Moderasi Agama Menghilangkan Ketaatan Total Pada Syariat


Oleh : Habibah A.M.Keb

Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan webinar internasional bertajuk ‘Konsep Islam Wasathiyah: Nilai, Prinsip, Indikator dan Penjelasannya’. Pakar dan ulama dari dalam dan luar negeri turut hadir dalam agenda tersebut.

Webinar ini dibuka oleh Ketua MUI bidang hubungan luar negeri dan kerja sama internasional Sudarnoto Abdul Hakim. Narasumber webinar, antara lain Pendiri Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA) Fazal Ghani Kakar, Syekh Aziz al-Kubaity al-Idrisi al-Hasani dari Maroko, Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masykuri Abdillah dan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sekar Ayu Aryani.

Sudarnoto menyampaikan, program moderasi atau wasathiyah Islam sangat penting dalam upaya mencegah radikalisme dan intoleran di tengah berkembangnya ekstremisme dalam memahami ajaran agama. Sikap ekstrem dalam beragama semakin mencemaskan karena mengoyak persaudaraan dan persatuan baik antarumat beragama maupun internal umat Islam.(republika.co.id/ahad/27 juni 2021)

Program moderasi beragama ini sudah sering disampaikan pemerintah, dengan terstruktur, sistematis serta massif. Bahkan disampaikan dalam beberapa forum, agenda moderasinya dimasukkan ke berbagai arah pandang, misalnya dimasukkan dalam pendidikan, kehidupan rumah tangga, bertetangga (social), dll. Jika kita terlusuri sekilas memang program moderasi beragama ini tidak ada yang salah, Karena tujuannya pun seolah baik yaitu mencegah radikalisme. Hanya saja sampai saat ini pengertian radikalismenya pun belum jelas, mereka melontarkan makna radikalisme pada seseorang yang taat dalam beragama. Mana mungkin seorang muslim yang taat dikatakan radikalisme dan ekstrem ?

Jika dicermati, gagasan memoderasi keluarga muslim sesungguhnya bukan gagasan yang tunggal. Gagasan ini lahir bersamaan dengan pengarusan gagasan moderasi Islam yang didukung penuh oleh lembaga internasional PBB dan negara adidaya, khususnya Amerika.

Adalah Rand Corporation, lembaga think tank Amerika yang menggagas proyek Building Moderate Muslim Network di dunia Islam. Proyek ini dianggap sebagai strategi jitu untuk membangun dan melanggengkan kepemimpinan Amerika atas dunia tanpa menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif bagi tampilan wajah bopeng Amerika sendiri.

Laporan Rand Corporation berjudul Building Moderate Muslim Network yang terbit tahun 2007, menyebutkan karakter muslim moderat adalah muslim yang mendukung demokrasi dan pengakuan internasional atas hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan beribadah, menghargai keberagaman, menerima sumber hukum nonagama, menentang terorisme dan semua bentuk kekerasan–sesuai tafsiran Barat.

Cara yang direkomendasikan adalah dengan melibatkan para penguasa muslim dan kelompok-kelompok masyarakat yang bisa dirangkul untuk membangun tradisi keberagamaan baru. Yakni tradisi Islam moderat atau sekuler yang mau menerima nilai-nilai Barat seperti sekularisme, pluralisme. Lalu di saat yang sama diharapkan mampu menggeser paham Islam ideologis dan kelompok pengusungnya yang berpotensi memimpin kebangkitan Islam.

Itulah target proyek Building Moderate Muslim Network yang dijalankan Amerika atas rekomendasi Rand Corporation. Yakni agar umat Islam kian terjauhkan dari sumber kekuatannya berupa pemahaman Islam ideologi. Lalu mereka pun dipecah belah berdasar pemahaman mereka terhadap Islam.

Indonesia termasuk dari bagian target moderasi beragama ini, kita bisa lihat para penguasa mendekati kalangan ulama dengan agenda islam moderat ini agar disampaikan ditengah-tengah masyarakat. Hingga timbul berbagai aturan yang aneh misal, para dai harus bersertifikasi, materi pengajian ditentukan. Belum lagi contoh-contoh lainnya, misal dalam tatanan keluarga, antara suami istri  bukan syariat yang menjadi asas dalam berumah tangga tapi lebih pada kompromi dan kesetaraan. Dalam pendidikan, seorang guru tidak bisa mengedukasi murid dengan baik misal untuk memakai hijab sya’i karena terhalang paham moderasi beragama.Maka moderasi agama ini sangat berbahaya.

Dalam islam seorang Muslim dituntut untuk membuktikan keimanannya dengan menunjukkan ketundukan penuh pada ketentuan hukum yang sudah ditetapkan Allah dan Rasul SAW. Bahkan tidak boleh baginya ada pilihan lain, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata” (TQS al Ahzab[33]:36).

Keimanan yang sudah diyakini seorang mukmin akan diikuti dengan sikap ketaatan total tanpa syarat. Demikianlah karakter orang beriman yang dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘kami mendengar dan kami patuh’. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (TQS An Nur[24]: 51).

Ketaatan sempurna inilah yang sekarang dirusak paham moderasi agama dengan penyematan gelar ekstrem pada siapa pun yang sungguh-sungguh ingin menerapkan ajaran agama. Boleh jadi ketaatan masih dibiarkan selama sesuai dengan versi mereka.

Umat semestinya menyadari bahwa justru dengan Islamlah mereka akan dimuliakan. Sebagaimana sejarah mencatat bahwa saat Islam menjadi sistem kehidupan mereka mampu tampil sebagai kekuatan di dunia. Bahkan lahir dari keluarga-keluarga muslim sosok-sosok generasi terbaik yang memahami visi penciptaan mereka di muka bumi. Yakni sebagai hamba Allah yang mengabdi sebagai pemakmur bumi. Hingga saat Islam diterapkan, belasan abad kaum muslim tampil sebagai pionir peradaban.

Ya, Islam adalah ajaran yang baik bagi kehidupan manusia sekaligus baik bagi peradaban dunia. Hukum-hukumnya yang terkait individu, keluarga, masyarakat maupun bernegara, semuanya akan membawa kemaslahatan dan samawa hakiki yang dibutuhkan oleh seluruh manusia. 

Wallohu A’lam Bishowab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar