Korupsi Makin Menggurita, Buah Sistem Kapitalisme yang Membabibuta


Oleh : Silmi Dhiyaulhaq (Praktisi Pendidikan)

Publik dibuat geger dengan pemberitaan Emir Moeis, mantan terpidana kasus korupsi yang ditunjuk sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). PIM merupakan anak usaha salah satu BUMN yaitu PT Pupuk Indonesia (kompas.com, 6/8/2021). Dahulu, ia divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta karena terbukti menerima suap senilai 357.000 dollar AS pada 2014. Kemudian saat ini ia diangkat menjadi komisaris sejak 18 Febuari 2021 oleh para pemegang saham PT PIM. Profil mantan anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P itu telah dimuat di laman resmi PT PIM. 

Hal ini menuai pro kontra karena dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-03/MBU/2012 Pasal 4 disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi dewan komisaris BUMN berbunyi, “Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu lima tahun sebelum pencalonan.” Dalam peristiwa ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ini merupakan pertanda ketidakpedulian pemerintah terhadap pemberantasan korupsi (kompas.com, 7/8/2021). 

Peristiwa tersebut memang semakin membuktikan bahwa sistem yang sedang diterapkan ramah terhadap koruptor. Alih-alih dihukum berat, eks koruptor malah dihadiahi jabatan komisaris BUMN. Inilah kemudian yang membuat rakyat semakin putus asa dengan pemberantasan korupsi di negeri ini.  Dilansir dari Gatra.com (8/8/2021), Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei terkait persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh fakta bahwa korupsi menjadi masalah yang paling memprihatinkan menurut pandangan masyarakat. Sebanyak 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir (news.detik.com, 8/8/2021).

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan mengungkapkan tingkat keprihatinan korupsi di tengah masyarakat Indonesia mendapat penilaian yang tinggi. Sebanyak 44 persen masyarakat menilai sangat prihatin, 49 persen prihatin dan 4 persen tidak prihatin, sementara 2 persen tidak menjawab. Menurut survei LSI, isu korupsi berada di urutan pertama dari enam kategori lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menilai korupsi merupakan problem besar bagi bangsa. 

Penerapan sistem demokrasi memang tak bisa dinafikan sebagai akar penyebab kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan lainnya. Sistem ini tegak di atas asas sekularisme yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan. Khususnya agama Islam yang memiliki keyakinan bahwa manusia tidak bisa lepas dari aturan Sang Pencipta, kelak semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan.

Di pihak lain, sekularisme yang menjadi landasan demokrasi juga tak bisa lepas dari paham liberalisme, pluralisme dan permisivisme. Paham-paham inilah yang menyebabkan sistem kontrol sosial menjadi mandul. Bahkan hukum yang ada pun bisa ditafsirkan sesuai kepentingan, termasuk kepentingan melanggengkan kekuasaan dan menutup kecurangan.

Di dalam Islam, ketaatan pada aturan Allah memang menjadi syarat sekaligus bukti keimanan. Bahkan penerapan aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan inilah yang menjamin terwujudnya kehidupan yang penuh berkah, serba bersih dan jauh dari segala bentuk kerusakan.
Dapat kita lihat bahwa pengawasan terhadap lembaga negara dalam pemerintahan demokrasi cenderung lemah, berbeda dengan Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat,  yaitu Badan Pemeriksa Keuangan.

Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Hal itu pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan. Tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara.

Dalam Islam, tidak akan ada jual beli hukum. Seluruh lembaga dan perangkat hukumnya hanya menggunakan hukum Islam sebagai perundang-undangan negara. Ketika hukum yang dipakai adalah aturan Allah, tidak ada manusia pembuat hukum. Tidak ada pula kompromi terhadap hukum sebagaimana yang diterapkan dalam sistem demokrasi.

Sebagai contoh, pasal pembuktian terbalik jika diterapkan dengan Islam sebenarnya sederhana. Tinggal hitung kekayaan pejabat sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika terdapat kelebihan harta yang tidak wajar, si pejabat harus membuktikan dari mana harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan, itulah korupsi. Pasal itu pernah diusulkan di DPR, akan tetapi ditolak. Inilah yang dimaksud kompromi terhadap hukum dimana manusia diberi kuasa mengutak-atik hukum sesuai kepentingan mereka.

Bila demokrasi hobi korupsi, maka itu tak berlaku dengan Islam. Dilansir dari Muslimahnews.com (26/3/2019), Sistem Islam memiliki cara tersendiri dalam memberantas korupsi dari pencegahan hingga penanganan. Berikut tahapannya:

Pertama, penanaman mental individu. Sistem yang baik akan melahirkan individu yang baik. Sistem kehidupan sekuler menghasilkan pemimpin rakus, tak takut dosa, dan kerap berkhianat atas kepemimpinannya. Sistem demokrasi yang berbiaya mahal juga turut andil menyuburkan korupsi. Sementara Islam, ia akan membina setiap individu dengan ketakwaan hakiki. Ketika masyarakat dibekali dengan iman tinggi, ia akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa. Tentu saja juga didukung sistem negara yang menerapkan syariat Islam di tengah masyarakat. Individu bertakwa dan masyarakat berdakwah akan menjadi habits yang mampu menyokong negara dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana hukum Islam.

Kedua, lingkungan kondusif. Sebagaimana kita ketahui, sistem sekuler hari ini hanya menciptakan manusia-manusia minim empati, apatis, dan bengis. Maka dalam Islam, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan diberlakukan. Masyarakat bisa menjadi penjaga sekaligus pengawas terterapnya syariat. Dengan begitu, jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, mereka dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh akan tercipta seiring ditegakkannya hukum Islam di tengah mereka.

Ketiga, sistem kerja lembaga yang tidak rentan korupsi. Di sistem demokrasi, korupsi hampir merata di tiga lembaga andalannya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hukum bisa diperjualbelikan sesuai besaran suap yang diterima.

Keempat, penegakan sanksi hukum yang menjerakan. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa dan efek jera. Dengan sanksi yang berefek jera, para pelaku dan masyarakat yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama. Untuk kasus korupsi, dikenai sanksi ta’zir, dimana khalifah berwenang menetapkannya.

Demikianlah strategi Islam memangkas dan memberantas korupsi. Dengan penegakan syariat Islam secara menyeluruh, korupsi dan kriminalitas lainnya dapat dibasmi hingga tuntas. Penegakan hukum ini dapat berlaku jika negara benar-benar menerapkan Islam sebagai dasar hukum bermasyarakat dan bernegara. Itulah mengapa, selama demokrasi kapitalisme tetap dipertahankan, maka yakin, kasus korupsi tak mungkin bisa dieliminasi apalagi dihapuskan. Mengharapkan itu terjadi, laksana menggantang asap. Semua kerusakan ini hanya mungkin hilang justru jika Islam ditegakkan. Yakni saat syariah kafah yang penuh berkah diterapkan dalam naungan institusi Khilafah Islamiyyah sebagai wujud keimanan.

Wallahu’alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar