Benarkah Demokrasi Berjasa Atasi Pandemi?


Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)

Pemerintah Tunisia dipandang berhasil mengambil langkah strategis dalam penanganan pandemi. Melalui Presiden Kais Saied Tunisia dikabarkan akan menerapkan keadaan darurat nasional akibat pandemi Covid-19 dengan memberhentikan perdana menteri, membekukan parlemen dan merebut kendali eksekutif (republika,01/08/2021). Kebijakan yang diambil oleh Presiden Tunisia tidak terlepas dari rekomendasi Amerika Serikat sebagai upaya penanganan pandemi sekaligus antisipasi penyelamatan demokrasi di Tunisia. Keputusan Presiden Tunisia ini telah memunculkan aksi turun ke jalan menolak diberlakukannya kondisi tersebut.

Demokrasi digadang menjadi harapan dunia bagi terwujudnya solusi mengatasi pandemi Covid-19. Tidak hanya di Tunisia, demokrasi juga menjadi parameter capaian kebijakan di negeri Muslim yang lain seperti Indonesia. Sayangnya, Indonesia dinilai gagal dalam menghasilkan kebijakan yang mampu mengatasi pandemi secara efektif. Dilansir dari data yang dikeluarkan oleh Bloomberg pada 27 Juli 2021, Indonesia menempati urutan ke-53 dari 53 negara di dunia dalam hal ketahanan terhadap Covid-19. Dengan kata lain Indonesia terkatagori negara paling buruk dalam menangani Covid-19 di dunia (tribunnews.com31/07/2021).

Demokrasi dan solusi atas pandemi seolah menjadi padu bagi para pegiatnya hari ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat membuka Forum Demokrasi di Bali pada 10 Desember 2020. Menlu mengungkapkan bahwa pandemi memberikan kesempatan memikirkan kembali cara kita mempraktikkan demokrasi (kompas.id,10/12/2020). Pertaruhan nilai demokrasi dinilai acapkali bersinggungan dengan kondisi pandemi yang mengharuskan adanya pembatasan atas kebebasan hak individu. Namun demikian demokrasi dinilai telah berhasil berdadaptasi dengan kondisi pandemi sehingga layak untuk menjadi acuan dalam penanganannya.

Memahami urgensitas demokrasi alam menuntaskan persoalan dunia perlu diarahkan pada asas yang mendasarinya. Kita ketahui demokrasi lekat dengan cara pandang sekuler yang kapitalistik. Tidak heran karena demokrasi lahir dari konsep sekulerisme yang memisahkan pengaturan interaksi manusia dengan aturan Pencipta. Demokrasi meletakkan suara manusia sama mulianya dengan suara Tuhan, sebagaimana jargon mereka vox populi vox dei. Karena itu adanya dorongan untuk kembali pada demokrasi tidak lebih dari upaya untuk mempertahankan kepentingan segelintir kalangan, yakni penguasa dan pengusaha.

Demokrasi hakikatnya tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengatasi pandemi. Demokrasi hanya menisbatkan kebijakan yang lahir guna mengakomodir kepentingan para kapitalis (baca: korporat). Sebab demokrasi tegak atas cara pandang kapitalisme. Terbukti ketika kita melihat bentuk kebijakan yang dihasilkan dalam mengatasi pandemi senantiasa berkutat pada sektor ekonomi. Berkaca pada bagaimana Indonesia menangani pandemi dengan mengajak masyarakat berdamai dengan pandemi melalui kebijakan new normal atau adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat menjadi level 4. Melalui beberapa program tersebut nampak bagaimana tuntutan sektor ekonomi menjadi pertimbangan utama.

Demokrasi tidak terbukti berhasil apalagi berjasa dalam mengatasi pandemi. Sebaliknya demokrasi telah gagal menunjukkan kepada masyarakat dunia tentang urgensitas memelihara nyawa manusia. Hal ini sangat berkebalikan dengan Islam sebagai sebuah ideologi. Syariat Islam sangat menjaga keberlangsungan hidup manusia. Dalam salah satu hadits Nabi Saw bersabda, dari al-Barra’ bin Azib ra. yang artinya, “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak” (HR. An-Nasa’I 3987 Turmudzi 1455 dan dishahihkan oleh Al-Albani). Melalui konsep ini lahirlah mekanisme penjagaan terhadap nyawa manusia dalam segala aspek, seperti pemberlakuan sistem sanksi dan optimalisasi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Dalam pandangan Islam pemimpin adalah raa’in atau penanggungjawab atas urusan rakyat. Islam hanya mengizinkan para pemimpin mengatur urusan rakyat dengan menggunakan hukum Pencipta, Allah SWT. Karena sebab itu sangat wajar jika kita melihat bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab sangat totalitas dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya ketika terjadi krisis Ramadah pada masa pemerintahannya. Kondisi krisis yang menimpa sekitar wilayah Hijaz telah menjadikan Umar berpikir keras untuk menjaga keselamatan rakyatnya.

Khalifah Umar bin Khattab adalah gambaran seorang raa’in dalam pemerintahan Islam. Umar mampu memosisikan dirinya sebagai pelayan rakyat dengan kebijakan di tengah krisis yang berhasil menyelamatkan banyak nyawa manusia. Umar memerintahkan para gubernur mendistribusikan bantuan, seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang diriwayatkan membawa 4 ribu ekor unta pembawa makanan. Umar juga mendirikan darul daqiq bagi masyarakat yang membutuhkan stok kebutuhan pokok mereka secara cuma-cuma. Semua langkah ini diambil oleh Khalifah Umar sebagai konsekuensi kepemimpinannya.

Sesungguhnya Islam sebagai sebuah ideologi telah memberikan solusi menyeluruh atas persoalan hidup manusia. Termasuk dalam menuntaskan kondisi krisis berupa bencana alam maupun wabah. Islam yang mewujud dalam pengaturan hidup manusia mampu menjaga keberlangsungan hidup semata-mata karena itu adalah bagian dari perintah Allah Swt yang wajib untuk ditunaikan. Disinilah titik keampuhan syariat Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi lain seperti kapitalisme. Kapitalisme yang telah melahirkan konsep demokrasi tidak mampu menyudahi krisis manusia bahkan memperparah kondisi yangada dengan bertambahnya jumlah korban nyawa. Jika demikian, masihkah kita menganggap demokrasi berjasa atasi pandemi?



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar