Politisi Pengabdi Kursi Tebar Pesona di Tengah Pandemi


Oleh: Imas Royani

Kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih jauh. Namun, para bakal kandidat sudah mulai ancang-ancang dengan memasang  baliho untuk  meningkatkan popularitas. Pakar Komunikasi UI Firman Kurniawan Sujono mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi di tempat strategis yang banyak orang berlalu lalang, baliho akan menjadi pusat perhatian publik. Akan tetapi di musim kampanye perang baliho antarpolitikus akan menjadi kejenuhan bagi masyarakat. Sehingga menurutnya, pesan yang ada di baliho tidak sampai di masyarakat, bahkan malah sebaliknya. (Detik News, 04/08/21).

Memang benar, populer saja sebenarnya tidak cukup untuk mendongkrak elektabilitas. Apalagi jika popularitasnya diiringi sentimen negatif akibat rekam jejak selama ini. Akan lebih parah lagi ketika tidak diikuti oleh kerja dan prestasi yang dapat menghasilkan citra positif. Tak pelak, tebar pesona dan upaya umbar citra itu pun bagai popularitas semu saja.

Keberadaan baliho tersebut sejatinya dinilai mendahulukan urusan pencalonan presiden ketimbang penanganan pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk. Alih-alih meraih simpati, kampanye dini itu malah menuai antipati (koran.tempo.co, 10/8/2021). Diketahui, baliho tersebut berisi pesan yang sama sekali tidak berhubungan dengan kondisi pandemi. (republika.co.id, 9/8/2021). 

Banyak kalangan menilai pemasangan baliho bukan hanya soal dugaan mencuri start kampanye, tetapi justru lebih kepada foya-foya politik mengingat harga sewa satu baliho cukup fantastis. Misalnya di Kota Bandung. Dikutip dari detik.com (6/8/2021), harga untuk memasang baliho (billboard) ukuran 4×8 meter di sana berkisar Rp15—20 juta per bulannya. Coba kalau biaya sebesar itu dipakai untuk mengatasi pandemi, misalnya untuk menyediakan pengadaan alat kesehatan atau bantuan sosial bagi masyarakat yang memerlukan. Hal itu tentu jauh lebih bermanfaat.

Begitulah politik di sistem kapitalis-sekularis.  Semua dihalalkan meskipun menuai berbagai polemik dan kontroversi. Asalkan dapat melancarkan tujuan yang dicita-citakan. Rakyat hanya diperlukan suaranya saat pemilu berlangsung. Setelah pemilu selesai tidak ada lagi suara rakyat yang didengar. Mereka pun bermanis muka hanya saat kampanye. Bila kursi kekuasaan telah diraih, bagai kacang lupa kulitnya.

Syahwat kekuasaan terlahir dari sistem politik demokrasi yang berasaskan sekularisme. Sekularisme yang memisahkan ranah agama dengan negara, membuat personal politisi tidak membawa nilai-nilai agama dalam berpolitik. Demokrasi telah menciptakan syahwat kekuasaan bersemayam begitu lama di dalam dada-dada para politisi. Previlage yang mereka dapatkan selama menjabat menjadikan penguasa tak kuasa melepasnya.

Demokrasi telah nyata melahirkan pemimpin yang bermental pedagang. Kontestasi yang begitu mahal dalam demokrasi membuka celah keterlibatan korporasi. Selain itu, sistem demokrasi pulalah yang melegalkan SDA milik umat dikuasai asing. Penguasa bermental komprador akan menjaga hegemoni negara adidaya tetap terjaga.

Inilah yang membuat umat jengah terhadap kampanye pejabat publik. Kepemimpinan mereka saat ini dinilai tidak mampu menyolusi persoalan, bahkan makin merumitkan kondisi. Jelas umat sudah tak menghendaki mereka menjadi pemimpin pada masa nanti.

Apalagi jika kita menengok ke belakang, masih segar dalam ingatan sebanyak 700-an Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) wafat secara serempak. Meskipun misteri hilangnya nyawa saat pemilu 2019 dibiarkan begitu saja, publik sudah makin mengerti, inilah kontestasi politik dalam demokrasi yang melahirkan para pemuja kursi. Mereka akan melakukan dan menyingkirkan apa pun untuk bisa menduduki.

Semestinya hal ini menjadi cambuk bagi rakyat utuk segera tersadar akan keburukan sistem demokrasi yang meniscayakan hasil politisi pengabdi kursi bukan pelayan rakyat. Manifestasi berkuasa jelas bukan aji mumpung. Apalagi yang hanya dibalut pencitraan, obral janji dan menebar dusta atau janji palsu. Demokrasilah yang melanggengkan penguasa bermental komprador, abai terhadap umat dan hanya mengejar syahwat kekuasaan. 

Demokrasi bukan sistem yang layak dipakai untuk melakukan perubahan karena demokrasi lahir dari sistem sekularisme yang bertentangan dengan Islam. Sistem yang mencampakkan aturan Allah Swt. Tidak mungkin sempurna dan menyolusi, karena hanya mengandalkan akal manusia yang lemah. Wajar seluruh problematik tidak bisa diselesaikan oleh sistem ini. Demokrasi telah nyata menyumbangkan segudang polemik bagi kehidupan umat manusia.

Berbeda dengan role model kepemimpinan Islam, sebagaimana yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab r.a.. Tidak tampak syahwat yang menggebu untuk mendapatkan jabatan sepeninggalnya Khalifah yang pertama, yakni Abu Bakar asih-Shiddiq r.a., yang ada hanyalah ketundukan Sayyidina Umar terhadap Rabb-nya untuk menjalankan amanah menjadi pemimpin ummat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. 

“Hai orang banyak semuanya. Aku diangkat mengepalai kalian. Dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku membuat kebaikan, maka dukunglah aku. Jika aku membuat kejelekan, maka luruskanlah aku. Kebenaran itu suatu amanat. Dan kebohongan itu suatu khianat. Yang terlemah di antara kalian aku anggap yang terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya. Yang terkuat di antara kalian aku anggap yang terlemah sampai aku mengambil hak si lemah dari tangannya. Janganlah seorang pun di antara kalian meninggalkan jihad. Karena kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya tidak ada kewajiban patuh kepadaku. Kini marilah kita melakukan salat. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada kalian.”

Itulah isi pidato politik Sayidina Umar sesaat setelah beliau terpilih menjadi Khalifah. Pada masa kepemimpinannya, Umar selalu mendahulukan kepentingan umat. Beliau tidak berani makan makanan yang lebih baik daripada rakyatnya, pakaian yang beliau kenakan juga hanya yang menempel di badannya dan sehelai lagi sebagai gantinya, beliau tak berani menggunakan sepeserpun harta milik umat, sungguh sosok pemimpin yang amanah yang dirindukan umat. Bahkan beliaupun mengkhawatirkan jika saja ada keledai yang terperosok di suatu jalan di Irak dan beliaupun segera memperbaikinya. Apalagi kekhawatiran beliau terhadap manusia, tentu tidak akan membiarkan umatnya kelaparan, terpuruk akibat pandemi apalagi sampai terjadi minimnya fasilitas kesehatan rakyat. 

Inilah sosok pemimpin umat yang kita rindukan, yang hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna yang aturannya berasal dari Allah yang Maha segalanya dan aturannya mampu menyelesaikan seluruh problematika umat manusia, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Hanya Allah Swt. yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. Dengan aturan Islam, potensi syahwat kekuasaan yang bisa muncul pada diri seseorang akan tertahan lalu menghilang.

Sistem Islam yakni Khilafah justru memiliki mekanisme yang membuat kepemimpinan tak menjadi sesuatu yang menggiurkan. Bahkan justru menakutkan.

Bagaimana tidak? Rasulullah saw. Pernah bersabda, “Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR Tirmidzi)

Juga bersabda, “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

Serta sabdanya, “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR Ath-Thabrani)

Allah Swt. Telah menegaskan bahwa pemimpin yang tidak amanah dan menzalimi umat tidak akan pernah mencium bau surga. Begitu pun, Allah Swt. Telah menetapkan ganjaran pahala berlimpah dan jaminan surga bagi pemimpin yang amanah menyelesaikan urusan umat.

Kedua janji Allah Swt. Ini saja sudah menyaring siapa saja yang akan menjadi kandidat, yaitu orang-orang yang benar-benar amanah dan merasa mampu menjalankannya. Terlahirlah dari sana penguasa-penguasa bervisi melayani umat dan mengabdi sepenuhnya demi meraih ridha Allah Swt.

Aturan Islam yang terperinci dan sesuai dengan fitrah manusia menjadikan pemimpin dalam Islam akan mampu mewujudkan peradaban umat manusia yang luhur. Kesejahteraan tercipta, keadilan terasa, dan ketakwaan menjadi atmosfer yang menyelimuti keseharian umat manusia. Penguasa amanah dan bervisi melayani umat hanya akan bisa terlahir dari Islam yang diterapkan secara kafah dalam sistem Khilafah Islamiah. Tidakkah kita merindukan pemimpin seperti itu?

Wallahu’alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar