TERCECERNYA NILAI KELUARGA DALAM SISTEM KAPITALISME

Oleh : Waryati (Pemerhati Kebijakan)

Istilah Marital Rape kini tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Pasalnya, dalam RUU KUHP memasukan definisi pemerkosaan termasuk pemerkosaan suami terhadap istrinya, begitu juga sebaliknya, diancam kurungan penjara 12 tahun.

"Marital Rape (Perkosaan dalam Perkawinan) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 supaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu "tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan," kata Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto dalam diskusi Publik RUU KUHP di Hotel JS Luwansa, dikutif detiknews, Senin (14/6/2021).

Ketika seorang istri sedang tidak berhasrat atau tidak mau melakukan hubungan suami istri, dalam hal ini suaminya tetap menginginkannya, maka suami tersebut terkategori sebagai pemerkosa istrinya. Dengan demikian, istri tersebut boleh mengadukan perbuatan suaminya kepada pihak berwajib dan memidanakan suaminya. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 479 RUU KUHP poin (1) yang menyebutkan, setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Kontroversi mengenai revisi UU KUHP ini pun menyeruak. Ada yang menganggapnya berlebihan dan mengada-ada, ada pula yang setuju. Perselisihan tentang  menyikapi suatu persoalan akan terus terjadi, selama akar masalah tidak terpecahkan dan cara pandang atau ideologi yang digunakan berbeda. Ketika cara pandang ini berbeda, tentu akan melahirkan pendapat yang berbeda pula. Entah itu menentukan benar dan salah, atau menilai suatu kesalahan dan menjadikannya sebagai sebuah kejahatan. Semuai ini erat kaitannya dengan ideologi yang dianut sebagai alat ukurnya.

Hubungan suami istri adalah hubungan yang dibangun berlandaskan cinta dan kasih sayang. Diikat dengan tali pernikahan dan masing-masing memiliki tanggung jawab. Suami merupakan pemimpin keluarga. Memiliki tugas sangat penting dalam keluarga. Seorang suami bertanggung jawab untuk menjaga, merawat, memelihara, dan menjamin kebutuhan istri dan seluruh anggota keluarga lainnya.

Begitupun seorang istri, adalah ma'mum bagi suaminya. istri memiliki tugas untuk melayani suami dengan penuh keikhlasan dan rasa cinta. Merawat keluarga, mendidik putra/putrinya, dan memastikan urusan rumah tertangani dengan baik. Kepatuhan seorang istri terhadap suaminya merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. 

Adapun mengenai pelayanan batiniah istri kepada suaminya, maka sifatnya wajib. Islam melaknat istri yang menolak suaminya dalam hal berhubungan badan. Tentu seorang suami pun harus peka dengan kondisi istrinya. Kala istri tidak enak badan atau sedang sakit, maka suami harus ridha dan memaklumi istrinya. Karena di dalam Islam, seorang suami harus mendatangi istrinya dengan cara yang ma'ruf. Dengan demikian, terciptalah hubungan suami istri yang harmonis. Satu sama lain saling memahami kondisi, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi persoalan.

Asas atau ideologi yang diterapkan saat ini, berpengaruh besar terhadap pemikiran umat. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, kebebasan berfikir dan berprilaku menjadi sesuatu yang diagungkan. Saat terjadi perbedaan persepsi dalam banyak hal, perasaan dijadikan salah satu dasar tolok ukur untuk menilai suatu perbuatan, tanpa mengaitkannya dengan perintah syariat. Pantaslah, jika kewajiban yang bernilai pahala bisa dikatakan sebagai tindak pemaksaan. Pada akhirnya nilai kewajiban dibenturkan dengan menilainya hanya dari sisi perasaan saja.

Islam dan syariatnya, telah mengatur kehidupan suami istri sedemikian rupa. Kewajiban suami atau istri jika ditunaikan dengan baik, maka akan diganjar pahala. Hubungannya bukan sekadar teman hidup yang bermakna sempit, seperti bawahan dan atasannya. Akan tetapi, hubungan suami dan istri memiliki makna yang mendalam, yaitu untuk menyempurnakan separuh agama. Setiap ketaatan yang dilakukan masing-masing pasangan sesuai tugas dan kewajibannya akan bernilai pahala. Pernikahan adalah hubungan yang didasarkan pada perintah Allah. Dengan pernikahan, maka naluri kasih sayang terhadap lawan jenis dapat tersalurkan dengan baik, sesuai perintah-Nya.

Selama aturan yang digunakan masih sistem demokrasi kapitalisme, sebanyak apapun revisi UU mustahil menghasilkan kebijakan tepat. Karena dalam sistem kapitalisme, manusialah yang membuat hukum. Ketika manusia yang membuat aturan, maka manusia akan cenderung untuk mempertahankan egonya atau kepentingannya ketika membuat hukum. Atas dasar ini, setiap aturan yang lahir dari sistem kapitalisme meniscayakan terjadinya kontroversi.

Islam sebagai ideologi yang memiliki seperangkat aturan komprehensif, hendaknya dijadikan alternatif sebagai dasar untuk membuat hukum. Karena aturan Islam berasal dari Sang Maha Pengatur, di dalamnya tak mungkin terdapat pertentangan. Allah Maha Mengetahui kebutuhan hambanya tuk menjalani tugas sebagai makhluk, yaitu dengan menyiapkan segala aturan hidup yang tertuang dalam Al Quran dan As Sunnah.

Wallahua'lam.

Posting Komentar

0 Komentar