ADALAH KENISCAYAAN KESENJANGAN SOSIAL DALAM KAPITALISME


Oleh : Imas Royani

“Hijau merimbuni daratannya, biru lautan di sekelilingnya. Itulah negeri Indonesia, negeri yang subur serta kaya raya, seluruh harta kekayaan negara hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya. Namun hatiku selalu bertanya-tanya, mengapa kehidupan tidak merata. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Negara bukan milik golongan dan juga bukan milik perorangan. Dari itu jangan seenaknya memperkaya diri membabi buta. Masih banyak orang hidup dalam kemiskinan, sementara ada yang hidupnya berlebihan. Jangan dibiarkan adanya jurang pemisah yang makin menganga antara miskin dan kaya. Bukankah cita-cita bangsa mencapai negeri makmur sentosa. Selama korupsi semakin menjadi-jadi, jangan diharapkan adanya pemerataan. Hapuskan korupsi di segala birokrasi demi terciptanya kemakmuran yang merata”. 

Bagi masyarakat Indonesia mungkin tidak asing dengan rangkaian bait lagu karya H. Roma Irama di atas. Lagu gambaran Indonesia berpuluh-puluh tahun yang lalu. Namun sayang sampai saat ini bukannya membaik, malah semakin parah. Bergantinya pemimpin tidak mampu menghapuskan  Indonesia dari berbagai ketimpangan termasuk kesenjangan sosial.

Sebuah fakta terungkap bahwa orang kaya di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi COVID-19. Dibandingkan total 270 juta penduduk, jumlah orang kaya di Indonesia setara dengan 0,1% populasi (katadata.co.id, 21/7/2021)

Melansir data dari lembaga keuangan Credit Suisse,  jumlah penduduk dengan kekayaan bersih 1 juta dolar AS atau lebih di Indonesia mencapai 171.740 orang pada tahun 2020. Angka tersebut melonjak 61,69 persen year on year (yoy) dari jumlah pada tahun 2019 yang berjumlah 106.215 orang. Lembaga tersebut juga mencatat, jumlah orang Indonesia sangat kaya atau dengan kekayaan tercatat lebih dari 100 juta dollar AS pada tahun 2020 mencapai 417 orang atau naik 22,29 persen dari tahun sebelumnya.

Laporan Credit Suisse nampaknya memberikan bukti bahwa kesenjangan antara rakyat Indonesia semakin melebar. Terlihat dari data indeks gini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks gini adalah indikator yang mengukur tingkat pengeluaran penduduk yang dicerminkan dengan angka 0-1. Semakin rendah angkanya, maka pengeluaran semakin merata. BPS mencatat jumlah orang miskin bertambah menjadi 10,14% atau 27,54 juta pada Maret 2021. Orang miskin menurut BPS adalah penduduk dengan pendapatan kurang dari Rp454.652 per bulan. Artinya, penduduk dengan pendapatan di atas angka tersebut, Rp500 ribu misalnya, tidak dikategorikan miskin, padahal harga bahan pangan dan non pangan makin melambung tinggi.

Sementara itu, ekonom senior Indef Faisal Basri dalam Twitter pribadinya, @FaisalBasri menyebutkan, naiknya jumlah orang kaya dan orang super kaya tersebut merupakan hal yang kontras, apalagi pandemi Covid-19 mengakibatkan perekonomian gonjang-ganjing dan jatuh ke dalam jurang resesi. Jumlah orang dewasa dengan kekayaan di atas US$ 1 juta juga naik tajam sebesar 61,7%.

Shorrock Anthony, Ekonom dan penulis Laporan Global Wealth Report mengatakan bahwa pandemi memberikan dampak jangka pendek yang cukup besar pada kondisi pasar global. Namun hal ini hanya berlaku hingga akhir Juni tahun lalu. Shorrocks menjelaskan bahwa sejak akhir Juni 2020 lalu, kondisi pasar global perlahan mulai mengalami peningkatan setelah sebelumnya jatuh terdampak pandemi. Hal inilah yang dirasa menjadi alasan mengapa sejumlah orang tetap dapat meningkatkan nilai aset yang mereka miliki. (finance.detik.com, 23/07/2021).

Nannette Hechler-Fayd’herbe, kepala investasi di Credit Suisse, mengatakan bahwa fenomena ini dapat terjadi karena adanya penurun suku bunga yang dilakukan oleh banyak bank-bank sentral di seluruh dunia. Dengan adanya penurunan suku bunga dari bank sentral di tiap-tiap negara dapat membantu meningkatkan harga saham dan harga rumah selama masa pandemi. Peningkatan harga saham dan harga rumah inilah yang menjadi alasan utama sejumlah orang dapat meraup ‘untung’ semasa pandemi.

Senada dengan itu, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyebut bahwa orang kaya makin kaya lantaran mereka memiliki kemampuan berinvestasi, terutama di sektor komoditas seperti pertambangan dan perkebunan dan sektor digital. Sehingga, kenaikan pendapatan mereka lebih cepat. Selain itu, banyak orang kaya yang menikmati insentif perpajakan dan memiliki kemampuan untuk manajemen risiko terhadap penurunan aset.

Bagai bumi dan langit. Masyarakat Indonesia yang miskin dan rentan miskin justru semakin tertimpa kemalangan. Pekerja buruh murah banyak di-PHK dan UMKM banyak yang kolaps, menjadikan penghasilan banyak kepala keluarga nyaris kosong. Ditambah kebijakan PPKM yang makin menyulitkan mereka untuk mengais rezeki, menjadikan angka kemiskinan tak terkendali. 

Akar terjadinya kesenjangan sosial ini adalah sistem kapitalisme yang terbukti telah mewujudkan kemiskinan massal pada individu, keluarga dan negara. Mekanisme pasar bebas yang menjadi tubuh sistem ekonomi kapitalisme menjadikan uang sebagai pengendali satu-satunya distribusi barang dan jasa.  Mekanisme pasar bebas pulalah yang meniadakan peran negara dalam mengurusi rakyatnya. Negara menyerahkan seluruh kebutuhan rakyat pada swasta, akibatnya pelayanan diberikan sesuai dengan harga yang dibayarkan.  Subsidi pada rakyat dianggap beban negara, sementara pajak dari rakyat malah dijadikan tumpuan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Sistem kapitalisme mencetak kesenjangan permanen yang rentan melahirkan problem sosial yang begitu besar di masyarakat. Kemiskinan, kelaparan, kriminalitas, tingginya angka perceraian, stunting, kenakalan remaja, generasi putus sekolah, dll. 

Di sisi lain, sistem kapitalisme malah memfasilitasi kerakusan pemilik modal untuk melipatgandakan kekayaan pribadinya. Sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis riba, menjadikan kekayaan makin menumpuk hanya dengan penurunan suku bunga. Ditambah adanya jebakan utang negara makmur pada negara-negara berkembang menjadikan kebijakan dalam negeri disetir korporasi multinasional. 

Hal ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa penyebab utama terjadinya ketimpangan adalah pada buruknya distribusi kekayaan. Sedangkan distribusi kekayaan tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Oleh karena itu, peran sentral pemerintah menjadi faktor kunci terselesaikannya permasalahan ini. Pemerintahlah yang memiliki kewajiban menjamin kebutuhan umat.

Kriteria miskin dalam Islam bukan dihitung rata-rata, melainkan dihitung satu per satu kepala, apakah sudah tercukupi kebutuhan primernya, yaitu sandang, pangan dan papan. Kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah pun akan dipermudah dan difasilitasi dalam bekerja, baik itu akses pada modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja.

Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhinya, yang wajib membatu adalah kerabatnya. Pendataan yang baik disertai perangkat pemerintah yang amanah akan meniscayakan pelaksanaan sensus tersebut. Jika seluruh kerabatnya tak mampu memenuhi kebutuhan si pulan maka kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara (Baitul Mal).

Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambil dari pos zakat, sesuai dengan surah At-Taubah: 60. Apabila zakat tidak mencukupi, negara wajib mencarinya dari pos lainnya di Baitul Mal. Apabila pos lainnya pun kosong, kewajiban menafkahi orang miskin beralih pada kaum muslim secara kolektif.

Secara teknis bisa dilakukan dengan dua acara: Pertama, cara langsung yaitu kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR Ath-Thabrani)

Kedua, dengan skema dharibah (pungutan insidental) kepada orang laki-laki muslim yang kaya, hingga kebutuhan umat terpenuhi. Jika sudah terpenuhi, pungutan tersebut tidak diperlukan lagi dan negara akan menghentikan skema ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَفِيْۤ اَمْوَا لِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَا لْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta”. (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 19)

Oleh karena itu, kemiskinan akan bisa teratasi dan ketimpangan pun tak akan terjadi. Dalam masyarakat Islam, orang kaya akan bahu-membahu membantu masyarakat miskin untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Sehingga, dalam kondisi pandemi, kelebihan harta si kaya akan mengalir pada masyarakat miskin, bukan pada bursa saham atau lainnya.

Negara pun sebagai pihak sentral, disertai dengan bank data yang akurat dan pejabat yang amanah, akan mampu menghimpun dana dari para agniya (orang kaya)  jika Baitulmal defisit. Sehingga, tidak harus berutang apalagi pada negara kafir harbi fi’lan yang telah jelas menyebabkan mudaratnya.

Dalam sistem ekonomi Khilafah yang tangguh, mekanisme kepemilikannya akan mengharamkan Sumber Daya Alam (SDA) dikuasai asing. Hal ini menjadikan kas negara kuat dan stabil sehingga defisit anggaran akan jarang terjadi.

Pada masa pandemi, Negara Khilafah akan fokus pada upaya penyelamatan nyawa manusia, bukan penyelamatan ekonomi seperti saat ini. Kekayaan negara yang melimpah akan mampu membiayai penanganan wabah. Negara bertanggung jawab sepenuhnya pada kesembuhan dan kebutuhan pasien baik yang dirawat di Rumah Sakit maupun yang menjalani isolasi mandiri, tenaga kesehatan pun dijamin kesejahteraannya, ditunjang dengan penyediaan obat-obatan dan alat kesehatan yang memadai sehingga pandemi akan cepat berakhir dan kehidupan umat manusia kembali normal. 

Maka tidak ada perkara yang lebih penting dan mendesak dalam upaya menyelamatkan umat manusia melainkan bersegera menegakkan Khilafah. 

Wallahu’alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar