Proyek Laptop Lokal, Untuk Pandemi Kian Terpental


Oleh : Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)

Berita proyek terbaru pengadaan laptop merah putih oleh pemerintah kian memanas, gelombang polemik terkait  kekhawatiran korupsi menyusul harga yang dinilai terlampau mahal yakni Rp 10 juta per unit tetapi spesifikasi yang didapat tergolong rendah pun mulai mengalun lambat namun pasti. 

Kemendikbud-Ristek pun menjadi sorotan. Masyarakat meminta  transparansi dalam proyek tersebut, mulai dari pengadaan sampai anggaran. Alasan pemerintah mengapa pengadaan laptop itu sekarang adalah dalam rangka  mempercepat penggunaan produk dalam negeri (PDN) khususnya untuk sektor pendidikan. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pun mengatakan inilah upaya  pemerintah dalam  memperkuat kemampuan riset dalam negeri untuk mendorong pembuatan laptop dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang tinggi. "Pemerintah berupaya mempersiapkan riset dalam negeri untuk meningkatkan kandungan TKDN agar dapat memproduksi laptop Merah Putih, mulai dari desain hingga pengembangannya,".

Selain sudah ada rencana pembuatan konsorsium yang berisikan perguruan tinggi (Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Gadjah Mada (UGM)) dan industri TIK untuk pembuatan laptop Merah Putih. Pemerintah juga telah menyediakan anggaran sebesar Rp 17,42 Triliun, untuk belanja produk Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada bidang pendidikan sepanjang 2021 hingga 2024. Sungguh angka yang sangat fantastis (tribunnews.com,23/7/ 2021).

Luhut berharap laptop buatan anak negeri itu bisa segera diproduksi dan dipasarkan secara komersial sehingga dapat dimanfaatkan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Meskipun Luhut mengatakan produk TIK dalam negeri pada bidang pendidikan masih rendah dibandingkan produk impor namun meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri sangat penting dilakukan guna mengurangi ketergantungan Indonesia akan barang impor, khususnya pada produk TIK. Terlebih saat ini,  di tengah masa pandemi, penggunaan produk TIK tengah melonjak sehingga peluang ini harus dimanfaatkan. "Justru momen sekarang kita lagi seperti ini, itu kita harus betul-betul dorong, jadi tidak boleh impor-impor padahal kita bisa produksi sendiri," kata Luhut. 

Enam produsen laptop dalam negeri dengan nilai (sertifikat) TKDN lebih dari 25 persen telah menyanggupi pemenuhan pengadaan laptop tahun ini. Untuk mencapai target penggunaan produk dalam negeri, Luhut mendorong pemerintah daerah membeli produk tersebut. "Pemda berkewajiban untuk mengalokasikan DAK fisik untuk membeli produk dalam negeri dan membelanjakan laptop 100 persen produk dalam negeri," imbuh Luhut. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, saat ini laptop impor mendominasi pangsa pasar Indonesia yakni 95 persen dari total permintaan rata-rata 3 juta unit per tahun. Sisanya 5 persen adalah produk laptop buatan dalam negeri.

Urgensitas Investasi Puluhan Trilyun untuk Laptop Lokal
Yang menjadi pertanyaan, " Seberapa urgen dana Rp 17,42 trilyun untuk pengadaan laptop hari ini?" Benarkah semua argumen yang diajukan para menteri di atas adalah fakta? Atau sekadar permainan kata agar proyek yang menggiurkan di kwartal terakhir tahun ini goal?

Ada tiga poin yang perlu mendapat perhatian, pertama betapa kering kepekaan penguasa hari ini, mengapa pemerintah tidak mengalihkan alokasi anggarannya untuk bansos atau sediaan medis? Malah mewajibkan daerah mengganggarkan belanja laptop ini, padahal selama ini pemerintah daerah juga babak belur menyediakan dana untuk penanganan pandemi. 

Hal ini karena skema pembiayaan pusat dan daerah sama yaitu berasal dari pajak dan utang. Dimana kedua instrumen itu bukannya meringankan beban operasional malah memperberat, sebab obyeknya adalah rakyat, sementara hari ini rakyat sengsara. Tak berpenghasilan. Pengangguran. Bahkan banyak yang meninggal saat isolasi mandiri karena buruknya sistem kesehatan negara.

Kedua, alasan untuk meningkatkan produksi dalam negeri mengapa tepat saat pandemi? Sekolah online sudah memunculkan polemik tersendiri, mulai guru yang gaptek, orangtua yang tak sabar hingga anak yang susah kosentrasi saat pembelajaran yang 100 persen berbeda dengan tatap muka. 

Belum lagi masalah kuota dan jaringan. Tak banyak keluarga di Indonesia ini yang bisa beruntung menggunakan WiFi. Sudah terlalu banyak drama fakta bagaimana saat anak didik meninggal dunia saat mencari sinyal. Atau anak yang terpaksa menjadi kuli bangunan untuk beli kuota. Dimana mas Menteri? Mengapa masih sibuk memerdekakan belajar dan terus menerus melinkkan sekolah dengan perusahaan?

Ketiga, Seringkali penguasa tidak fokus pada persoalan sebenarnya. Bagaimana dengan proyek-proyek yang sudah ada sebelumnya yang samasekali tak berguna, seperti proyek mobil SMK, Busway, pembangunan bandara yang mangkrak, ratusan jalan tol yang sepi pelintas karena mahal dan tak efisien, perpindahan ibukota baru, pengecatan ulang pesawat RI dan lainnya. Padahal semestinya pandemi yang hampir dua tahun tak kunjung hilang inilah fokusnya. 

Ironinya, lisan para penguasa seolah terlipat jika itu untuk membela kepentingan rakyat, namun lancar jika untuk para pemodal. Mungkinkan laptop itu benar-benar diproduksi anak negeri sejak dari bahan baku, sofware hingga hardwarenya? Jelas akan menggandeng perusahaan-perusahaan besar, meskipun dengan dalih telah memiliki sertifikat TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri), tetaplah pihak ketiga yang akan mencari untung. 

Kita Harus Kembali Kepada Solusi Hakiki
Jika memang hendak menggenjot produksi dalam negeri dan tidak terus menerus impor, memang benar harus memberdayakan seluruh elemen masyarakat, baik lembaga pendidikannya, industrinya, ahlinya bahkan sistem pendanaannya juga. Terlebih jika barang itu adalah menyangkut hajat hidup orang banyak maka negara harus hadir untuk menjamin ketersediaannya jangan sampai rakyat kesulitan mengakses. 

Pasar dunia pun bukan berbasis pasar bebas, dengan beberapa negara justru menjual barang di Indonesia dengan insentif pajak atau keringanan pajak bea masuk, keluar masuk barang jika itu berhubungan dengan perdagangan luar negri harus dalam pengawasan negara secara langsung, sebab berkaitan dengan negara harbi fi'lam, harbi hukam, atau muahadiana (negara yang terikat perjanjian dengan negara kita). Demikian pula barang apa yang diperdagangkan. Jika barang tersebut sudah maksimal diupayakan produksi di dalam negeri namun masih kurang sebab kebutuhannya urgen maka boleh untuk mendatangkan impor. 

Sedangkan dalam negeri akan ada syirkah (kerjasama) dalam hal industri, baik untuk pendirian, kerja yang ada di dalam industri tersebut maupun pengelolaan hasil produk industri. Pendanaan tidak boleh melibatkan asing ataupun  harta berbasis riba. Sama saja apakah negara yang mendirikan industri itu ataupun individu rakyat. 

Segala perbuatan harus disandarkan pada syariat, halal haram, sehingga tidak ada pihak yang dizalimi, dan apa yang menjadi kebutuhan dasar rakyat ( dalam hal ini pendidikan) dan sebagai kewajiban negara dapat terlaksana dengan baik.  Hari ini mustahil bisa terlaksana dengan baik, sebab sistem  perekonomian kita basisnya adalah  kapitalis. 

Maka, negara sejatinya hanya berkedudukan sebagai regulator, pengatur kebijakan, sementara yang bermain adalah investor yang punya modal besar. Pandemi ini hanyalah menjadi batu loncatan agar terlihat smooth dan smart. Mengapa, jika memang berfokus pada pendidikan, hari ini ada yang lebih urgen yaitu kurikulum, SDA dan sarana prasaran yang berkualitas rendah. 

Terlebih saat pandemi ini, di saat lisan penguasa mengatakan bahwa apa yang diberikan pemerintah sudah cukup banyak dan saatnya gotong royong, saling menanggung penderitaan yang lain dan sebagainya, itu hanyalah kata lain dari rakyat itu beban. Maka, tidak ada alasan kedua ketiga, kaum Muslim saatnya kembali kepada pengaturan Allah SWT yang telah diterapkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, berikut pemimpin Muslim selanjutnya, selama 1300 tahun bukanlah waktu yang singkat bahwa Islam mampu menjadi solusi bangsa.

Wallahu a' lam bish showab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar