SEKTOR PARAWISATA BUKAN PRIORITAS UTAMA DALAM MERAIH INCOME


Oleh : Wina Apriani

Bagaimanapun harus kita ketahui bahwa Pandemi virus Corona berdampak luas dalam sektor pariwisata di tataran daerah maupun nasional karena anjloknya permintaan domestik maupun mancanegara. Dratisnya penurunan permintaan ini disebabkan oleh pemberkalakuan berbagai pembatasan perjalanan oleh pemerintahan sekarang untuk membendung penyebaran dan penularan virus.

Sama seperti daerah lain yang menanggung imbas  dari merosot sektor pariwisata, Sumedang sendiri pun terkena dampak yang signifikan yaitu matinya Pariwasata Sumedang yang di sampaikan oleh para pelaku usaha dalam halaman RADARSUMEDANG.ID bahwa para pelaku usaha yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pariwisata Sumedang menyatakan, bahwa saat ini para pelaku usaha di Sumedang telah mengibarkan bendera kuning, sebagai entitas matinya pariwisata di Sumedang.

Bendera kuning ini juga menandakan sebagai waktu yang tepat untuk kebangkitan pariwisata di Sumedang. Karenanya, sekumpulan para pelaku industri wisata berkumpul bersama membahas keluh kesah mereka selama kebijakan pembatasan demi pembatasan yang dilakukan pemerintah yang secara langsung telah berdampak pada sektor industri wisata.

Adapun yang menjadi usulan dari mereka yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pariwisata Sumedang diantaranya; Regulasi Bansos bagi terkena dampak kebijakan dari mulai PSBB dan sekarang PPKM untuk para pelaku industri Pariwisata segera disalurkan. Mengingat sampai di keluarkan kebijakan PSBB dan PPKM, para pelaku Industri Pariwisata belum maksimal menerima bantuan, bahkan ada yg belum pernah menerima sama sekali.

Oleh sebab itu disini pihaknya sangat menanti-nanti upaya pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan upaya pertolongan kepada para pelaku usaha. Kondisi saat ini kata Nana, selain tidak bisa membayar gaji karyawan para pelaku usaha juga tidak bisa membayar kewajiban maupun operasional. Mengingat kondisi Covid ini sudah lama berlangsung, dan kami juga belum mendapatkan upaya penyelamatan.

Untuk itu pihaknya memberikan tiga hal berkaitan dengan kondisi para pelaku usaha dan karyawan yang ada di perusahaan kami. “Mohon beri kesempatan kami untuk membuka usaha dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Karena jika berbicara bantuan stimulus sifatnya hanya sementara. Untuk itu bagi bisnis dan usaha kami, hanya satu kebijakan yaitu berikan kesempatan kepada kami untuk membuka kembali usaha kami,” kata H. Nana di Kampung Karuhun, Desa Citengah, Sumedang Selatan, Kamis (29/7).

Disamping itu pula, berkali-kali disampaikan pihaknya menyatakan siap menjadi bagian untuk percepatan vaksinasi dan percepatan kebangkitan ekonomi di Kabupaten Sumedang. Oleh karena itu pihaknya berharap ada kepedulian baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk bisa mengakomodir apa yang menjadi keluhan kami. Memang kami sadari bahwa PPKM adalah kebijakan pusat dan pemerintah daerah hanya melaksanakan saja. Tetapi kami berharap apa yang menjadi keluh kesah kami kepada pemerintah daerah bisa disampaikan kepada pemerintah pusat. Termasuk kami juga berharap ada kebijakan dari pemerintah daerah dalam rangka relaksasi terhadap para pelaku usaha.

Menutup pembicaraannya, H. Nana yang juga Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumedang menegaskan pihaknya ingin menjadi bagian yang menyelesaikan permasalahan demi permasalahan yang sedang dihadapi oleh para pelaku usaha. Tentunya kami siap duduk bersama mendiskusikan hal ini. Bendera kuning ini merupakan simbol matinya pariwisata. Jika tidak diselamatkan maka pariwisata di Sumedang akan mati,” pungkas Nana.

Apa yang terjadi di sektor pariwisata khususnya sumedang saat ini memang  memperhatinkan karena berbagai kebijakan adanya PSBB belum lagi PPKM seperti yang disampaikan halaman diatas, maka sektor pariwisata jadi tertutup. Tapi sebaliknya harus kita ketahui bahwa pariwisata yang ada saat ini baik di lokal maupun nasional tidak dikelola dengan baik dan tidak sesuai fungsinya.

Pemerintah di sistem Kapitalisme saat ini hanya mementingkan keuntungan yang besar khususnya memprioritaskan sektor pariwisata sebagai sumber devisa. Selain itu pula berdasarkan catatan BPS,nilai transaksi ekonomi yang diciptakan akibat kegiatan pariwisata tahun 2017 saja mencapai Rp 634 trilliun.

Nilai transaksi tersebut dihasilkan dari beberapa komponen yaitu konsumen wisatawan (domestik dan mancanegara), Inves pariwisata dan pengeluaran pemerintah. Di Sistem kapitalisme saat ini Pariwisata saat ini memang menjadi primadona baru dalam dunia bisnis.Terlebih pola hidup masyarakat yang menyukai libuaran menjadikan sektor pariwisata sebagai kesempatan emas meraup untung besar. Sudah sangat jelas sekali seharusnya pemerintah apalagi kondisi Pandemi saat ini tidak boleh bergantung pada sektor pariwisata, Melainkan mengoptimalkan sumber daya alam yang ada di negeri ini untuk dikelola demi kesejahteraan rakyat.

Berbeda 180 derajat dengan Islam. Islam memposisikan pariwisata sebagai sarana dakwah dan propaganda, bukan sumber devisa negara. Sumber pendapatan negara dalam Islam adalah berupa fai, ghanimah, khoroj dan jizyah. Ditambah pemasukan dari harta kepemilikan umum dengan berbagai jenisnya serta pemasukan negara berupa usyur, khumus, rikaz, barang tambang dan harta zakat. Berbeda dengan negara korporatokrasi yang membolehkan asing mengelola barang tambang yang melimpah. Islam telah membatasi kepemilikan dengan mengharamkan Sumber SDA yang melimpah dikuasai individu, apalagi asing. Dari sini saja, negara akan menjadi pihak yang mengelola kekayaan alam milik umum dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.

Keindahan alam yang dijadikan tempat pariwisata seperti pantai, pegunungan, air terjun, dan yang lainnya, akan dijadikan sarana dalam menyebarkan Islam. Bagi wisatawan muslim, setelah mereka disuguhkan keelokan seluruh ciptaan Allah Swt., akan semakin kukuh keimanannya. Begitupun bagi wisatawan nonmuslim, yang niat awalnya ingin menikmati keindahan alam, akan disuguhkan pula ajaran Islam.

Interaksi penduduk setempat dengan para turis, dengan semangat dakwah akan mewarnai para turis dengan budaya Islam. Begitu pun pemandu wisata yang dipersiapkan, ditugaskan untuk menyebarkan pemahaman Islam. Terjadilah transfer pemikiran di sana. Sang turis, bukan hanya menikmati keindahan alamnya saja, namun juga beserta penjelasan tentang alam raya dan hakikat kehidupan seorang hamba. Jadilah wisatawan mengenal akidah Islam dan khasanah nya.

Begitu pun cagar budaya yang ada akan dimanfaatkan untuk menyampaikan bukti-bukti sejarah autentik perihal kejayaan Islam. Agar seseorang yang masih ragu akan kejayaan Islam, teryakinkan dengan benda-benda yang tertinggal dari sejarah. Misalnya, mesium Al-Quran dari zaman sahabat hingga kini, akan dimanfaatkan negara sebagai wisata edukasi.

Adapun peninggalan budaya selain Islam. Jika bentuknya peribadatan dan masih dipakai, akan dibiarkan. Karena Islam melarang menghancurkan tempat peribadatan, inilah toleransi dalam Islam. Namun, haram hukumnya untuk kaum muslim berwisata ke sana, karena Allah Swt. telah melarang umat muslim memasuki tempat peribadatan umat lainnya. Namun jika sudah tidak dipakai beribadah, tak ada alasan untuk negara membiarkan cagar budaya tersebut, karena tak ada manfaatnya untuk dakwah. Begitulah prinsip adanya sektor pariwisata dalam Islam, yaitu untuk menyebarkan syiar Islam.

Begitupun tempat wisata taman hiburan dan waterboom yang berhiaskan patung dan kemaksiatan lainnya, jika tak mengandung unsur Syiar Dakwah dan hanya berputar pada kesenangan yang unfaedah, lagi-lagi negara tak mempunyai alasan untuk mempertahankannya. Ekonomi negara akan berputar sesuai dengan ketentuan syariat. Sungguh, fungsi pariwisata dalam Islam akan sulit dioptimalkan dalam sistem kapitalisme. Jangankan berdakwah di tempat pariwisata, dalam sistem sekuler yang diadopsi negara ini, untuk berdakwah di masjid saja diawasi. Berdakwah dipaksa sesuai dengan kepentingan rezim berkuasa, rezim yang telah jelas memusuhi Islam. Maka dari itu, mari kita wujudkan negara yang mampu memfungsikan pariwisata sebagai syiar Islam, bukan syiar liberal.

Wallohu'alam bish showwab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar