Perang Baliho Politisi di Tengah Pandemi


Oleh : Hanifah Afriani

Pemilihan presiden memang masih lama, namun para calon kandidat sudah mulai memasang baliho dimana-mana. Para calon sudah mulai tebar pesona dengan memasang foto dirinya untuk memperkenalkan kepada rakyat. Inilah yang terjadi baru-baru ini. Kita bisa menjumpai baliho tersebut di jalan raya atau tempat lainnya yang biasa dipakai untuk pengiklanan. 

Baliho para calon pilpres tersebut sangat bertebaran hampir di semua kota, bukan tanpa alasan, pasti ada maksud dan tujuan, yaitu untuk mencari empati dari masyarakat, walaupun tidak tertulis secara deskriptif calon presiden, namun disana tertulis angka 2024 yang menandakan pemilihan presiden yang akan dilaksanakan tahun 2024. 

Sejumlah politisi yang terlihat masif wajahnya di baliho-baliho di antaranya ialah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Ketiganya pun kerap masuk dalam survei sebagai calon presiden potensial di Pilpres 2024. Dalam survei yang dirilis LSI Denny JA pada 17 Juni, nama Airlangga dan Puan pun masuk sebagai calon presiden potensial di 2024. (kompas.com, 09/08/2021)


Baliho Politisi untuk Menarik Empati 

Sebenarnya, eksistensi saja tidak cukup untuk menarik empati masyarakat, terlebih lagi terdapat rekam jejak yang negatif dilakukan oleh para calon kandidat tersebut. Alih-alih untuk menarik empati masyarakat, yang ada malah makian dan protes masyarakat yang menganggap calon politisi tidak punya kepekaan terhadap kondisi rakyat dan hanya bertarung demi mendapat kursi.

Masyarakat bisa menilai sendiri, dalam keadaan ekonomi sekarang yang semakin terpuruk karena efek pandemi dan yang rakyat butuhkan adalah kesejahteraan dan peran pemerintah untuk menanggulangi pandemi. Pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari, itu yang mereka butuhkan. 

Pemasangan baliho tersebut tidak hanya mengocek biaya sedikit, bahkan sampai harus mengeluarkan biaya puluhan juta untuk sewa tempat pengiklanan baliho calon kandidat. Padahal kalau kita bayangkan, uang puluhan atau ratusan juta itu sangat berarti bagi masyarakat kecil yang sangat membutuhkan karena efek pandemi. Yang mereka butuhkan dan inginkan sekarang bukan baliho-baliho besar yang terpampang di jalanan, tapi kepedulian mereka terhadap masyarakat, aksi nyata membantu masyarakat yang membutuhkan.

Tidak heran, sistem demokrasi yang dibuat oleh manusia, menguntungkan para orang kaya, apalagi ada kerjasama antara pengusaha dan penguasa, berbagai cara dilakukan hanya untuk mendapatkan jabatan, salah satunya untuk menarik minat masyarakat memasang baliho yang melekat di jalan-jalan terdekat yang strategis dilalui masyarakat. Mereka bertarung hanya untuk mendapatkan kursi kekuasaan dan jabatan.


Sistem Demokrasi Hasilkan Politisi Pengabdi Kursi, Sistem Islam Lahirkan Politisi Pengabdi Ilahi

Sistem demokrasi yang berlandaskan pada asas sekularisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan jelas akan menghasilkan kerusakan. Dalam demokrasi, politik diartikan sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Jadi tidak heran banyak orang berlomba-lomba untuk meraih kekuasannya, bahkan menghalalkan berbagai cara hanya dirinya untuk menang dalam pemilu.

Berbeda dengan sistem Islam, politik dalam Islam diartikan sebagai Siyasah yakni  mengurusi urusan umat, sebagai pelayan rakyat yang mensejahterakan rakyat dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat agar terpenuhi dengan baik. Baik dari kebutuhan rohani dan jasmani. 

Dalam sistem Islam pemimpin sebagai junnah yaitu perisai dan pelindung rakyat. Bahkan, pada masa kepemimpinan para khalifah Islam, mereka para khalifah ketika ditunjuk atau dipilih untuk menjadi pemimpin sampai ada yang menangis dan menawarkan kepada yang lain untuk menjadi khalifah karena mereka sadar akan beratnya tanggungjawab dan kelak nanti akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT. 

Seperti kisah saat khalifah Umar Bin Abdul Aziz ditunjuk untuk menjadi khalifah, semua senang kecuali Umar sendiri. Umar naik mimbar lantas berkata, 'Wahai manusia, Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun. Sesungguhnya jabatan ini diberikan tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dan saya tidak pernah memintanya,". Umar bin Abdul Aziz meminta rakyat untuk memilih khalifah terbaik versi mereka. Namun, kecakapan dan keadilan Umar bin Abzul Aziz membuat umat Islam yang ada di masjid menolak untuk mencabut baiat. Umar kemudian duduk dan menangis, "alangkah besarnya ujian Allah kepadaku."

Selama ia menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz hidupnya jauh dari kemewahan, ia sangat sederhana, memimpin rakyat dengan adil dan bijaksana, beliau sangat dermawan dan menyayangi kaum dhuafa, bahkan kurang dari 2 tahun dalam kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz memerintah, hingga tidak ditemukan lagi orang yang layak menerima zakat, itu membuktikan bahwa semua warga negara kekhilafahan sejahtera dibawah pimpinan khalifah yang menerapkan sistem Islam. 

Kisah Umar bin Abdul Aziz di atas sangat berbanding terbalik dengan sistem demokrasi sekarang yang justru malah berlomba-lomba ingin mendapatkan kursi jabatan dan kekuasaan. Hal semacam ini harusnya menjadi cambuk bagi rakyat untuk sadar keburukan sistem demokrasi yang niscaya hasilkan politisi pengabdi kursi bukan pelayan rakyat.

Jelaslah, hanya sitem Islam di bawah naungan khilafah yang dapat mewujudkan masyarakat sejahtera, terjamin kehidupannya, terjaga akidahnya, dan ini sudah terbukti kurang lebih 14 abad Islam bisa menguasai 2/3 dunia, mensejahterakan umat manusia di bawah Sistem Islam yaitu aturan yang berasal dari Allah SWT. 

Kita sebagai umat Islam berdiam diri saja tidak cukup. Kebangkitan Islam akan hadir jika para generasi muslim bersemangat mengkaji dan mau menerapkan hukum Islam dalam kehidupan. Mari kita kaji Islam lebih dalam secara kaffah, dan berjuang demi tegaknya Khilafah. Allahu Akbar!

Wallahu’alam Bisshawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar