara tidak pernah merasa memerlukan tambahan harta selain itu.
Pendapatan negara tersebut akan diperoleh setiap tahun. Sehingga, kas negara tidak akan kosong. Kalaupun terpaksa ada kekosongan, akan dipungut pajak dari orang kaya dan muslim saja. Jadi, tidak memberatkan bagi masyarakat lainnya. Dengan begitu, negara tidak perlu berutang.
Selain itu, sistem keuangan Islam tidak mengharuskan neraca berimbang. Jika pengeluaran yang tidak perlu bisa ditekan, akan ada sisa anggaran pembangunan. Sisa ini akan disimpan dan dipakai pada tahun mendatang untuk keperluan penting lainnya. Dengan begini, kas negara bisa saja surplus, sebagaimana yang pernah terjadi pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pembelanjaan dan pengembangan harta negara hanya boleh dilakukan pada usaha-usaha yang dibolehkan syariat Islam. Negara dilarang membelanjakan dan mengembangkan harta pada sektor-sektor yang diharamkan Allah Swt., semisal bekerja sama dengan asing dengan memakai utang riba; ataupun privatisasi milik umum atau negara untuk kepentingan para kapitalis, bukan rakyat.
Adapun harta milik negara adalah izin dari pembuat hukum yaitu Allah Swt. atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara, seperti harta ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, ‘ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara. Harta tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan yang menjadi kewajiban negara untuk mengatur dan memenuhi urusan rakyat, seperti menggaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik dan lain sebagainya.
Terhadap harta milik umum, negara tidak boleh memberikan pokok atau asalnya kepada seseorang, meskipun seseorang boleh memanfaatkan harta milik umum tersebut berdasarkan kesertaan dan andil dirinya atas harta tersebut. Sementara, terhadap harta milik negara, negara berhak memberikannya kepada individu atau sekelompok individu rakyat. Atas dasar itu, negara boleh memberikan harta kharaj kepada petani saja untuk memajukan pertanian dan perkebunan mereka. (Kitab Muqadimmah ad-Dustur).
Sedangkan air, garam, tambang minyak dan harta milik umum lainnya tidak boleh diberikan kepada seorang pun dari rakyat. Harta yang juga termasuk kategori milik umum ialah fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat secara luas, di antaranya sarana beribadah, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Juga jalan-jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas umum lainnya, seperti listrik, komunikasi, transportasi, pengolahan limbah, laut, sungai, kanal dan tempat penyaringan air.
Besarnya peran korporasi dalam negara, membuka peluang penjajahan ekonomi atas negeri kaum muslim. Maka, tidak ada jalan lain untuk atasi kerugian BUMN yang berlapis-lapis, kecuali hanya dengan menerapkan Islam sebagai solusi praktis.
Sangat jelas Islam menawarkan sistem keuangan yang lebih baik, serta menjanjikan terlepas dari utang riba. Masih mau bertahan dengan sistem keuangan kapitalis?
Wallahu'alam bishshowab.
0 Komentar