Oleh : Hilda Herlina
Tak Ada Riuh Riang Idul Fitri bagi Muslim Uighur di China, begitulah salah satu judul berita yang tertera di salah satu media besar di Indonesia. Tepat tanggal 13 Mei 2021 seluruh umat muslim merayakan salah satu hari besar keagamaan yang sering disebut hari Raya Idul Fitri. Momentum dimana semua merayakan kemenangan setelah satu bulan lamanya melakukan ibadah puasa.
Setiap tahun momen inilah yang paling ditunggu umat Muslim, tahun tahun sebelumnya riak kebahagiaan tergambar jelas pada tiap tiap jiwa yang merayakan, kemeriahan gema takbir terdengar dimana mana, mengagungkan nama suci sang pencipta Allah Swt.
Tapi dua tahun terakhir ini perayaan hari besar itu tak seriuh tahun tahun sebelumnya diakibatkan wabah Covid-19 yang menyerang tiap negara. Tapi ternyata, suasana Idul Fitri yang berbeda seperti tahun tahun sebelumnya lebih dulu saudara kita rasakan di belahan bumi lain.
Uighur tempat saudara seiman kita menetap ternyata mengalami tekanan akibat kebijakan pemerintahan yang ada.
Sejumlah gambar satelit dan analisis visual oleh Earthrise Alliance kepada AFP menunjukkan ada 36 masjid dan bangunan keagamaan lainnya yang diruntuhkan atau dihapus oleh pemerintah setempat sejak 2017.
Sedangkan pada masjid yang masih berdiri, para jemaat harus melewati metal detector untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Yang Maha Kuasa, atau sekadar menjalankan keyakinan mereka.
"Situasi di sini amat ketat, membuat saya deg-degan," kata seorang Muslim yang meminta disamarkan demi alasan keamanan. "Saya tidak pergi ke masjid lagi. Saya takut,"
Begitulah kira kira pernyataan seorang warga Minoritas Muslim di Xinjiang. Dahulu juga beredar kabar dimana saudara muslim kita disana mengalami tekanan berupa penganiayaan fisik kejam pemerintah setempat supaya keberadaan Minoritas tak semakin berkembang.
Ternyata, masih banyak kebijakan lain yang begitu menindas saudara kita, diantaranya penghancuran masjid, dilarang menggunakan simbol keagamaan seperti memelihara janggut, memakai khimar, dilarang memiliki anak lebih dari satu bagi Minoritas muslim, serta dipaksa menikah dengan warga lokal dan masih banyak lagi tekanan lain yang mereka hadapi.
Saudara saudara kita yang tertekan rupanya bukan hanya Minoritas Muslim Uighur saja, saudara kita di Palestina sudah bertahun tahun terbelenggu perang tak berkesudahan, saudara kita di Rohingya, Kashmir dan masih banyak lagi yang mengalami tekanan tak berperikemanusiaan.
Sebenarnya apakah yang bisa membebaskan mereka?
Sebagian orang berpendapat bahwa "Bagaimana jika kita menjemput saudara saudara kita di Xinjiang sana agar terbebas," atau "kita bisa memberikan batuan berupa tentara untuk melawan Penjajahan saudara kita di Palestina."
Pendapat di atas tidak akan bisa begitu saja membebaskan belenggu saudara kita, jika diibaratkan penyakit kita harus mencegah daripada mengobati, seperti itu pula saudara kita. Kita harus menghentikan penyebabnya bukan hanya masalahnya.
Lalu solusinya apa?
Selama satu bulan berpuasa, kaum mukminin memiliki perisai dari perbuatan maksiat. Oleh karenanya, Rasulullah saw. menyebut puasa sebagai junnah (perisai). perisai.
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنَ النَّارِ
“Shaum itu perisai dan benteng yang kokoh dari api neraka”. (Hadis riwayat Ahmad: 9214, Shohih Hasan)
Istilah junnah (perisai) juga digunakan untuk Imam atau Khilafah di tengah-tengah umat.
" Sungguh Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya” (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).
Hadist di atas adalah solusi tepat untuk memusnahkan "penyebab virus" yang membelenggu saudara saudara kita. Dimana, bukan hanya memusnahkan virus dan penyebabnya tapi juga memberikan berkah yang luar biasa bagi seluruh alam ini. Wallahu 'alam bishowwab.
0 Komentar