KHUTBAH IDUL ADHA : KETAATAN TOTAL PADA SYARIAT ALLAH



KHUTBAH PERTAMA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اللهُ أكْبَرُ × ٩
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً،
 لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
الَلَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى حَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، الَّذِّي بَلَّغَ الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ.

الله أكبر ×٣ ولله الحمد

Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh
Hari ini adalah hari raya bagi umat Islam. Pada hari ini pula, umat Islam dari berbagai penjuru dunia melakukan ibadah haji di Tanah Suci. Selain mereka, disyariatkan mengerjakan shalat ‘id dan menyembelih hewan kurban. 

Idul Adha sekarang ini kita rayakan masih dalam kondisi pandemi yang belum berakhir. Tingkat yang terinfeksi virus makin meningkat, dan penanganan makin tidak jelas arahnya. Demikian juga dengan ketidak-kepercayaan publik yang makin tinggi akibat salah urus sejak awal. Pada level keimanan, kita wajib mengimani bahwa Allah sajalah yang kuasa menghidupkan dan mematikan manusia. Semuanya ada dalam genggaman Allah, baik sakit maupun kesembuhan, baik kebaikan maupun keburukan.

Orang beriman juga harus meyakini bahwa semua hal termasuk musibah datangnya dari Allah. Oleh karena itu, Allahlah tempat meminta segala sesuatu. Saat ditimpa musibah, setiap muslim wajib bersabar. Semua urusan ia serahkan kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
«مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ»
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun: 11).

Pada saat ditimpa musibah, kaum muslimin harus bertobat, meningkatkan ibadah, banyak berdoa, dan melaksanakan berbagai amalan nafilah lainnya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekarang ini adalah momen untuk kembali kepada Allah dengan taubat yang sesungguhnya, baik secara personal maupun kolektif. Wujud taubat adalah dengan taat atas semua ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang dicontohkan dalam peristiwa monumental, ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihimassalam.

الله أكبر ×٣ ولله الحمد
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh
Di hari ‘Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1442 H ini, kita mengenang kembali peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim dalam menaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyembelih putranya, Ismail. Bagi Nabi Ibrahim, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya, yang telah lama didambakan. Namun di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepadanya untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
«فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى»
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (QS. ash-Shaffat: 102).

Terhadap perintah itu, Nabi Ibrahim mengedepankan kecintaan yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta, dan dunia. 

Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail ‘Alaihissalam dengan penuh kesabaran. Ismail pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
«قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ»
“Wahai Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. ash-Shaffat: 102)

الله أكبر ×٣ ولله الحمد
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut seharusnya menjadi teladan bagi kita saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban, namun juga teladan dalam berjuang dan berkorban demi terwujudnya ketaatan kepada hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala secara kaffah. Ketaatan total pada syariat Allah tanpa syarat dan tanpa tapi. Sungguh, kini banyak hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diabaikan, khususnya syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.

Teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihimassalam itu, sungguh sangat berarti bagi kita dalam menjalankan perintah Allah untuk menerapkan syariah-Nya secara kaffah. Termasuk kewajiban memutuskan perkara dengan hukum-Nya sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
«وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ»
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan-Nya. Perintah tersebut juga berlaku bagi kita, umat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mafhum dari ayat ini, hendaknya umat Islam mewujudkan seorang hakim (penguasa) sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah.
 
الله أكبر ×٣ ولله الحمد
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh
Di Indonesia, dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, rakyat makin terhimpit kemiskinan, harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi, sembako rencana akan dikenai pajak, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, layanan kesehatan makin mahal, budaya barat yang merusak semakin marak, hukum perundangan seperti UU Omnibus Law yang untungkan korporasi dilegalkan, dan korupsi kian merajalela. Termasuk korupsi Bansos Covid-19. Sungguh sangat memalukan. Korupsi ini melibatkan tiga pilar demokrasi sekaligus yakni yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Ini bukti yang ke sekian kalinya bahwa sistem ini melahirkan korupsi. 

Sungguh, pangkal keterpurukan ini bersumber pada satu hal yakni penyimpangan terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketidaktaatan kita pada syariat Allah. Secara kolektif, umat masih berpaling dari Al-Qur’an. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Thaha 124:
«وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى»
 “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”. (QS. Thaha: 124)

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323).
Sedangkan penghidupan yang sempit tidak lain adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri muslim sekarang.

الله أكبر ×٣ ولله الحمد
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh
Kondisi tersebut tak boleh berlangsung terlalu lama lagi. Umat Islam harus mewujudkan ketaatan penuh dengan penerapan syariah Islam secara kaffah, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 208:
 «يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ» 
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208)

Penerapan syariat sebagai wujud ketaatan total kepada Allah Ta’ala mengharuskan adanya pemimpin yang adil yang menerapkan sistem yang adil pula, yakni sistem Islam. Kepemimpinan Islam seperti itu juga berfungsi sebagai penjaga (hâris) bagi kaum muslimin, baik agama, darah, harta, maupun kehormatan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»
“Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, di belakangnya orang-orang berperang, dan kepadanya orang-orang mencari perlindungan.” (HR. Bukhari-Muslim).

Imam an-Nawawi menyatakan, hadits itu bermakna bahwa Imam merupakan benteng/tameng karena ia melindungi umat dari serangan musuh terhadap kaum muslimin, memelihara hubungan kaum muslimin satu sama lain dan menjaga kekayaan kaum muslimin.

الله أكبر ×٣ ولله الحمد
Ma’âsyira al-Muslimîn rahimakumul-Lâh 
Spirit sami’nâ wa atha’nâ sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘Alaihimassalam jelas membutuhkan pengorbanan. Dalam konteks ini, kita patut bertanya pada diri kita sendiri: sejauh manakah pengorbanan kita dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, melaksanakan kewajiban penerapan syariah Islam, dan memutuskan perkara dengan apa yang telah Allah turunkan? 

Jika kini kita bersegera, dan dengan ringan memenuhi perintah berkurban, padahal itu menurut jumhur fukaha hukumnya sunnah, maka semestinya kita lebih bersegera, dan dengan lebih ringan menerapkan syariah Allah sebagai wujud ketaatan kepada-Nya. 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala segera menurunkan pertolongan-Nya kepada kaum muslimin. Semoga pula kita termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah, dan berkorban penuh keikhlasan dalam rangka mewujudkan kehidupan Islam. Hasbunal-Lâh wa ni’mal wakîl ni’ma al-mawlâ wa ni’ma al-nashîr, lâ haula wa lâ quwwata illa bil-Lâh. 
[]

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم.


KHUTBAH KEDUA

اللهُ أكْبَرُ × ٧
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً، لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ،
لاَ إِلَهَ إِلاًّ اللَّهُ، اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا.

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلي وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآء مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

اَللَّهُمَّ يَا مُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُهْزِمَ اْلأَحْزَابِ اِهْزِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ وَصَلِيْبِيِّيْنَ وَاَنْصَارَهُمْ وَرَأْسُمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَاِشْتِرَاكِيِّيْنَ وَشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَسُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ.

اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ.
 
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته





Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar