Mengembalikan Makna Hijrah


Oleh : Astriani Lydia, SS

Bulan Muharram adalah bulan yang lekat dengan momentum Hijrah. Maka banyak juga pihak yang ikut memaknai hijrah menurut persepsinya masing-masing. tak terkecuali pemerintah Indonesia. Beberapa tahun lalu ketika masih menjadi calon Presiden, Joko Widodo (Jokowi) menyerukan untuk berhijrah dari negara berkembang menuju negara maju. untuk hijrah jadi negara maju, Jokowi menyebut dibutuhkan fondasi yang kuat. fondasi yang kuat itu, kata Jokowi yakni dengan pembangunan infrastruktur yang sudah dikerjakan pemerintahannya selama 4 tahun lebih. setelah infrastruktur, proyeksi pembangunan bergeser pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). (detiknews, 28/3/2019)

Dilansir dari Sindonews.com (15/3/2021) Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPPHIPMI) Mardani H Maming mengatakan, para mantan ketua umum organisasi tersebut akan diundang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke istana untuk membahas strategi menjadikan Indonesia negara maju. Maming mengatakan, Hipmi ditantang Jokowi untuk membuat roadmap strategi pembangunan ekonomi nasional menuju negara maju. “Kalangan dunia usaha dianggap oleh Presiden lebih lincah dan lebih fleksibel dalam menyusun strategi mengingat perubahan yang sangat cepat.”  

Mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan mimpi Indonesia menjadi negara maju harus kandas apabila pada 2045 belum lepas dari jebakan negara pendapatan menengah. oleh sebab itu, momentum yang bertepatan dengan 100 tahun umur RI itu harus dimanfaatkan sebagai tenggat waktu target naik kelas menjadi negara maju. “Kalau Indonesia susah atau belum keluar dari middle income trap by 2045, mungkin akhirnya kita harus melupakan mimpi itu,” ujarnya. (CNNIndonesia, 04/08/2021)
Makna Hijrah

Hijrah secara bahasa adalah, berpindah dan keluar dari satu tempat menuju tempat lain. (M. Ali bin Nayif Asy Syahud, Al Mufashshi fi Ahkam al-Hijrah, halaman 14). Para Fuqaha lalu mendefinisikan hijrah secara syar’i sebagai keluar dari darul kufur menuju darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya berada penuh ditangan kaum Muslim. Sedangkan Darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak ditangan kaum Muslim.

Kondisi masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat jahiliah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Maka ada ulama yang menyebut kondisi saat ini sebagai “Jahiliah Modern” alias kondisi darul kufur, dilihat dari kondisi akidah/ideologi, sosial, ekonomi, dan politiknya yang berada dalam kungkungan ideologi kapitalis sekuler.

Karena itu, hijrah bukanlah sesuai apa yang di standarkan orang-orang kapitalis sekuler. Karena sesungguhnya sampai kapan pun standar yang mereka gunakan akan selalu berubah sesuai kepentingan mereka. Mereka tidak akan membiarkan neger-negeri muslim mandiri dan maju. Akan tetapi mereka akan senantiasa menjadikan negeri-negeri muslim obyek jajahan mereka. maka makna hijrah ialah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu keluar dari sistem kufur menuju sistem Islam. Sistem kapitalis sekuler saat ini nyata-nyata menimbulkan banyak malapetaka sehingga tidak mampu menopang peradaban dunia. Misal, sistem ekonomi ribawi, sistem pendidikan yang jauh dari Islam, sistem hukum/peradilan yang lebih banyak berpihak kepada pihak yang kuat, dan lain sebagainya. 

Alhasil, semangat untuk hijrah sejatinya adalah mendorong kita untuk segera meninggalkan sistem dan hukum jahiliah. Karena sistem dan hukum jahiliah adalah sistem dan hukum yang mengundang murka Allah. Sedangkan sistem dan hukum Islam adalah  hukum yang di ridhoi Allah SWT, sehingga mendatangkan berkah dari langit dan bumi. Allah SWT berfirman: Apakah hukum jahiliah yang kalian kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah, bagi kaum yang yakin? (TQS. Al Maidah: 50). Mari berhijrah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu a’lam bishshawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar