Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md. (Pegiat Literasi, Member AMK)
Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjadi sorotan publik setelah menyunat hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Padahal Pinangki sebagai aparat penegak hukum menjadi makelar kasus (markus) dengan terbukti melakukan korupsi, pemufakatan jahat dan pencucian uang. Adilkah hukuman itu?
Dikutip dari detiknews.com, 20/6/2021, Hukuman Pinangki Sirna Malasari disunat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun. Potongan hukuman itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Serta bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Pinangki disebut jaksa terbukti menerima suap USD 450 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA). Pinangki juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TTPU).
Penyunatan hukuman Pinangki pun menuai kecaman. Banyak pihak heran dengan putusan hakim Pengadilan Tinggi.
Kasus Jaksa Pinangki bukti cederanya rasa keadilan di masyarakat, dan menunjukkan makin kuatnya mafia peradilan di Indonesia. Sistem hukum hasil buatan manusia yakni demokrasi terbukti rusak dan merusak, mengandung banyak kelemahan, rentan dipermainkan dan selalu digunakan sesuai kepentingan, sehingga tak mungkin diharapkan bisa mencegah kejahatan dan menciptakan rasa keadilan.
Rasa keadilan telah menjadi barang langka di negeri ini. Lembaga peradilan yang tidak menghasilkan keadilan, layaknya pisau tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hanya berpihak kepada penguasa dan pemilik modal. Jadilah praktik dan pelaksanaan hukum di negeri ini mayoritas dijalankan layaknya hukum rimba, siapa yang kuat maka dialah pemenangnya. Melalui praktik suap menyuap, hadiah, kolusi dam nepotisme menjadi permainan akrab di tengah kehidupan masyarakat saat ini. Seolah tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh dan sudah tidak ada lagi hukum yang melindungi agama dan rakyat kecil.
Di samping itu, hukum peradilan yang digunakan memang bersumber dari penjajah Belanda yang faktanya hanya hukum buatan manusia, tentu saja kualitas hukum ini sangat terbatas pada akal manusia. Padahal manusia tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan kepentingan. Jadilah hukum buatan manusia berubah-ubah dan sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk mempengaruhi proses legislasi hukum.
Berbeda jauh dengan sistem hukum dan peradilan Islam jika diterapkan secara total dalam semua aspek kehidupan, yang akan memberikan keadilan yang sempurna karena berasal dari Sang Mahasempurna, Allah Swt. Peradilan Islam akan membuat jera pelaku kejahatan karena menanggung hukuman yang setimpal. Bersifat sebagai zawajir (pencegah), dapat mencegah manusia dari mudahnya melakukan kejahatan. Dan bersifat sebagai jawabir (penebus), penebus dosa di akhirat, jika sanksi hukum telah dilaksanakan oleh negara, maka pelaku kejahatan di akhirat kelak tidak akan mendapatkan balasan atas kejahatannya itu.
Dalam sistem Islam juga akan melakukan langkah-langkah kuratif untuk mencegah praktik korupsi:
1. Negara wajib merekrut sumber daya manusia aparat negara berasaskan profesionalitas dan integritas.
2. Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.
3. Negara wajib memberikan gaji dam fasilitas yang layak. kepada aparatnya.
4. Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.
5. Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara.
6. Adanya keteladanan dari pemimpin.
7. Pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Indahnya Islam bila diterapkan secara total di segala aspek kehidupan. Hanya Islam sistem yang sahih, sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa.
Wallahu a'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar